Vox NTT-Pria yang satu ini memang sekilas terlihat gurat-gurat ketegasan di wajahnya. Ia adalah seorang politikus asal Flores, Nusa Tenggara Timur yang saat ini menduduki posisi sebagai anggota Komisi III DPR RI.
Nama Lengkapnya adalah Benny Kabur Harman. Lahir pada 19 September 1962 di sebuah daerah bernama Denge, Manggarai, Flores, Benny terkenal sebagai salah satu politisi Senayan yang tegas, berani, dan loyal terhadap negara.
Benny yang merupakan anggota Fraksi Partai Demokrat semasa kecil mengenyam pendidikan di tanah kelahirannya, Manggarai, Flores.
Sejak bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah atas ia tak pernah beranjak jauh-jauh dari Flores. Hingga saat ia lulus dari SMA Seminari St. Pius XII Kisol Flores, ia jauh-jauh hijrah ke Malang untuk mengambil studi hukum di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.
Sebagai pendatang dari Flores, Benny termasuk mahasiswa yang cerdas dan mampu beradaptasi dengan kondisi sekitar, hingga ia berhasil mendapatkan gelar Sarjana Hukum dari kampus tersebut pada tahun 1987.
Setelah mendapatkan gelar tersebut, Benny memilih untuk mencari pengalaman dengan mencoba memasuki dunia kerja.
Barulah setelah merasa cukup memiliki pengalaman kerja, pada tahun 1997 ia memutuskan untuk kuliah program Magister dalam bidang hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Pada masa-masa itu, Benny sudah banyak terlibat dalam proyek dan kegiatan-kegiatan organisasional.
Ia tercatat sebagai pendiri sekaligus Direktur Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) mulai tahun 1995 hingga 1998.
Ia juga mendirikan Center for Information and Economic-Law Studies (CINLES) dan juga berposisi sebagai direktur eksekutif.
Di tengah banyaknya politikus tuna-idealisme, Benny K Harman merupakan satu dari sedikit politikus yang konsisten, tegas, dan disiplin.
Idealismenya tak lekang dimakan waktu, jiwanya yang religius tak tergoyahkan oleh zaman. Tak berlebihan jika kemudian rekan-rekannya mengenal Benny sebagai politikus nasionalis religius.
Politisi Fraksi Partai Demokrat yang kini menjalankan amanah sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR RI.
Saat ini, ia juga dipercayakan sebagai wakil ketua Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu).
Cerita ini mengisahkan perjuangan Benny K Harman seorang anak kampung yang sukses menjadi salah satu tokoh terkemuka dalam kancah politik Nasional. Semoga memberi inspiratif bagi semua orang khususnya kaum muda di NTT.
Menggembala Kerbau
Kehidupan masyarakat Desa Denge, Todo Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur bisa dikatakan masih terbelakang. Terlebih lagi di era tahun enam puluhan. Belum tersentuh listrik, apalagi kecanggihan teknologi, untuk makan pun kebanyakan dari mereka hanya mampu makan dua kali dalam sehari.
Adalah pasangan Damianus Kabur dan Katarina Ulus, pasangan yang bernasib tidak berbeda jauh dari masyarakat Denge, Todo lainya. Pada 12 September 1962 merupakan hari yang sangat membahagiakan bagi keduanya.
Ya, meski telah memiliki tiga orang anak, namun kelahiran putra keempatnya hari itu sangat disyukuri keduanya. Benny K Harman, demikian keduanya menamai putra keempatnya itu.
Meski hidup dalam kesederhanaan, namun ayah Benny yang seorang guru agama katolik termasuk dalam sebagian kecil masyarakat Denge, Todo yang selalu mengutamakan pendidikan bagi anak-anaknya.
Bagi sang ayah, pendidikan merupakan sumber dari ilmu pengetahuan yang dapat membebaskan anak-anaknya dari belenggu kemiskinan.
Tak heran jika kemudian tidak ada istilah malas sekolah dalam kamus Benny. Walau lelah menggembala ternaknya namun Benny bertekad untuk tetap harus kesekolah.
Ya, kedisiplinan menjadi salah satu ajaran sang ayah yang kemudian menjadi nilai hidup yang terus dipegangnya hingga hari ini.Tak berbeda jauh dengan ketiga kakaknya, Benny, begitu panggilan sehari-hari Benediktus, dididik dengan penuh kasih sayang.
