Oleh: Inosentius Mansur *
Media-media (cetak, online dan televisi) tanah air akhir-akhir ini selalu menyajikan berita tentang suhu dan konsolidasi politik menjelang Pilkada serentak.
Kalau berita-berita itu disimak secara mendalam, kita akan menemukan munculnya potensi dialektika politik dalam demokrasi elektoral menjelang Pilkada. Potensi itu berpusat pada dua hal yaitu pengaruh figur dan pengaruh partai politik (parpol).
Tulisan ini mencoba mengelaborasi sejauh mana hal tersebut bisa menciptakan ruang kondusif bagi keterlibatan politik rakyat dalam Pilkada demi mendapatkan pemimpin ideal.
Tesis dasarnya adalah dialektika antara kehebatan figur (calon) dan kekuatan parpol akan bisa melahirkan Pilkada yang berkualitas.
Figur Vs Parpol?
Harus diakui bahwa figur (calon pemimpin) – terutama yang memiliki elektabilitas tinggi – dan parpol sama-sama memiliki kekuatan dalam Pilkada.
Di satu sisi, eksistensi figur seperti itu pasti menjadi magnet tersendiri, entah bagi parpol maupun bagi rakyat. Secara pribadi, ia memiliki modal politik dan nilai jual.
Ia laku di tengah pasaran politik menjelang Pilkada. Didukung ataukah tidak oleh parpol, ia tetap memiliki pengaruh. Menjelang Pilkada serentak beberapa daerah di Indonesia – termasuk di NTT- kita menyaksikan betapa banyaknya figur hebat yang ingin berkompetisi.
Figur seperti itu memiliki peluang besar untuk memenangkan pesta demokrasi lokal-elektoral di daerahnya. Hal seperti ini tentu saja menjadi sesuatu yang positif bagi demokrasi.
Mengapa? Karena dengannya, rakyat semakin mudah memilih figur yang layak untuk diberi kepercayaan untuk mendapatkan kekuasaan.
Namun demikian, Pilkada bukanlah momentum pembuktian elektabilitas dan popularitas individual figur semata. Lebih dari itu, Pilkada adalah momentum “merakit” dan mendesain partisipasi politik publik (rakyat) sambil secara demokratis memberi ruang kepada parpol untuk memainkan perannya.
Kendatipun Pilkada adalah hajatan demokratis yang fokusnya adalah mencari figur pemimpin daerah yang tepat, tetapi bukan berarti peran parpol dimentahkan. Kita harus mengakui bahwa untuk kondisi sekarang, keberadaan parpol masih sangat dibutuhkan.
Selain karena signifikannya dukungan politik dalam program pembangunan daerah, tetapi juga kita percaya bahwa parpol masih memiliki konsep liberalisasi untuk rakyat akar rumput.
Memang benar bahwa akhir-akhir ini, parpol-parpol kita seringkali dikritik karena memakai perspektif elitis pragmatik dalam mendesain keputusan politik. Parpol-parpol juga seringkali mengalami amnesia eksistensi, lupa hakikat keberadaanya.
Tetapi hemat saya, hal seperti itu bukan berarti peran parpol mesti secara serta merta disingkirkan. Justru ini menjadi tantangan bersama agar mencari solusi sehingga parpol tidak memakai kacamata pragmatis dalam mendesain keputusan politik, melainkan perspektif demokratis-kerakyatan.
Persoalannya adalah jika antara kehebatan figur dengan kekuatan parpol seakan-akan ada dikotomi. Di satu sisi, karena figur tertentu memiliki elektabilitas dan kredibilitas –mungkin juga uang- ia dianggap memiliki pengaruh luar biasa lantas melihat legitimasi politik dari parpol sebagai aspek formal saja.
Hal ini berakibat fatal bagi figur tersebut. Sebab dia bisa terjebak dalam bahaya pragmatisme individual. Begitu pun sebaliknya, karena parpol memiliki kuasa dalam memberi legitimasi politik, justru tidak menunjukan cara berpolitik demokratis. Bahkan parpol tersebut (akan) menggiring figur tertentu agar mengikuti kemauannya saja.
Parpol seperti itu akan memberikan “tekanan-tekanan” dan bahkan “ancaman-ancaman” politik agar sang figur mengikuti keinginannya. Figur pun menjadi boneka politik yang mengikuti kemauan parpol.
Jika tidak, maka dia tidak akan mendapat dukungan politis dan tamatlah riwayat politiknya. Hal seperti inilah yang menimbulkan kesan seolah-olah figur tertentu “berbeda” dengan parpol, figur vs parpol.
Dialektis
Esensi Pilkada adalah partisipasi politik rakyat demi mendapatkan pemimpin yang dianggap mampu. Karena itu, tidak boleh ada benturan dan dikotomi antara pengaruh figur tertentu dan juga pengaruh parpol.
Kekuatan figur dan parpol mesti secara dialektis berkombinasi demi Pilkada yang berbobot dan menjadikannya sebagai “hajatan” rakyat.
Pilkada bukanlah momentum memperlihatkan kelebihan/kehebatan figur tertentu dan bukan juga ruang afirmasi hegemoni parpol, melainkan saat tepat untuk membantu rakyat memberikan pilihan politik secara tepat pula.
Kehebatan figur pemimpin tertentu mesti secara dialektis dipadukan dengan keunggulan parpol sehingga rakyat dipermudah untuk memberikan keputusan politik.
Dialektika kehebatan figur dan kekuatan parpol juga mesti membantu rakyat terlibat dalam diskursus demokrasi bernama Pilkada. Dengan ini, rakyat bisa terlibat secara aktif lagi kritis.
Hal seperti inilah yang mesti menjadi pertimbangan bersama mengapa figur dan parpol tidak boleh “dikonfrontosasi” seakan-akan berbeda, tetapi perlu mencari sintesis agar keterlibatan aktif rakyat terjamin.
Memang benar bahwa segala tindakan politik, sebagaimana kata Andrew Heywood (2004) selalu berkaitan dengan kekuasaan. Namun demikian, politik tidak boleh direduksi ke dalam model yang mengutamakan kekuasaan semata.
Figur dan parpol mesti berkombinasi secara konstruktif dan reproduktif agar tidak hanya berpolitik untuk mendapatkan kekuasaan, tetapi juga membantu rakyat memberikan kekuasaan kepada calon pemimpin yang responsif-artikulatif.
Figur dan parpol akan dipandang sebagai elemen penting dalam Pilkada jika melahirkan konsep dan tindakan politik liberatif bagi rakyat. Inilah yang lebih esensial.
*Inosentius Mansur adalah Pemerhati sosial-politik dari Seminari Ritapiret, Maumere –Flores, NTT