Oleh: Edi Hardum
Pada Kamis, 6 September 2018, sehari setelah dilantik oleh Presiden Joko Widodo menjadi Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Victor Bungtilu Laiskodat mengeluarkan pernyataan bahwa di hari pertama berkantor, ia melakukan moratorium pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri dan izin pertambangan.
Pernyataan yang berisi janji ini, bagus. Betapa tidak, dua hal tersebut merupakan permasalahan bagi NTT sampai saat ini. Namun, kalau kita memeriksa ketentuan perundang-undangan yang berlaku, pernyataan Gubernur NTT itu, berlebihan, yakni soal janji melakukan moratorium pengiriman TKI ke keluar negeri.
Sedangkan moratorium atau bahkan menghentikan pengeluaran izin pertambangan di NTT, pernyataan Victor tidak berlebihan karena peraturan perundang-undangan mengatur bahwa yang berwenang mengeluarkan izin pertambangan adalah pemerintah provinsi cq Gubernur.
Pertanyaannya mengapa Gubernur terpilih mengeluarkan pernyataan seperti itu ? Undang-undang mana yang dilanggar ?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya ingin menjelaskan sepintas mengenai TKI di luar negeri.
Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri melansir Bank Dunia, menyatakan bahwa sampai akhir 2017, jumlah TKI Indonesia di luar negeri sebanyak sekitar 9 juta orang.
Dari jumlah ini sebanyak 55 persennya ada di Malaysia, 13 persen di Arab Saudi, 10 persen di Tiongkok atau Taiwan, dan di negara-negara lain.
TKI yang berada di luar negeri terdiri dari TKI formal dan TKI informal atau pekerja rumah tangga (PRT).
Data Bank Dunia tersebut di atas terdiri dari TKI yang berangkat secara legal dan TKI yang berangkat secara ilegal.
Data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), sampai 2017 jumlah TKI yang legal di luar negeri baik TKI formal maupun informal berjumlah sekitar 6 juta. Itu berarti TKI ilegal di luar negeri sekitar 3 juta orang.
Dari tahun ke tahun provinsi paling tinggi mengirim TKI ke luar negeri adalah Jawa Barat, kemudian Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Banten, Nusa Tenggara Timur.
Sejak pemerintah pusat menghentikan pengiriman TKI ke seluruh negara Timur Tengah sejak April 2015, maka pengiriman TKI ilegal ke negara-negara Timur Tengah termasuk Malaysia mencapai 10.000 TKI per bulan. Ini data dari Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati), yang diamini Kemenaker dan BNP2TKI.
Salah satu provinsi yang “mengirim” TKI keluar negeri terutama ke Malaysia secara ilegal adalah NTT. Saat ini TKI ilegal asal NTT yang bekerja di Malaysia sebagaimana dikutib media Indonesia, berjumlah sekitar 50.000 orang.
Jumlah itu belum termasuk tenaga kerja legal yang jumlahnya juga mencapai puluhan ribu orang. Mereka bekerja di berbagai sektor seperti perkebunan dan asisten rumah tangga.
Karena mereka (TKI) pergi dan bekerja di negara lain seperti Malaysia secara ilegal, maka TKI minim mendapat perlindungan baik perlindungan hukum maupun perlindungan sosial, terutama ketika TKI mengalami sakit baik kerena kecelakaan kerja maupun karena penyakit. Sehingga tidak heran, sepanjang tahun 2017, 40 TKI asal NTT pulang dalam keadaan sudah menjadi mayat. Sementara di tahun 2018 per Januari sampai Agustus terdapat 73 TKI asal NTT yang juga pulang dalam keadaan tak bernyawa.
Nah, karena hal seperti inilah saya yakin Gubernur NTT terpilih, Victor Laiskodat mengeluarkan pernyataan seperti di atas. Bung Victor gerah masyarakatnya menjadi budak dan mati di negeri orang.
Mengapa orang nekat bekerja di negara orang? Karena dua hal yakni, pertama, ada faktor penarik yaitu banyak kebutuhan tenaga kerja di negara-negara yang dimaksud yang ditawarkan di Indonesia sampai ke pelosok-pelosok melalui calo. Calo ini umumnya bekerja sama dengan oknum aparat dan pejabat di daerah.
Penulis banyak mencatat pejabat di Dinas Tenaga Kerja daerah harus berurusan dengan hukum karena terlibat permainan dengan calo calon TKI.
Seperti tahun 2014 ada dua kepala dinas tenaga kerja kabupaten di NTT harus menjadi tersangka karena merekayasa umur calon TKI, yang seharusnya berumur 16 tahun dibuat menjadi 24 tahun.
Kedua, faktor pendorong, yakni kemiskinan. Orang tidak akan nekat untuk pergi secara ilegal di luar negeri demi mendapat pekerjaan kalau kemiskinan tidak mendera. Kalau kita periksa, daerah yang menjadi kantong TKI adalah daerah-daerah yang miskin. NTT salah satunya.
Hak yang Dilindungi Konstitusi
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, ”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Itu berarti siapa pun sebagai warga negara Indonesia tidak boleh dihalangi oleh siapa pun untuk bekerja atau untuk mendapat pekerjaan.
Sebagai penjabaran bunyi Konstitusi itu, terutama mengenai TKI di luar negeri diatur dalam tiga undang-undang.
Pertama, UU 13 Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan, di mana Pasal 33 menyatakan bahwa penempatan kenaga kerja terdiri dari : (a) penempatan tenaga kerja di dalam negeri, (b) penempatan tenaga kerja di luar negeri. Pasal 34 UU 13/2003 berbunyi, ”Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang”.
Kedua, UU 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri. Yang dimaksud Undang-undang dalam Pasal 34 Undang-undang 13 / 2003 adalah adalah 39 Tahun 2004 ini.
Dalam pertimbangan UU 39 Tahun 2004 ini menyatakan bahwa (a) bahwa bekerja merupakan hak asasi manusia yang wajib dijunjung tinggi, dihormati, dan dijamin penegakannya; (b) bahwa setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan.
Ketiga, UU 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang diundangkan pada 24 November 2017. UU 18 Tahun 2017 merupakan pengganti dari UU 39 Tahun 2004.
Namun, karena aturan turunan dari UU 18 Tahun 2017 belum selesai maka sebagai aturan peralihan, UU 39 Tahun 2004 masih berlaku. Penuntasan penyelesaian aturan turunan dua tahun sejak diundangkan dan dicatat dalam lembar negara. Itu berarti akan resmi berlaku dengan dituntaskan aturan turunan pada November 2019.
Penulis merupakan Praktisi Hukum dan penulis buku “Perdagangan Manusia Berkedok Pengiriman TKI”, tinggal di Jakarta.