Ketika memasuki usia sekolah dasar, Benny kecil mulai diperkenalkan dengan apa yang dinamakan tanggung jawab. Masih diingat Benny, setiap jam tiga pagi, jauh sebelum ayam jantan berkokok, ia harus segera menyelesaikan mimpi indah dalam tidurnya.
Ia harus bergegas ke kebun menggembala sapi dan kerbaunya untuk mengusir babi hutan atau dalam bahasa setempat disebut tokong motang. Tokong motang inilah yang kerap merusak tanaman masyarakat setempat, termasuk kebun milik orangtua Benny. Sebelum jam tujuh pagi, Benny harus kembali ke rumah, dan langsung bergegas ke sekolah.
Selepas pulang sekolah, Benny langsung kembali membantu orangtua berkebun, sekaligus membawa pulang ternak-ternaknya. Lelah, pasti.
Namun hal itu buru-buru ia kesampingkan. Jika masyarakat saat ini menyebutnya sebagai sebuah perjuangan, bagi Benny itu hanyalah sebuah kewajiban seorang anak membantu kedua orangtuanya. Ia menjalani semua itu tanpa beban.
Ketika matahari sudah mulai terbenam Benny langsung beranjak pulang ke rumah. Langkah kakinya pun sengaja dipercerpat untuk segera sampai di rumah. Setibanya di rumah, ia langsung bergabung dengan kedua orangtua dan kakak- kakaknya untuk menumbuk buah jarak supaya menghasilkan minyak.
Minyak yang sudah dimasukkan ke wadah itu kemudian ditempelkan kapas yang sebelumnya telah digulung. Jarak dan kapas itulah yang menjadi alat penerang keluarga Benny dan masyarakat Denge, Todo saat itu. Maklum, ketika itu Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur belum dialiri listrik.
“Saat itu saya masih ingat ayah saya membuat sebuah lomba mengurus kerbau untuk saya dan kakak laki- laki saya, karena dari sembilan orang anak,hanya saya dan kakak saya yang laki-laki, selebihnya perempuan,”kisah Benny.
Lomba mengurus kerbau dimana kerbau yang bobotnya lebih gemuk atau besar lah yang jadi pemenangnya. Lomba itu sengaja diadakan sang ayah untuk kedua anak laki-lakinya, yakni untuk menimbulkan sikap persaingan, tentunya bersaing dalam arti positif.
Siapa sangka jika kemudian sikap itu terus terbawa dalam kesehariannya.
Selepas Benny lulus dari SD Katolik Denge tahun 1974, kedua orangtua Benny terpaksa menyampaikan berita sedih, bahwa keduanya tidak sanggup membiayai sekolah Benny ke tingkat SMP hingga kedua kakak Benny lulus terlebih dahulu.
Sedih, sudah pasti, namun Benny tak kuasa untuk menolak hal itu. Di tengah kepasrahannya, mukjizat Tuhan datang melalui salah seorang paman Benny.
Ia tergerak hatinya untuk membiayai sekolah Benny hingga lulus SMP. Benny pun akhirnya berhasil mengenyam bangku sekolah menengah pertama di SMP Tubi Ruteng hingga lulus tahun 1977.
Saat di SMP, Benny tinggal di asrama Brunderan Santo Aloisius yang nota bene sangat kental ajaran katoliknya.
Hal itu secara tidak langsung membentuk pribadi Benny menjadi lebih religus. Hingga kemudian selepas SMP, tak sulit bagi Benny untuk bisa masuk ke SMA Seminari St Pius XII Kisol, sebuah lembaga pendidikan calon imam yang menjaring anak-anak terbaik di seluruh NTT.
Sebagaimana siswa lainnya, di sekolah khusus calon pastor itu Benny dibebaskan dari segala biaya pendidikan.
Lulus SMA, ia urung menjadi pastor. Benny memilih untuk merantau ke pulau jawa. Bagi Benny untuk merubah nasib harus berani keluar dari belenggu kemiskinan itu sendiri, salah satunya dengan cara merantau ke daerah lain.
Sejatinya ia ingin langsung hijrah ke ibukota, sayangnya karena keterbatasan biaya yang dimiliki kedua orangtuanya, ia urungkan niat itu. Ia memilih kota lain yang biaya hidupnya lebih murah sebagai tempatnya merubah nasib.
