Oleh: Ronaldus Adipati Kunjung, S.Pd*
Pengantar
Kontestasi Pilkada sudah dimulai. Momen-momen Pilkada yang mulai dan akan digelar serentak dan sadar menyingkap tingginya ruang partisipasi publik. Pengaruh media tidak dinafikan membawa dampak positif terbangunnya masyarakat yang melek pilkada.
Di era digital sekarang ini, Pilkada bukan lagi menjadi hak prerogatif politisi dan juga partai, ia sudah menjadi milik publik dikonsumsi secara luas oleh berbagai kalangan. Berbagai pihak mulai terlibat mulai dari promosi, sosialisasi, dan kampanye pasangan bakal calon Pilkada.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Pasal 131 ayat (2) juga telah memberi ruang terhadap partisipasi publik dalam pemilu di mana masyarakat dapat terlibat pada setiap tahapan pemilihan mulai dari sosialisasi sampai pemilihan.
Dalam konteks ini partisipasi masyarakat tidak sekedar saat hari pencoblosan tetapi mengawal pemilu sejak awal, termasuk Pilkada. Meskipun keterlibatan masyarakat sifatnya seremonial semata tetapi paling tidak masyarakat sudah terlibat dalam penyelenggaraan pemilu yang oleh Ramlan Surbakti (Kompas, 2014/07/30) disebutkan sebagai parameter ke empat dari sembilan parameter Pemilu yang Adil dan Berintegritas.
Guru dan Pilkada
Sebagai bagian dari anggota masyarakat, guru merupakan salah satu pihak yang paling rentan terkait urusan Pilkada. Selain karena posisi tawarnya yang cukup menguntungkan seperti populasi tinggi dan upah minim, guru juga secara sadar berpolitik praktis atau menjadi bandul para politisi saat musim Pilkada. Guru yang sejatinya merupakan salah satu tugas profesional kemudian mereduksi dan direduksi ke dalam tataran politik praktis.
Tugas guru sebagai pengajar, pendidik, dan pelatih kemudian terbagi antara hasrat untuk berpolitik dan mengabdi sebagai pendidik. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengutip data Bank Dunia mengatakan bahwa saat pemilihan kepala daerah terdapat penambahan penerimaan 800 guru baru per wilayah. Selain itu, probalitas guru mendapat sertifikasi meningkat sebesar 3 persen (Kompas, 2017/03/30). Dari data ini dengan jelas terbaca bahwa Pilkada dan guru mempunyai korelasi yang erat.
Guru yang terlibat atau dilibatkan dalam kontestasi pilkada tampil dengan dalil utama kesejahteraan. Dengan terlibatnya para guru dalam politik praktis pilkada, nasib guru diharapkan akan diperhatikan baik secara individu maupun kolektif. Padahal kita tahu bahwa niat dan janji jika diibaratkan meminjam istilah Goenawan Mohamad sebagai ingatan yang dengan mudah melayang dan terbakar (Origami, 2012/08/06). Janji tidak pernah stabil. Ia dengan mudah dilupakan oleh waktu dan tempat. Begitupula janji para politisi.
Keterlibatan guru dalam Pilkada sebagai yang telah dikemukakan di atas tidak terlepas dari minimnya atensi pemerintah terhadap profesi guru. Padahal guru adalah sebuah profesi. Sebagai sebuah profesi, guru-guru telah dibekali pengetahuan dan keterampilan cara mendidik yang baik dan benar.
Hal ini juga sejalan dengan UU No.14/2005 Pasal 7 menyatakan bahwa profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip minat, panggilan jiwa, dan idealisme. Jelas bahwa profesi guru harus diisi oleh orang-orang yang mempunyai minat, penggilan jiwa, dan mempunyai idealisme yang tinggi untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Tugas seorang guru sebenarnya adalah tugas profetis. Ia diutus, dikhususkan (dalam konteks Manggarai – Flores, juga diklutuskan sebagai Tuang: tuan) untuk mewartakan terang kepada anak didik, menyulam anak didik menjadi manusia yang bermartabat atau dalam istilah Dryakara memanusiakan manusia. Bagaimana misalnya jika seorang guru menjalani profesinya sebagai guru sementara panggilan jiwanya bukan sebagai guru? Jelas bahwa guru tersebut akan mengabdi setengah hati, setengahnya ke guru dan setengahnya lagi berpikir untuk menjadi Tim Sukses. Sudah banyak bukti bahwa guru-guru sekarang menjadi Timses pasangan bakal calon tertentu.
