*Mario F. Lawi
Seekor Keledai Memasuki Kerajaan Surga
Harum surainya seperti lidah sungai yang melontarkan tombak ke jantung udara. Seorang perempuan membuntutinya. Ia baru saja melewati Sabat yang panjang, renta dan melelahkan.
Bagian-bagian bawah tembok kota yang terbelah meninggalkan nganga sebesar lubang jarum. Ia mengingat kembali iota para Yunani sebelum berani bermimpi tentang kebangkitan, jalan ke surga, sumber air hidup, burung merpati dan nyala api. Perempuan itu menyentuhnya dengan tangan beraroma tepung gandum.
Apa yang kauminta daripadaku, Puan? Aroma mausoleum masih melekat pada beban terakhirku. Dari atas punggungku ia banyak berbicara tentang lubang jarum dan revolusi, tentang Romawi dan Yahudi, tentang kesedihan-kesedihan induk ayam dan airmata bapanya yang jatuh untuk kedua kalinya. Ke arahku ia menjura padahal semata cahaya yang menghampiriku.
Di ujung tembok itu ia menoleh. Adegan dari masa lalu diputar kembali: Anak-anak melambaikan rumput segar ke puncak laparnya, ibu-ibu merendahkan buli-buli hingga ke tanah. Air menyembul dari bekas tapak kakinya. Jika ia menunduk, akankah ia lihat bayangnya terpantul? Seorang perempuan tak lagi berjalan, tak lagi menundukkan kepala. Ia melayang dan kakinya tak menyentuh genangan.
Telah kupikul kuk yang terpasang, kau malah senang menjerumuskan aku ke dalam umpama. Di punggungku tergeletak perkakas yang terbuat dari merah yang luas dan ungu yang dijatuhkan dari atas. Tujuh puluh tujuh lubang tak akan cukup menjerumuskan sebab mataku mahir memilah muslihat, membedakan gerak gugup mempelai pemalu dari pencinta mahir di balik tabir.
Ia kibaskan surainya untuk para pembangkang yang semakin lama semakin kecil terlihat dari antara sepasang kaki depannya. Bersediakah kau menuliskan kisahku? Juga untuk perempuan yang tak henti mendoakannya. Kuseret kelak si penjatuh ke hadapanmu, Puan, agar leluasa kau menaklukkannya.
(Naimata, 2014)
Seekor Keledai di Depan Lubang Jarum
Sebuah kota tenang mengapung di atas danau Galilea. Ratusan orang kaya menghuni kota, mengadakan pesta sepanjang waktu, menumpahkan anggur terbaik bagi ikan-ikan yang berkeriapan di permukaan danau. “Mereka sering kali mencekik orang-orang seperti Lazarus dan Bartimeus,” katamu.
Ayahmu mengirimkan angin besar yang menggoyang-goyangkan seisi kota. Kota yang sedih, kota yang sedih, cintailah aku seperti anak ayam mengasihi bulu-bulu tebal induknya. Engkau mencengkeram jubah salah seorang penduduk kota itu dan menyeretnya ke hadapan kami sebelum kota benar-benar tenggelam. Di hadapan kalian yang mengitari sinagoga ini, aku dan Lazarus adalah anomali. Ia dipuji karena harta, kalian dipuja karena kata. Kami berdua adalah semut di ujung tumit yang hanya pantas dicibir sekawanan anjing.
Engkau menudingkan telunjukmu ke wajah si kaya ketika melipat lidahmu dan mulai mengumpamakan kerajaan surga. Lazarus yang kian gentar hanya menunduk di sudut gelap dan berusaha membendung airmatanya. Langit tak pernah terbuka. Tabir tak pernah terbelah. Gemuruh tak pernah terdengar. Merpati tak pernah menampakkan diri. Ia tak pernah menjadi raja. Setelah mengisahkan kembali cerita yang diperdengarkan Abraham ketika Lazarus duduk di pangkuannya, sekelompok orang dari luar sinagoga masuk dan menyeretmu. Kami semua tahu akhir kisahmu, termasuk anjing-anjing di dalam sinagoga yang kelak menjilati bunga-bunga luka yang mekar dari batu-batu para perajammu.
Aku berdiri di hadapan lubang jarum ini, kini, setelah melewati enam hari yang melelahkan. Tanpa kuk. Tanpa muatan. Tanpa beban. Bolehkah aku memilih untuk tidak melewatinya lagi?
(Naimata, 2014)
Mari F. Lawi, Sastrawan muda Indonesia asal NTT
Catatan: Puisi-puisi ini telah dimuat di Koran Tempo, 11 Januari 2015