Hijrah untuk Merubah Nasib
Atas restu dan tentunya biaya dari kedua orangtuanya, Benny pun meninggalkan kampung halamannya. Malang, Jawa Timur menjadi tempat pertama persinggahannya untuk merubah nasib.
Di sana ia mendapat kesempatan untuk kuliah di satu- satunya universitas negeri di daerah tersebut, yakni Universitas Brawijaya (Unibraw).
“Dulu saya sempat menilai bahwa kemiskinan itu terjadi karena kemalasan. Dengan kata lain, orang menjadi miskin karena malas. Namun setelah dewasa saya berpandangan lain bahwa kemiskinan itu terjadi bukan hanya karena malas, tapi juga karena sebuah sistem yang tidak adil, sistem yang hanya memihak orang- orang tertentu saja,”aku Benny.
Setibanya di Malang, pelajaran hidup pertama diterimanya lewat bapak dan ibu kost. Saat itu atas campur tangan Tuhan, langkah kaki Benny terhenti di sebuah rumah kost yang pemiliknya merupakan suami istri asal Madura beragama Islam.
Pak Haji begitu Benny menyebutnya, tak keberatan rumahnya diisi oleh anak kost yang beragama non muslim seperti Benny. Tidak hanya mengijinkan Benny tinggal di rumahnya, Pak Haji itupun membebaskan Benny dari segala biaya kost.
Dari sana, timbul keinginan lamanya untuk merubah nasib sanak saudara dan masyarakat kampung halamannya yang dianggapnya sebagai korban dari sebuah sistem.
Hal itu yang menjadi salah satu inspirasi sekaligus alasannya mengambil fakultas hukum sebagai ilmu yang akan didalaminya.
“Saya senang sekali, saya seperti mendapat orangtua angkat. Pak Haji tidak hanya mengijinkan saya untuk tinggal di rumahnya, namun juga menggratiskan uang kost. Tapi gantinya saya harus ikut membantu pekerjaan rumah Pak Haji dan Bu Haji, seperti menimba air di sumur, menyapu dan mengepel rumah, serta ikut mencuci piring,”kata Benny.
Disitulah Benny belajar banyak tentang pluralisme, dimana Tuhan menciptakan manusia dengan segala perbedaan, dari bangsa, daerah dan agama tentunya untuk saling mengenal dan menghargai satu sama lain.
Bahkan tidak jarang Benny juga mendiskusikan tentang agama kepada teman-temannya yang beragama non muslim.
Di bangku kuliah, jiwa aktivis Benny muncul. Ia ikut bergabung dalam organisasi kemahasiswaan BEM (badan eksekutif mahasiswa), bahkan ia pernah menjadi salah satu pengurusnya.
Tidak hanya aktif dalam kegiatan ektrakurikuler, saat itu Benny mulai menulis artikel tentang hukum dan politik baik di media internal kampus, maupun media massa nasional.
Dari hasil menulis itu ia kumpulkan pundi-pundi rupiah yang ia gunakan sebagai tambahan uang saku di perantauannya. Bahkan di tahun ketiga perkuliahannya Benny mendapat Beasiswa supersemar dari pemerintah. Ia dibebaskan dari segala macam biaya perkuliahan.
Di sisi lain, berbagai kegiatan itu semakin membuka peluang bagi dirinya untuk berkenalan dan dekat dengan banyak tokoh nasional. Hal itu semakin memantapkan langkahnya untuk membela hak-hak kaum yang termarjinalkan.
Tahun 1987 gelar sarjana hukum berhasil diraih Benny. Sebuah prestasi yang cukup membanggakan. Ditengah segala aktivitasnya baik di internal kampus, maupun di luar kampus namun Benny berhasil menyelesaikan kuliahnya dalam waktu empat setengah tahun.
Pasca lulus kuliah, ia hijrah ke Ibukota, ia tinggalkan kota yang telah memberi banyak pelajaran hidup bagi dirinya.
Di ibukota Benny mendapat kesempatan untuk bergabung di Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI). Di lembaga itu namanya mulai dikenal banyak orang lewat tulisan- tulisannya yang sarat akan kritik sosial.
Bahkan dari sana ia pun mendapat tawaran untuk berkarir di salah satu media massa nasional menjadi reporter di bidang hukum, politik dan sosial. Tawaran menjadi pembicara dipelbagai seminar tentang HAM (Hak Asasi Manusia) mulai menghampirinya.
Hal itu semakin memacunya untuk lebih mempersenjatai diri dengan ilmu akademis yang lebih mumpuni lagi. Dari sana ia memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya ke jenjang pasca sarjana di Universitas Indonesia.
“Saat itu lewat bang Surya (Surya Paloh-red), saya diberikan beasiswa dari tempat saya bekerja, Media Indonesia. Sampai saat ini saya tidak pernah melupakan hal itu,”ungkap Benny.
Saat menjadi seorang wartawan yang dituntut harus netral jiwa aktivis pembela kaum papa tak bisa hilang dalam dirinya.
Tak ayal tulisan-tulisan Benny pun selalu sarat akan kritik sosial. Tak jarang tulisannya menyentil sejumlah kalangan, termasuk kritik atas kebijakan rezim penguasa yang dinilainya jauh dari kata adil.
Padahal ketika itu masa kebebasan berpendapat masih belum terbuka lebar. Tak ayal karena tulisannya beberapa kali Benny sempat dipanggil oleh aparat intelijen negara.
Ia dianggap sebagai pembangkang, provokator dan menghina pejabat negara. Pun ketika kerusuhan 27 Juli 1996 di jalan Diponegoro, Menteng Jakpus ia sejatinya bisa menugaskan anak buahnya untuk meliput peristiwa tersebut, namun ia memilih turun langsung ke TKP (tempat kejadian perkara). Wajahnya pun terekam kamera wartawan lainnya sebagai wartawan anti orde baru.
Imbasnya, rezim penguasa meminta Benny dipecat dari tempatnya bekerja. Lagi-lagi sang pemilik media massa menyelamatkan Benny. Secara diam-diam, Surya Paloh tidak memberhentikan Benny. Ia hanya dimutasikan ke bagian Litbang (penelitian dan pengembangan) Media Indonesia.
Meski terselamatkan dari kata “pecat” namun tetap saja posisi itu membuat Benny tidak nyaman. Ia seolah terpasung, tidak bisa bersuara dan mengeluarkan ide, gagasan dan kritiknya.
Padahal ketika itu ia merasa banyak sekali kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat dan harus dikritisi. Hak bicara Benny pun dikebiri.
Namun ia tak kuasa menolak semua itu. Hingga kemudian Benny memilih untuk cuti dari pekerjaannya di bagian Litbang selama satu tahun.
Bertepatan dengan pengunduran diri Presiden ke dua RI, Soeharto akhirnya Benny pun memutuskan untuk berhenti dari media yang selama itu menjadi wadahnya dalam berekspresi.
Berhenti Jadi Wartawan
Berhenti menjadi wartawan bukan berarti akhir dari perjuangannya membela kaum termarjinalkan. Reformasi membuka kran kebebasan berpendapat dan berserikat ter- buka lebar.
Singkat cerita, di awal- awal reformasi, ia bersama Garuda Nusantara mendirikan kantor pengacara (law firm) Kantor Hukum Nusantara, Harman & Partners.
Bersama aktivis lainnya Benny pun membentuk sejumlah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan organisasi massa lainnya. Sebut saja FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesian (PBHI),Pusat Studi Hukum Lingkungan Indonesia (Indonesian Center for Enviromental Law atau ICEL), dan beberapa LSM lainnya.
Menjadi aktivis LSM membuat nama Benny menjadi “rebutan” beberapa rekannya yang sudah lebih dulu menjadi kader salah satu partai politik (parpol).
Masuk ke panggung politik tanah air sejatinya bukan sebuah pilihan Benny, melainkan sebuah konsekwensi dan tuntutan perjuangan membela rakyat lemah.
Sebagaimana pesan almarhum sang ayah, hidup itu harus bermanfaat untuk orang banyak. Saat itu Benny menilai, perjuangannya untuk orang banyak akan berhasil jika masuk dalam sebuah sistem.
Tahun 2004 oleh salah seorang sahabatnya yang kini sama-sama memimpin Komisi III DPR RI, Trimedya Panjaitan, Benny diajak bergabung dan menjadi caleg (calon legislatif) di PDI Perjuangan.
