Oleh: Alfred Tuname*
Demonstrasi pada tanggal 04 November 2016 atau disebut “aksi 411” masih menyisahkan butterfly effect pada ruang publik tanah air.
Kepakan tuntutan dari aksi 411 tersebut menghasilkan tuntutan yang signifikan sehingga menjadikan Basuki Tjahja Purnama atau Ahok tersangka dalam kasus penistaan agama Islam.
Para demonstran yang menggotong topeng agama tersebut pasti puas dengan keputusan tersebut. Yang juga pasti puas adalah kompetitor politik Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
Pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni dan pasangan Anis Baswedan-Sandiaga Uno keciprat keuntungan politis dalam kasus yang melilit Ahok.
Artinya, kedua pasangan tersebut akan leluasa melakukan manuver politik untuk menggulingkan kedigdayaan popularitas dan elektabilitas Ahok.
Sesungguhnya, semua skenario di atas sudah bisa diprediksi. Lawan-lawan politik Ahok memprovokasi dan mendompleng massa bertopeng agama untuk menekan Ahok.
Tujuan politiknya adalah mencekal Ahok menjadi gubernur DKI Jakarta. Magnet politik Ahok dikastrasi dengan mendorong proses hukum terhadap Ahok. Political opportunity digerakan dengan menarik sentimen agama ke dalam kontestasi politik.
Di luar kontestasi politik pilkada DKI Jakarta 2017, tawaran budaya tanding (counter culture) yang selalu didengungkan dalam aksi berkedok agama berlalu dalam paradoks.
Para pendemo dalam aksi 411 menggunakan busana beratribut agama dan meneriakan slogan-slogan jihad. Tampaknya agama harus dibela. Oleh karena itu, segala bentuk dominasi dan hegemoni yang terbungkus dalam “atribut” budaya perlu dilawan.
Ahok yang beragama Kristen dianggap tidak layak memimpin Jakarta yang penduduknya mayoritas Islam. Ahok dianggap sebagai manifestasi budaya Barat yang senantiasa dianggap “tidak ramah” terhadap Islam.
Persisnya, fanatisme ditarik ke dalam kubang ideologi yang nyanyikan dalam koor seteru peradaban global (clash of civilization) antara Barat versus Islam.
Aksi 411 pun terbaca dalam struktur gerakan sosial. Partisipan gerakan sosial itu membawa kelompok dan organisasi sehingga memudahkan mobilisasi massa dan kepetingan.
Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi massa paling radikal menjadi garda pasukan berani mati dalam “perang” budaya melawan pihak-pihak yang berbau Barat dan Kristen. Aktor-aktor yang terkoneksi dengan FPI akan mudah terkonsolidasi dalam satu gerakan.
Massa yang sefanatik dan seideologi dengan FPI mudah datang bagai semut ke suatu tempat untuk memuaskan “lapar ideologis” mereka.
Dengan bekal nasi bungkus lapar ragawi dikenyangkan sebagai persiapan untuk memuaskan lapar ideologis. Mereka yang lapar ideologis tersebut adalah mereka yang tampak disiksa oleh kebenaran-kebenaran partikular dan tekanan psikologis.
Mereka akan merasa tersiksa manakala ruang publik dirayakan untuk aktor yang mereka anggap sebagai musuh. Mereka kalap, dan gerak-gerak musuh harus hentikan karena dianggap mengancam eksistensi mereka.
Dengan identitas dan semua atribut budaya yang melekat pada Ahok, ia dianggap musuh oleh FPI. Oleh karena itu, FPI akan terus berteriak dalam mode pemikiran kawanan agar Ahok batal menjadi gubernur DKI Jakarta dan dijebloskan ke dalam penjara.
Mereka ngotot perlawanan itu harus dimenangkan. Massa FPI yang sudah terhipnotis mode pemikiran kawanan terus berteriak kegranjingan.
Dalam kegranjikan itu, aksi yang mereka lakukan kian dangkal. Apa yang mereka lakukan justru bertolak belakang dengan mimpi utopis yang mereka rintis.
Dalam mobilisasi aksi, pemimpin FPI menggunakan mobil-mobil mewah buatan Eropa (Barat). Mobil mewah tersebut tidak hanya berfungsi sebagai alat angkut, melainkan simbol.
Adalah sesuatu yang paradoks ketika perjuangan melawan dominasi dan hegemoni Barat justru dengan mengunakan manfaat dari hasil budaya Barat.
FPI meneriakan kafir justru sambil menggunakan karya budaya yang dianggap kafir. Kedangkalan niat FPI ini persis mengulangi apa yang terjadi pada kerusuhan antiglobalisasi tahun1999 di Seattle, kota pabrik sepatu NIKE.
NIKE dianggap sebagai simbol kapitalisme global. Aksi para demonstran tersebut menendang kaca dan menghancurkan toko justru menggunakan sepatu NIKE. Sesuatu yang tampak sebagai perjuangan ideologis justru terjebak dalam simulasi ideologi itu sendiri.
Dengan demikian, mobilisasi aksi 411 tidak tidak diikuti dengan mobilisasi konsensus. Antipati terhadap FPI dan kelompok derivatifnya dikumandangkan di seluruh pelosok negeri.
Sudah pasti, kelompok-kelompok agama minoritas mendesak FPI dibubarkan. Kiprah dan eksistensi FPI telah merusak nilai-nilai toleransi dan demokrasi yang mengedepankan perbedaan. FPI sudah terlampau jauh merusak prinsip “bhineka tunggal ika” sebab mereka mengaktifkan konsep “agama negara”.
Sementara bagi umat muslim sendiri, FPI dinilai salah menggunakan atribut-atribut agama. FPI memanfaatkan atribut dan sentimen agama untuk kepentingan pragmatisme pemimpinnya.
Sebagai organisasi massa (ormas), FPI mudah “dibayar” dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik elite-elite politik yang sealiran. Dengan modal massa yang fanatik, politisi elite bisa menggunakan “layanan” FPI asal dengan “harga” yang pas dan akomodasi nasi bungkus bagi pemeluk-pemeluk FPI.
Bagaimana pun juga, kiprah dan narasi yang sering diangkat soal FPI selalu berdekatan dengan tindak kekerasan, anarkis dan diskriminasi. FPI adalah organisasi bermasalah karena berkubang dalam demokrasi zonder toleransi.
Kehadiran FPI ini seperti “kepiting dalam ember”: ketika orang melangkah keluar menuju cahaya demokrasi, ia malah menariknya ke dalam fanatisme dan kesadaran paslu.
Kesadaran palsu yang melekat dalam organisasi massa itu telah merusak nurani kehidupan berbangsa dan beragama. Jika perjuangan atas nama agama, maka itu harus membawa solusi.
Keharusan gerakan sosial Islam adalah, mengutip Burhanuddin Muhtadi, al-Islam huwa al-hall: Islam sebagai solusi. Yaitu, solusi yang membawa damai dan kebaikan bagi sesama yang lain.
Penulis adalah Direktur Lembaga Neralino (Network On Reform Action For The Well-being Of Indonesia).