Redaksi, VoxNtt.com-Pemuda yang hidup dan lahir tepat di era global ini harusnya bersyukur bahwa globalisasi di bidang teknologi, informasi dan transportasi telah memudahkan kita untuk bergerak dan melanjutkan tongkat estafet perjuangan kaum muda.
Namun, ada satu fakta yang tak terbantahkan bahwa pemuda sekarang justru tenggelam dan terhanyut dalam ‘kenikmatan semu’ yang ditawarkan globalisasi.
Perlu dicatat, bahwa hilangnya sekat ruang dan waktu dalam globalisasi tidak hanya melahirkan peluang bagi kita untuk memanfaatkan kemajuan IPTEK, tetapi juga melahirkan tantangan ketika pengaruh ideologi, kebiasaan, gaya hidup, bahasa, dan budaya kita condong bergaya kebarat-baratan.
Hedonisme, individualisme dan pragmatisme adalah nilai inti yang selalu menyusup dalam setiap kebiasaan dan gaya hidup global. Sayangnya, globalisasi yang terjadi sekarang ini tidak berjalan saling menguntungkan (dua arah).
Dominasi kebudayaan asing justru menendes kebudayaan nasional dan lokal kita.
Di samping itu, neo-liberalisme ekonomi justru menciptakan masyarakat yang konsumtif dengan aneka mitos-mitosnya seperti produk asing lebih bermutu, gaul, trendy dan prestige.
Kecendrungan ini tentunya merugikan kita sebagai bangsa yang sedang berkembang dengan daya produksi lemah.
Bangsa ini akhirnya mengalami pelompatan tangga ketika modal sosial dan budaya belum mapan, kita langsung disuguhkan dengan berbagai macam menu ekonomi, politik dan budaya yang disajikan negara-negara maju.
Alhasilnya, generasi muda bangsa kehilangan identitas dan karakter ke-Indoensia-an. Untuk lebih mudah kita dapat menyaksikan patologi sosial di kalangan kaum muda yang lebih suka berpesta pora, berugal-ugalan di jalan, pergaulan bebas, free sex, tawuran, narkoba, dll.
Mereka lebih suka menyendiri dengan gadget, lebih suka meng-up date status galau dibandingan postingan yang lebih edukatif dan informatif di media sosial, memamerkan pakaian baru yang sedang trendy bahkan kampus pun tak jarang menjadi arena fashion show.
Kehilangan identitas dan jati diri ini pada akhirnya melahirkan generasi imitasi dan terancam lost generation.
Investasi Pemuda
Kompas, 26 April 2015 mencatat bahwa tahun ini, Indonesia memiliki 65 juta anak muda berusia 15-29 tahun. Ini adalah jumlah terbesar yang pernah dimiliki dalam sejarah Indonesia. Jumlah anak muda ini setara dengan jumlah penduduk Thailand.
Dengan anak muda sebanyak ini, 15 tahun lagi, Indonesia akan mendapat limpahan usia produktif. Bonus demografi itu diperkirakan mencapai puncaknya pada 2028-2031 dan berakhir pada tahun 2045.
Kenyataan ini memang melahirkan berkat sealigus kutukan bagi Indonesia di tengah ketidakpastian ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Bayangkan saja, jika selama 15 tahun ke depan, bangsa ini masih mengesampingkan pemberdayaan kaum muda, maka 15 tahun lagi bangsa ini akan dipenuhi generasi ‘mati rasa’ yakni generasi yang kehilangan kepekaan sosial untuk merasakan situasi ketertindasan diri dan sesamanya.
Bisa jadi, masa depan Indonesia pada puncak bonus demorgafi justru akan melahirkan prahara kehancuran ketika pemimpin, birokrat, politisi, guru, dokter, pengusaha, hakim, jaksa, polisi, dan profesi lainnya digantikan oleh orang-orang dengan mentalitas individualis, hedonis dan pragmatis.
Di sini, pembangunan karakter yang berbasis nilai adalah hal utama dan terutama dalam menyongsong generasi emas itu. Investasi modal sosial dan budaya bagi kaum muda akan lebih kontekstual dibandingkan investasi modal finansial yang makin sakau dikejar pemerintah, agent swasta dan masyarakat kita.
Karena itu, pemerintah selaku pengambil kebijakan sebaiknya menyiapkan grand-design pembangunan pemuda sedini mungkin. Dalam merealisasikan program ini, perlu dicanangkan program pemberdayaan kaum muda baik untuk jangka pendek, menengah dan jangka panjang.
Ketiga fase ini harus berkesinambungan dan pencapaianya bisa terukur serta bisa dirasakan signifikansinya. Investasi modal sosial dan budaya akan menghasilkan kemandirian, integritas diri, kreatifitas, kerja keras dan gotong royong.
Tentunya proses re-instal nilai sosial dan budaya itu harus didukung oleh kebijakan pemerintah yang fokus tehadap pemberdayaan kaum muda di samping pendidikan keluarga, media massa yang berbasis nilai dan lingkungan yang kondusif.
Jika kita mampu melahirkan kaum muda yang cerdas dan berintegritas selama 15 tahun ke depan, niscaya cita-cita kemerdekaan sejati yang telah diperjuangkan pemuda masa lalu akan segera terwujud.
Penguasaan basis pengetahuan yang ditopang oleh soft skill yang kuat akan mampu menciptakan masa depan Indonesia yang mandiri secara ekonomi, berdaulat secara politik dan berkepribadian secara budaya.
Semoga momentum Sumpah Pemuda dapat dijadikan bahan refleksi untuk lebih menata para pemuda menjadi garda terdepan pembangunan bangsa di masa yang akan datang.
Jangan paksa diri tiba di titik tak bisa balik karena nanti yang dijaring hanyalah penyesalan. Semoga!