Bersamaan dengan itu, ia pun diminta mewakili Dapil Flores dan sekitarnya (NTT) menjadi caleg Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Lewat Partai besutan Edy Sudrajat inilah untuk pertama kalinya Benny terpilih menjadi anggota DPR mewakili Dapil NTT.
Sayangnya, di DPR, PKPI tidak cukup untuk bisa menjadi sebuah fraksi. Ia pun kemudian bergabung dengan Partai Demokrat yang dinahkodai oleh Presiden ke enam Indonesia, SBY.
Menjadi anggota DPR untuk pertama kalinya dirasa Benny sangat berbeda dengan ketika ia menjadi seorang aktivis. Ketika menjadi aktivis ia dapat bebas bergerak tanpa aturan.
Namun ketika menjadi anggota DPR ia harus mengikuti aturan yang kadang tidak sesuai dengan prinsip hidupnya. Meski demikian, ia tetap kritis, dan kokoh memegang idealisme dirinya.
Di periode berikutnya, Benny kembali terpilih menjadi anggota DPR RI. Di masa ini, ia tidak hanya menjadi anggota Komisi III. Ia didapuk duduk di kursi pimpinan di komisi yang membidangi masalah hukum, HAM dan keamanan.
Menjadi Ketua Komisi III merupakan hal yang sangat menantang bagi dirinya. Pasalnya, di komisi inilah masyarakat menaruh harapan besar untuk memperoleh keadilan. Di tahun berikutnya ia kembali terpilih menjadi anggota DPR RI, sekaligus kembali menjadi pimpinan Komisi III DPR.
Ia tak canggung bersuara keras mengkritisi sejumlah kasus yang terjadi di masyarakat. Seperti kasus yang menimpa seorang pelajar SMKN 3 di Palu yang terancam hukuman 5 tahun penjara karena kedapatan mencuri sandal. Ia berjuang agar anak tersebut terbebas dari hukuman 5 tahun penjara.
Kisah Cinta Benny
Saat tengah menimba ilmu pasca sarjana di Fakultas Hukum UI, tiada sengaja Benny bertemu dan berkenalan dengan seorang mahasiswi kedokteran gigi yang tengah mengambil program spesialis di kampus tersebut.
Maria G Ernawati, seorang gadis asal Mamere, Flores, NTT yang berhasil menaklukan hatinya.
Entah karena kesamaan kampung halamannya di Flores atau karena ada keistimewaan khusus, yang pasti saat pertama kali melihat Maria, Benny merasa yakin bahwa gadis itulah yang kelak akan menjadi isteri sekaligus ibu bagi anak-anaknya kelak.
Dua tahun waktu yang cukup bagi Benny untuk mengenal lebih jauh tentang calon isterinya tersebut.
Hingga akhirnya tanggal 12 Juni 1994 lewat pemberkatan di salah satu gereja di Jakarta Benny resmi menikahi Maria.
Setelah berhasil meminang Maria, Benny membawa isterinya ke kampung halamannya di Denge, Todo, Manggarai, Flores NTT untuk mengenalkannya kepada kedua orangtua dan sanak saudaranya.
Kedatangannya pun disambut upacara adat setempat. Hal itu menandakan bahwa Maria sudah diterima dengan baik oleh keluarga Benny.
“Selain karena cinta, hal yang membuat saya yakin menikahinya karena saya lihat dia wanita yang cerdas dan cocok untuk menjadi ibu bagi anak-anak saya kelak. Terlebih lagi profesinya sebagai dokter yang artinya bisa mendukung atau membantu perekonomian keluarga. Karena sebagai aktivis ketika itu bisa dikatakan penghasilan saya sewaktu-waktu dapat berubah atau tidak menentu,”aku Benny.
Meski sudah menikah, jiwa aktivis Benny tetap tak surut. Kondisi itu sangat disadari Maria. Masih diingatnya, beberapa minggu setelah pernikahannya, Benny ikut turun ke jalan berdemo dengan rekan sesama aktivis di LBHI.
Tak jarang kenyataan itu menjadi diskusi hebat antara dirinya dan sang istri. Sebagai isteri, Maria jelas khawatir dengan aktivitas sang suami sekalipun itu untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.
Benny pun mencoba untuk terus memberi pengertian sang isteri bahwa selagi ada di jalan yang benar, maka ia tidak perlu takut dan khawatir karena Tuhan pasti akan melindunginya.
Kini keduanya telah dianugerahi tiga orang putri, Maria Cacellia Stevi Harman, Maria Benedikta Stella Harman, dan Maria Bernadetha Molas Harman.
Sebagaimana ajaran kedua orangtuanya yang selalu menanamkan kedisiplinan, tanggung jawab dan persaudaraan kepadanya, hal itupun yang ia terapkan kepada ketiga putrinya tersebut.
Tak heran sesibuk apapun Benny dan Maria Ernawati dalam karir dan tugasnya di luar, namun saat kembali ke rumah keduanya sepakat untuk menggunakan waktu bersama anak- anaknya dengan baik. Bahkan setiap hari Sabtu atau Minggu, keduanya selalu menyempatkan waktu ber- ibadah ke Gereja bersama-sama.
“Meski tidak merasakan perjuangan seperti saya dulu di desa, namun saya tetap mengajari anak-anak kedisiplinan dan tanggung jawab. Kedua hal itulah yang bisa menjadi kunci kesuksesan seseorang,”jelas Benny.
Motivasi Membangun NTT
Sejauh-jauhnya bangau terbang, akhirnya hinggap juga. Sejauh-jauhnya Benny berkiprah di ibukota, ia bertekad harus bisa kembali membangun kampung halamannya di NTT.
Meski sempat gagal dalam pemilihan calon Gubernur NTT tahun 2013 silam, namun sebagaimana yang dikehendaki pendukungnya Benny pun tergerak untuk bisa memimpin dan membangun Nusa Tenggara Timur pada periode 2018-2023 yang akan datang.
Latar belakangnya sebagai seorang aktivis dan pegiat kemanusiaan membuat Benny punya cara pandang sendiri dalam merebut kursi gubernur NTT.
“Buat saya itu bukan karena saya ingin kekuasaan, namun sebagaimana yang tadi sudah saya jelaskan bahwa hidup itu harus meaningfull. Kebahagiaan bagi saya jika berguna untuk orang lain, terlebih lagi untuk keluarga dan masyarakat NTT yang selama ini menjadi inspirasi saya untuk terus maju,”tegas doktor hukum Universitas Indonesia yang getol menyuarakan kasus human trafficking di NTT ini.
Sistem politik presidensial yang memberi ruang yang luas bagi eksekutif (bukan legislatif) untuk berperan dalam pembangunan juga membuat Benny merasa tertarik untuk memperoleh kesempatan mengubah wajah NTT.
Walaupun banyak gebrakan perubahan yang diusungnya selama menjadi DPR RI, namun bagi Benny tidak cukup untuk melampiaskan idealismenya membangun kampung halamannya.
Bagi dia, kekuasaan seorang gubernur punya daya dobrak yang cukup kuat jika digunakan secara kreatif dan strategis.
Karena itu, memilih menjadi gubernur NTT adalah pilihan rasional bagi Benny untuk mendapatkan kekuasaan politik eksekutif yang mana tupoksi dan wewenangnya lebih besar dari pada sekadar menjadi DPR RI di Senayan.
Benny mencoba keluar dari zona nyaman di Senayan untuk bertempur membangun NTT walaupun banyak ditentang oleh kebanyakan orang yang merasa posisinya terancam.
Tak ayal, cemoohan, ejekan bahkan caci maki kerap mendera langkah politiknya.
Beny pun mengaku bahwa menjelang pilgub NTT 2018 mendatang banyak orang yang menyoroti kegagalannya. Kegagalan itu dijadikan bahan ejekan dan sindiran lawan politiknya.
“Saya terima itu sebagai bagian dari diri saya. Tak ada politisi yang langsung jadi tanpa kegagalan” ujarnya.
Namun keinginan untuk merasakan denyut nadi saudaranya di NTT, tidak menyurut langkah Benny walaupun difitnah bahkan dicerca lawan politiknya.
“Kemuliaan paling tinggi dalam berpolitik ketika seorang politisi ingin kembali ke kampung halamannya untuk berjuang bersama saudaranya” ungkapnya.
Segudang prestasinya di kancah nasional membuat Benny sudah cukup mampu untuk mendaratkan ide, gagasan maupun pengalamannya untuk membangun NTT. (RA/AJ/VoN).