Kupang, Vox NTT– Mereka datang bersama rombongan untuk membawa surat pembebasan lahan yang diklaim sebagai aset milik Pemprov NTT.
Rombongan Sat Pol PP, Sekretaris Kecamatan Amanuban Selatan, dan pihak Polda NTT kemudian menerobos masuk ke dalam rumah milik David Manisa, salah satu masyarakat adat Pubabu.
Utusan Pemprov NTT itu memasuki rumah milik David untuk meminta segera melakukan penandatangangan surat pengosongan lahan dalam kawasan hutan adat Pubabu, Besipae, TTS.
“Kedatangan pemprov NTT sontak membuat Bapak David Manisa sekeluarga merasa ketakutan dan trauma. Tanpa dijelaskan maksud penandatangan surat tersebut, akhirnya Bapak David Manisa enggan untuk menandatangani surat pernyataan itu,” demikian tulis ITA PKK dalam rilis yang ditandatangani oleh Ketua Dewan Adat Benyamin Selan dan Ketua ITA PKK Pubabu-Besipae, Imanuel Tampani beberapa waktu lalu.
Sat Pol PP, Polda NTT dan UPT Dinas Peternakan Provinsi terus memaksa. Ada yang membentak, ada yang memotret layaknya seorang teroris besar.
Ada pula salah satu oknum dalam rombongan berkata “Foto dia supaya dia lari na kita bisa kejar dia”.
Tanpa ada perlawanan dari David Manisa. Mereka mengambil fotonya yang saat kejadian sedang memakai celana pendek tanpa menggunakan busana baju.
David Manisa pun diajak untuk mengikuti mereka agar bersama-sama menuju ke rumah warga masyarakat adat lain.
Setelah dari rumah David Manisa, aksi intimidasi yang belangsung pada 17 Oktober 2017 lalu ini juga berlanjut rumah milik Frans Sae.
Frans Sae juga dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan pengosongan lahan.
Pemaksaan yang dilakukan oleh rombongan tersebut mendapat protes dari masyarakat setempat.
Frans Sae juga enggan menandatangani surat pernyataan tersebut. Intimidasi terhadap Frans Sae juga dilakukan dengan cara memotret sambil mengeluarkan nada ancaman “Foto dia juga supaya kalau dia lari kita bisa tangkap dia”.
Sejak Zaman Kolonial Belanda
Derita dan air mata masyarakat adat Pabubu sebenarnya tidak hanya terjadi di era paska reformasi ini.
Jauh beberapa dekade sebelumnya khususnya pada tahun 1927, masyarakat adat Pubabu yang terdiri dari Vetor Nabuasa dan amaf-amaf (tua-tua adat ) bersama pemerintah Kolonial Belanda menetapkan kawasan hutan Pubabu yang luas wilayah 2.674,4 hektar menjadi hutan adat.
Tujuan dari penetapan hutan adat Pubabu ini untuk melindungi satwa liar, tanaman obat-obatan, pohon, dan tali-tali hutan.
Hutan adat pubabu merupakan hutan larangan yang dalam bahasa Dawan “Kio”yang berarti larangan.
Sejak itu, masyarakat adat Pubabu melarang siapa saja yang melakukan aktivitas penebangan, perburuan dan aktivitas ilegal lainnya di dalam kawasan hutan tersebut.
Masyarakat hanya diperbolehkan menebang, berburu, dan melakukan aktivitas di hutan tersebut, apabila sudah melakukan upacara “onen tfe kio”yang arti “berdoa buka larangan”.
Pada tahun 1982, pemerintah Australia mengontrak hutan Pubabu untuk dikelola sebagai tempat penggemukan sapi. Kontrak yang dilakukan oleh pemerintah Australia bersama masyarakat adat Pubabu berlangsung 5 tahun, dari tahun 1982 sampai tahun 1987.
Setelah masa kontrak selesai, pemerintah Australia menyerahkan kembali hutan tersebut kepada pemerintah Indonesia karena kerjasama antar Negara dan masyarakat adat Pubabu sebagai pemilik hutan adat.
Pada tahun 1987, tanah ini kemudian dikontrak lagi oleh Dinas Peternakan Provinsi NTT selama 25 tahun, dari tahun 1987 sampai tahun 2012.
Pada tahun 2010, masyarakat adat Pubabu membangun pemukiman di luar hutan adat yaitu di blukar masyarakat sendiri. Namun Dinas Peternakan menyurati masyarakat bahwa tanah yang dibangun pemukiman itu masih masuk di dalam kawasan 6000 hektar yang dikontrak oleh Dinas Peternakan.
Setelah itu ditahun yang sama, Dinas Peternakan ingin melakukan perpanjangan kontrak, namun masyarakat adat Pubabu dengan tegas melakukan penolakan.
“Kami melakukan penolakan agar hutan yang kami jaga ini tidak dirusak atas nama proyek pembangunan” ungkap Niko Mana’o, salah satu anggota Dewan Adat Pabubu.
Perjuangan di DPRD Provinsi
Pada tahun 2016, pemerintah lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup no P.83 tentang Perhutanan Sosial.
Peraturan ini keluar sebagai upaya pemerintah untuk mesejahterakan masyarakat. Hal ini terkait dengan tingginya angka kemiskinan di daerah kawasan Hutan akibat wilayah kelola masyrakat dibatasi.
Peraturan ini memungkinkan masyarakat dapat mengelola dan melindungi hutan secara partisipatif.
Peraturan ini kemudian yang menjadi kekuatan baru bagi komunitas masyarakat adat Pubabu, TTS yang selama ini memperjuangkan hutan Pubabu sebagai milik mereka.
