Di lorong ini, negara adalah boneka modal untuk membawa warganya ke labirin sempit peradaban. Negara adalah alat dari modal untuk menjebak dan mancampakan rakyat ke ruang sempit peradaban
Oleh Lasarus Jehamat*
Di beberapa hari terakhir, media-media lokal di NTT, cetak maupun elektronik, konvensional maupun online sibuk memberitakan kasus human trafficking (penjualan manusia) di NTT.
Yang paling segar, berita tentang kasus jual beli manusia dalam langgam ekonomi. Media ini memberitakan bahwa di NTT, 20 wanita bisa ditukar dengan kendaraan roda empat (PK, 24 Agustus 2016).
Diberitakan, proses jual beli manusia terjadi sejak lama dengan proses yang sangat rapi. Menariknya, hukum permintaan ekonomi berlaku dalam diri manusia.
Jika jumlah tenaga kerja wanita sedikit maka harganya akan naik, sebaliknya jika jumlah tenaga kerja wanita sedikit maka harganya akan turun.
Kasus ini tentu tidak bisa hanya dibaca sebagai kasus kriminal murni semata. Penjualan manusia dengan modus dan cara seperti ini wajib dibaca dalam kerangka dehumanisasi manusia; sebuah proses pengingkaran jati diri manusia.
Kasus ini seakan membuka mata kita bahwa rezim ekonomi global telah menjadikan manusia tidak saja obyek tetapi sekaligus alat.
Manusia adalah bentuk lain dari apa yang disebut benda, kendaraan dan mobil. Sebuah kerja dehumanisasi paling vulgar di abad ini.
Gugatan kita kemudian, mengapa fenomena ini seperti terjadi begitu rupa dan seakan jauh dari perhatian publik? Di sana kita harus mengkritisi rezim ekonomi global dalam langgam neoliberalisme.
Di lorong ini, negara adalah boneka modal untuk membawa warganya ke labirin sempit peradaban. Negara adalah alat dari modal untuk menjebak dan mancampakan rakyat ke ruang sempit peradaban.
Rezim Pasar
Harus diakui bahwa ekonomisasi manusia seperti ini terjadi karena negara sebagai entitas otonom terpaksa dan dipaksakan tunduk di bawah ketiak modal.
Akibatnya, apa pun permintaan pasar harus dipenuhi negara. Maka, bisa dimengerti mengapa NTT dan masyarakatnya tetap dibiarkan miskin.
Kemiskinan di NTT hemat saya bisa diselesaikan dengan amat gampang jika negara dan pengambil kebijakan di republik ini menolak bahkan menggugat kerja modal.
Masalahnya, atas nama pertumbuhan ekonomi, negara tak kuasa menolak kehadiran modal tersebut. Sebab, semua indikator perkembangan apa pun di muka bumi, kental dipengaruhi oleh indikator ekonomi. Rezim kuantifikasi masuk di dalamnya.
Dengan logika di atas, kita bisa menjelaskan kemiskinan di NTT. Bahwa kemiskinan di NTT merupakan sebuah realitas yang sengaja dibentuk dan dipelihara oleh negara dan modal.
Tujuannya adalah agar modal dan negara masih bisa menunjukan kekuasaan kala di tempat lain, kekuasaan dua entitas ini hampir berakhir karena perkembangan demokrasi.
Di sini, dominasi pasar menyebabkan negara menutup mata akan semua persoalan di masyarakat. Dengan itu modal bisa bermain bahkan sampai ke wilayah yang paling sulit dimasuki negara.
Ketika menyebut kekuasaan maka kita harus memeriksa rezim politik. Rezim politik harus diperiksa karena berhubungan dengan otoritas pengambil kebijakan di sebuah negara.
Untuk konteks Indonesia, rezim politik pusat memang sengaja menjadikan NTT sebagai daerah yang sungguh lemah dalam proses demokrasi dan politik.
Itulah alasan mengapa dalam proses perekrutan pemimpin di NTT, hampir semua elit di pusat enggan menyetujui tokoh dan elit prodemokrasi.
Elit yang disetujui pusat adalah mereka yang bisa bekerja sama dan mampu dikendalikan pusat untuk tujuan ekonomistik.
Kasus human trafficking (penjualan manusia) yang tengah menjadi trending topic di NTT saat ini hemat saya bisa dipahami sejauh memahami kerja dominatif pasar.
Dalam ruang dominasi itu, pasar mendikte negara untuk tidak terlampau memerhatikan beberapa daerah. NTT termasuk di dalamnya. Itulah alasan mengapa negara seakan hilang di daerah ini.
Negara baru ada ketika momen peringatan tujuh belasan. Negara seakan ada kala negara memiliki beragam program pembangunan ‘bebas nilai’ (baca; karena kepentingan).
Dengan demikian, negara membangun NTT karena kepentingan. Kepentingan itu sebenarnya tidak hanya datang dari negara sendiri tetapi karena modal memaksa negara bekerja demikian.
Kemiskinan, buta huruf, kekurangan air bersih, busung lapar dan lain sebagainya merupakan ragam masalah sosial yang memang sengaja dibentuk dan dipelihara oleh negara.
Beragam masalah tersebut menyebabkan rakyat harus memikul ongkos sosial. Menjadi TKI dan TKW bisa merupakan jawaban logis masyarakat miskin di NTT atas kerja dominatif dan manipulatif negara dan modal. Itulah cara bertahan hidup yang dirasa paling logis.
Pernyataan itu hendak menjelaskan bahwa masyarakat sebenarnya tahu dan sungguh sadar akan beragam realitas manipulasi yang terjadi dan dilakukan oleh beberapa oknum di wilayah ini.
Masalahnya, beban kemiskinan membuat masyarakat sulit menolak beragam ajakan dan godaan modal. Itulah kondisi sublimasi paripurna yang terjadi di daerah ini; tahu dan sadar jika tengah dijajah tetapi masyarakat menari-nari di atas keterjajahan itu.
Presiden Jokowi rupanya bisa menjadi nabi untuk meretas semua persoalan itu satu per satu. Masalahnya adalah mampukah kebijakan Jokowi yang memerintahkan Kapolri menantang arus besar modal yang terus menerus masuk ke ruang sosial masyarakat NTT? Kita semua bertugas untuk menjawabnya.
Lasarus Jehamat adalah Sosiolog Undana; Peneliti Institut Sophia Kupang