Oleh: Anno Susabun*
“Menyerahkan kebebasannya berarti menyerahkan martabat, hak-hak asasinya, bahkan kewajibannya” (J. J. Rousseau)
Pilkada serentak jilid II sebentar lagi akan dilaksanakan di 101 daerah, 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kotamadya. Sambil tidak mengabaikan proses politik menjelang perhelatan pesta demokrasi besar yang berlangsung pada 15 Februari 2017 ini, saya mengundang pembaca sekalian untuk melihat kembali cedera-cedera demokrasi yang lahir dalam setiap tahapan pilkada di Indonesia.
Salah satu dari sekian banyak cedera itu, yang hemat saya pantas dipanggungkan di hadapan publik untuk selanjutnya menjadi kecemasan kolektif, adalah problem politik uang (money politics).
Mencemaskan praktik politik uang bukan tanpa alasan, lantaran hampir pasti tidak ada pilkada yang tanpa politik uang, tidak ada kandidat yang tidak melakukannya, dan tidak banyak pemilih yang rasional dan memiliki preferensi politik demokratis.
Fakta empiris selanjutnya mencatat, korupsi tidak berada jauh dari praktik politik uang, bahkan politik uang ditengarai menjadi simulasi paling tampan bagi aksi bobrok para pemimpin politik tanah air saat ini.
Membicarakan politik uang dalam pilkada kadang-kadang membuat risih. Hal ini disebabkan karena kenyataan politik kita yang tampil dalam perhelatan pilkada memang nyaman dalam keadaan ini.
Kenyamanan itu tampak dalam banyaknya jumlah kasus, baik yang terjerat pasal konstitusi, yang tidak terpantau kamera penegak hukum, maupun yang didiamkan.
Dalam banyak kesempatan, politik uang bahkan dianggap sangat wajar, sampai-sampai orang merasa tidak bersalah (minimal secara hukum) lalu melakukanya secara terang-terangan. Potensi penegak hukum untuk melakukan praktik busuk ini pun jelas tidak diragukan lagi.
Ironi demokrasi
Politik demokrasi sejatinya mengandaikan keleluasaan hak dan keniscayaan kebebasan dalam banyak aspek. Dengan demikian, konsekuensi logis negara demokrasi seperti Indonesia ialah menjamin masyarakatnya memiliki hak-hak dan kebebasan mendasar, termasuk dalam percaturan politik.
Dalam hal ini, kebebasan memilih dan dipilih dalam pemilihan umum masuk dalam kriterium tersebut. Secara historis, catatan merah mengenai hal ini pernah ditorehkan Soeharto, sang penguasa otoriter era Orde Baru yang secara tragis mempermainkan demokrasi.
Soeharto yang konon banyak dimusuhi (sampai sekarang, meskipun ia sudah mati), banyak kali memasung hak dan kebebasan warga negara Indonesia dalam banyak hal, mulai dari pembatasan jumlah partai-partai politik sampai manipulasi hasil pemilu.
Dalam kerangka narasi besar ‘stabilitas nasional’, Soeharto menjadi penjahat politik yang mesti diakui, sudah mengubur hak dan kebebasan masyarakat zaman itu.
Angin segar reformasi menjadi awal gerak maju demokrasi. Lalu muncul ekspektasi, demokrasi mesti manjadi roh sekaligus wajah politik, maka setiap proses politik mengandaikan adanya prosedur-prosedur demokrasi.
Ironisnya, kini, setelah reformasi bergulir selama lebih dari 18 tahun, hak-hak politik justeru diobral, dijual seperti komoditas ekonomi. Motifnya ada berbagai macam.
Demokrasi transaksional
Obral hak politik dalam praktik politik uang adalah praktik demokrasi transaksional yang sangat biasa dalam setiap pilkada. Pemilih menjual hak politiknya untuk secara bebas dan rahasia memilih kandidat pemimpin dengan imbalan uang.
Ritual bagi-bagi uang menjadi wajib dilakukan bila ingin menang dalam pertarungan merebut kursi. Yang menjadi petarung dalam kandidasi sebetulnya bukan figur calon dengan pelbagai visi, misi, platform, elektabilitas, dan kapasitas pribadinya, melainkan uang.