Menindaklanjuti hal itu, masyarakat adat Pubabu yang tergabung dalam Ikatan Tokoh Adat-Pencari Keadilan dan Kebenaran (ITA-KK) bersama WALHI NTT melakukan pertemuan dengan Komisi V DPRD dan Dinas Kehutanan Propinsi NTT pada Senin 19 Desember 2016 lalu di Kantor DPRD Provinsi NTT.
Pertemuan ini untuk mendorong para pengambil kebijakan mendukung aspirasi masyarakat adat ITA-PKK dalam memfasilitasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat, mulai dari kebijakan hingga manajemen pengelolaan hutan.
Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 61 ayat 1 dan 2 dalam Permen LHK yakni Pertama, pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi pemegang HPHD, IUPHKm, IUPHHK-HTR, kemitraan kehutanan dan Pemangku Hutan Adat.
Kedua, fasilitasi sebagaimana dimaksud yakni pada tahap usul permohonan, pengutanan kelembagaan, peningkatan kapasitas, termasuk manajemen usaha, pembentukan koperasi, tata batas areal kerja, penyususnan rencana pengelolaan hutan desa, rencana kerja usaha, dan rencana kerja tahunan.
Pada kesempatan itu, ITA-PKK dan WALHI NTT juga menyampaikan kondisi faktual di lapangan dan menyampaikan berbagai rekomendasi diantaranya, bahwa selama ini hutan Pubabu telah dikelola oleh warga adat termasuk melindunginya dari praktek penjarahan.
ITA-PKK meminta pemerintah untuk memberikan kepastian hukum atas status pengelolaan hutan adat sebagaimana diamanatkan oleh Permen LHK.
Menanggapi permintaan masyarakat Pabubu pada waktu itu, Ketua Komisi V DPRD Propinsi NTT, Winston Rondo menyampaikan mengakui aturan dan pengelolaan masyarakat adat oleh karena itu beliau mendukung dan menyampaikan dalam rapat paripurna.
Sementara itu, Rudi Lesmono dari Dinas Kehutanan mengatakan bahwa perlu ada pengakuan terlebih dahulu terhadap hak masyarakat adat dalam segi kebijakan misalnya peraturan daerah.
Masyarakat adat Pubabu juga kembali menemui komisi 1 DPRD NTT, di Ruang komisi 1 DPRD Provinsi NTT, Rabu (25/10/2017). Mereka kembali datang karena dipicu aksi intimidasi yang dilakukan tim gabungan pemprov pada 17 Oktober 2017 lalu.
.”Merebaknya konflik agraria di NTT khususnya masyarakat Adat Pubabu dengan Dinas Kehutanan dan Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur, sesungguhnya dipicu oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak adil dan cendrung mencari keuntungan” ujar Niko Mana’o di hadapan DPRD NTT.
Niko menambahkan, selama ini pemerintah tidak punya itikad baik di level pemerintah tingkat kabupaten, tingkat Provinsi bahkan sampai ke tingkat pusat.
“Akibatnya masyarakat yang selama ini menjadi korban, baik korban intimidasi, diskriminasi bahkan ada penganiayaan terhadap diri saya yang dilakukan oleh dinas peternakan bekerjasama dengan masyarakat untuk adu konflik horizontal. Di situ saya dianiaya oleh masyarakat yang dibawa oleh dinas peternakan termasuk camat Amanuban Selatan” tutur Niko dengan nada sedih.
Niko berharap DPRD provinsi melalui komisi I, bisa menyampaikan aspirasi ini kepada pemerintah Provinsi NTT agar bisa menyelesaikan persolan ini dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
“Jika memang persolan ini tidak cepat diselesaikan, maka kami akan melakukan tindakan pemblokiran jalan di jalur selatan sebagai tindakan terakhir kami”tegas Niko.
Sementara itu, di hadapan DPRD NTT, Ketua Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTT, Umbu Wulang, menyampaikan, setelah presiden Jokowi mengeluarkan skema perlindungan sosial (PS) dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) kemudian diikuti permen Lingkungan Hidup (LH) soal kehutanan sosial, hutan Adat Pubabu, secara lisan sudah didaftarkan ke Dirjen penyelesaian konflik dan Tenurial kementrian Lingkungan dan kehutanan (LHK).
“Nanti LHK akan turun ke lapangan untuk mengecek jumlah luasan, kepemilikan struktur adat di sana” ujar Wulang.
Lanjut Wulang, salah satu kendala yang selalu menjadi tantangan dari tahun ke tahun bahwa NTT belum ada Perautran Daerah (Perda) pengakuan masyarakat hukum adat.
Pengakuan masyarakat hukum adat itu tentu untuk mempercepat proses-proses pengakuan masyarakat adat.
Sementara Wakil ketua Komisi 1 DPRD Provinsi NTT, Leo Ahas, menyampaikan,dengan kasus ini pemerintah melakukan perbuatan hukum atas dasar wewenang yang dimilikinya.
“Jadi kita akan segera melakukan rapat koordinasi, dengan beberapa pihak yakni Pol PP, Dinas Peternakan, Dinas Kehutanan, Biro Hukum, Dinas Aset, BPM ” ungkap Ahas.
Dalam waktu dekat DPRD Provinsi NTT juga akan melakukan rapat dengar pendapat dengan 6 instansi terakait yakni Pol PP, Dinas Peternakan, Dinas Kehutanan, Biro Hukum, Dinas Aset dan BPM sekaligus keterwakilan dari masyarakat Pubabu.
Penulis: Tarsi dan Rilis ITA PKK
Editor: Irvan