Guru: Kebimbangan Profetis
Dalam konteks Pilkada, guru merupakan sebuah profesi yang bimbang. Guru terjebak dalam dua soal utama dan sangat mendasar yakni soal panggilan jiwa dan sistem pengupahan. Guru-guru honorer banyak mempunyai jiwa dan niat untuk menjadi guru tetapi tidak didukung oleh sistem pengupahan yang layak. Kenyataan ini menandai bahwa masih ada yang belum beres dalam dunia pendidikan kita.
Rendahnya atensi pemerintah terhadap guru merupakan sebab utama banyaknya guru untuk terjun ke dunia politik. Pengupahan guru-guru kita sangatlah tidak layak dan bahkan di luar perikemanusiaan. Keringat seorang guru di suatu sekolah seringkali hanya dihargai dengan Rp. 400.000/bulan. Bahkan ada sekolah yang memberikan honor Rp. 300.000/bulan terhadap guru. Meskipun untuk Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur di Flores – NTT ada istilah Bosda (Bantuan Operasional Sekolah Daerah) dan Tamsil (Tambahan Penghasilan) tetapi itu berlaku hanya untuk guru SD dan SMP saja. Lalu bagaimana dengan rekan-rekan guru honor yang mengajar di SMA?
Semenjak peralihan ke Propinsi per Januari 2017, sampai sekarang mereka belum mendapatkan perhatian yang layak dari pemerintah Propinsi. Meskipun dalam Petunjuk Teknis Penggunaan BOS Nomor 008 Tahun 2017 bahwa Dana BOS bisa digunakan untuk guru honorer dengan batas maksimum penggunaan sebesar 15% tetapi itu berlaku bagi guru yang mendapatkan penugasan dari pemerintah daerah dan disetujui oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Sekretaris Jenderal berdasarkan usulan dari dinas pendidikan provinsi. Dengan kata lain, itu hanya berlaku bagi guru non PNS yang Surat Keputusan Pengangkatannya sebagai guru ditandatangani langsung oleh Gubernur dan disetujui oleh Kemdikbud melalui Sekretaris Jenderal.
Dari kenyataan ini jelas guru-guru khususnya guru honorer berhadapan dengan yang disebut kebimbangan profetis, bimbang untuk terus mengabdi sebagai pendidik, atau terjun ke dunia politik praktis. Padahal saya yakin jika guru diberikan pengupahan yang layak maka niatan untuk terlibat jauh dalam urusan politik praktis seperti pilkada akan dipikir-pikir.
Rekomendasi
Dari permasalahan di atas, saya hendak menawarkan beberapa solusi khususnya bagi pemangku kebijakan.
Pertama, soal pengupahan. Dalam hal pengupahan, pemerintah baik Daerah maupun Propinsi harus membuat regulasi khususnya terkait alokasi anggaran untuk mengupah guru-guru kita khususnya rekan-rekan guru honor di setiap sekolah. Terus terang merekalah sebenarnya ujung tombak kemajuan pendidikan di Propinsi ini. Jumlah mereka yang cukup banyak 1:6 dengan guru PNS memungkinkan mereka untuk bisa bekerja dengan baik dan mengabdi dengan hati.
Kedua, soal sistem rekrutmen dan mutasi. Dalam hal rekrutmen, pemerintah harus menggunakan acuan data dapodik untuk memberikan rekomendasi kepada sekolah untuk menerima tenaga guru yang secara dapodik ada mata pelajaran tertentu yang kurang sehingga bisa meminimalisir sistem ‘asal terima’ oleh Kepala Sekolah dan juga komite sekolah.
Selain itu dalam hal mutasi, pemerintah juga bisa memutasi guru-guru. Sekarang ini banyak sekolah yang mengalami penumpukan guru sementara sekolah-sekolah lain di pelosok mengalami kekurangan. Jika pemerintah terlibat maka pemerintah bisa melakukan mutasi sebagaimana guru PNS untuk mengisi kekurangan guru di sekolah lain, asalkan pemerintah harus memberikan menjamin penghasilan guru-guru honor tersebut.
Ketiga, jangan memperumit guru dengan administrasi yang ruwet. Keluhan yang selama ini muncul di sekolah adalah para guru terlalu dibebankan dengan urusan administrasi yang tidak jelas hasil akhirnya apakah mereka akan diupah oleh daerah atau propinsi. Guru-guru sibuk hanya untuk mempersiapkan administrasi tetapi pemerintah mengabaikan tuntutan mereka untuk diupah secara layak.
*Penulis adalah Guru di SMA Negeri 7 Kota Komba – Manggarai Timur –Flores – NTT