Artinya kandidat mana yang banyak ‘menginvestasi’, dia yang akan banyak mendulang suara. Ide meritokrasi a la Michael Young dalam hal ini tidak mendapat tempat di Indonesia.
Demokrasi berubah wajah menjadi transaksi ekonomi, maka tujuan politik pun bukan lagi kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Tujuan politik adalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana (Madung, 2014: 247).
Hemat saya, ada beberapa hal yang menjadi penyebab maraknya praktik obral hak politik dalam bentuk politik uang, antara lain; pertama, rendahnya kualitas kandidat, baik kualitas intelektual (pengetahuan tentang makna demokrasi) maupun yang lebih mungkin kualitas moral.
Hal ini menjadi penyebab paling umum, terutama karena persoalan moral memang merupakan hal riskan dalam ranah politik.
Kedua, selain rendahnya kualitas kandidat, kualitas pemilih dalam dua aspek di atas juga patut diangkat.
Ketiga, proses demokrasi yang lebih banyak mendepak masyarakat sehingga pilkada (dan ritual bagi-bagi uangnya) tidak lebih dari sekadar doping bagi partisipasi masyarakat.
Hal ini sangat penting dilihat sebab banyak kali masyarakat mengaku sangat menunggu momentum pilkada untuk mendapatkan uang dari kandidat.
Alasannya, hanya uang itulah yang akan mereka terima. Selanjutnya selama lima tahun ke depan pemerintah berjalan sendiri dalam eksklusivitasnya (yang sudah pasti berpotensi korupsi) serentak masyarakat tidak diberi ruang ekspresi yang semestinya.
Keempat, orientasi pemenuhan kebutuhan pokok bagi masyarakat adalah lebih penting ketimbang menjadi pemilih rasional.
Demokratisasi sebagai rasionalisasi
Demokratisasi adalah proses rasionalisasi (F Budi Hardiman, “Menguji Rasionalitas Publik”, dalam Kompas, 12/10/2016).
Dalam kaitan dengan pilkada, rasionalitas kandidat dan pemilih persis diukur dari seperti apa mereka memainkan peranan masing-masing sesuai asas-asaa demokrasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Mengobral hak politik lewat praktik politik uang jelas tidak rasional karena tidak dapat diterima sebagai bagian dari proses demokratisasi. Lantas, bagaimana membuat pilkada menjadi sebuah ikhtiar demokratisasi sebagai rasionalisasi?
Tentu obral hak politik pertama-tama harus menjadi musuh bersama. Pertama, memperketat pengawasan hukum atas praktik politik uang adalah kemendesakan.
Dalam kaitan dengan hal ini, kredibilitas penegak hukum mestinya mendahului langkah-langkah startegis menjerat para pelaku politik uang. Artinya, penegak hukum harus benar-benar konsisten untuk tidak terjerembab dalam praktik yang sama atau berselingkuh dengan pelaku.
Kedua, karena penyebab obral hak politik dalam bentuk politik uang adalah kekecewaan rakyat akibat teralienasi dari keseharian proses politik, maka strategi paling relevan ialah dengan mengubah habitus apolitis ini dengan sedemikian rupa membuat politik benar-benar politis, bukan monolitik gaya elite saat ini.
Ketiga, pemilih harus benar-benar sadar bahwa pilkada adalah saat di mana ia berkuasa penuh atas para pencuri yang meminta belas kasihan darinya dengan memberi uang.
Pilkada adalah pengadilan rakyat, di mana rakyat berkuasa penuh memilih kandidat berintegritas sambil membuang kandidat koruptor, demagog, dan penipu publik.
Salah satu cara terbaik yang banyak direkomendasikan ialah menerima uang yang diberikan kandidat lalu mencatat namanya sebagai seorang penjahat politik yang tidak layak memimpin.
Selanjutnya jika hal ini benar-benar dilakukan pemilih, potensialitas terjadinya persoalan ekonomi yang membuatnya terjerumus dalam praktik obral hak politik tentu akan semakin kecil.
Artinya dengan memilih pemimpin yang berintegritas (tidak melakukan politik uang), masyarakat dijamin akan dipimpin figur-figur jujur dan kompeten, bukan koruptor.
*Anno Susabun adalah Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere