Oleh: Alfred Tuname*
Vaclav Havel dalam Living in Truth (1987) meyakini, politik dan kekuasaan merupakan medium untuk berbakti kepada kemanusiaan dan hidup dalam kebenaran. Melalui politik, seseorang dipilih untuk memegang kekuasaan dan otoritas yang harus dirayakan demi kemanusiaan dan kebaikan bersama.
Seorang pemimpin atau politisi adalah buah dari regularitas politik Pemilu. Dalam jangka waktu 5 tahun, seorang pemimpin atau politisi menggunakan amanat rakyat demi rakyat itu sendiri.
Kebahagian rakyat manakala pemimpin atau politisi yang dipilih secara demokratis itu benar-benar amanah dan bertanggung jawab. Kebahagiaan itu merupakan manifestasi dari buah-buah pembangunan yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat.
Kesejahteraan, akses ruang publik, pelayanan publik yang baik, infrastruktur yang layak dan lain sebagainya adalah harapan di balik proses dan partisipasi politik yang demokratis.
Pada lajur demokrasi, politik mengutip Aristoteles dalam Nicomachean Ethics (2001), “the science of the good for man, to be happiness”.
Tentu saja, rakyat butuh pemimpin bukan pejabat. Rakyat butuh politisi yang jujur bukan badut politik. Melalui mereka, cita-cita hidup bersama yang bahagia dan sejahtera dapat tercapai.
Adalah sebuah kecelakaan politik apabila kiblat politik tidak lagi diarahkan kepada kebahagiaan dan kesehateraan bersama, melainkan untuk menguatkan arogansi kekuasaan dan distribusi keuntungan pribadi dan kelompok.
Energi politik pun diarahkan untuk normalisasi syahwat kekuasaan dan laku politik yang koruptif dan kolutif. Di sini, kongsi lembaga-lembaga politik dieratkan untuk mengais keuntungan politik sendiri.
Dalam kongsi itu, rakyat sering dilupakan. Nyaris tak ada kepentingan rakyat dibicarakan, selain kepentingan sendiri yang dibalut dalam idiom “kepentingan rakyat”.
Dalam skema ini, tujuan jadi alat; alat jadi tujuan. Rakyat menjadi korban yang diam (silent victims) sebab tak pernah tahu bahwa ia sendang dikorbankan.
“Ahokian”
Kemiskinan dan kemelaratan rakyat merupakan realitas korban yang sering muncul akibat politik kotor. Tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme antara para pejabat pemerintah dan politisi menjadi sumber persoalan ekonomi, politik, sosial dan budaya di masyarakat.
Semua itu bermula dari kongsi elite politik pada setiap kebijakan untuk publik.
Persisnya tidak nyaris tak ada kebijakan publik sebab pada tiap rencana-rencana pembangunan yang dirancang semata hanya decorative plan (rencana kosmetik). Tujuannya bukan untuk pembangunan tetapi untuk meraup keuntungan-keuntungan ekonomi di balik setiap rencana.
Kisruh politik yang terjadi pada lembaga legislatif Kabupaten Manggarai baru-baru ini tidak lepas dari persoalan mengais keuntungan ekonomi pribadi dari setiap rencana pembangunan. Kisruh itu bermula dari pembahasan RAPBD 2017 Kabupaten Manggarai. Anggota DPRD dan pemerintah Kabupaten Manggarai saling adu kepentingan.
Atas perbedaan kepentingan masing-masing, seteru DPRD dan pemerintah Kabupaten Manggarai mencuat dan kian kuat ketika Marsel Ahang, anggota DPRD Partai PKS, menyapa Kamelus Deno sebagai “bupati arogan”. Ia menyebut itu di sebuah media. Bupati Kamelus Deno menyambut dengan somasi kepada Marsel Ahang.
Bagi publik, Marsel Ahang boleh disebut sebagai seorang “whistle blower”. Dengan gaya “Ahokian” (gaya ceplas-ceplos Basuki Thahja Purnama atau Ahok) ia dengan enteng membuka semua “affair” yang terjadi di lembaga DPRD Kabupaten Manggarai.
Ahang pernah mengatakan bahwa nyaris semua proyek pembangunan di SKPD Kabupaten Manggarai ditangani oleh anggota-anggota DPRD Kabupaten Manggarai.
Boleh jadi hal itu benar, sebab fungsi kontrol dan anggaran (budgeting) menjadi kurensi manjur yang bisa ditukar dengan pelaksanaan proyek. Publik tahu, palu setuju atas rencana anggaran proyek ada di lembaga legislatif.
Ada dua cara baca atas gaya Ahokian Marsel Ahang. Pertama, ia tidak mendapat “jatah” yang sebanding dengan anggota dewan lainnya dalam distribusi proyek-proyek pembangunan.
Kedua, nurani politisi Marsel Ahang tak lagi mampu menahan semua muslihat korupsi dan nepotisme yang terjadi lembaga legislatif Kabupaten Manggarai.
Lembaga legislatif bukan lagi menjadi “ruang tamu” yang aman untuk membahas kepentingan publik. Tetapi sudah diubah menjadi kamar gelap urusan prostitusi politik.
Marsel Ahang berkomentar di ruang publik karena suara dan kekuataannya dan partai PKS tidak kuat di DPRD Kabupaten Manggarai.
Seteru Marsel Ahang dan Bupati Kamelus Deno juga simptom pecah kongsi antara partai PKS dan the ruling class. Pasalnya, partai PKS Kabupaten Manggarai merupakan partai pendukung paket Deno-Madur dalam Pilkada Manggarai tahun 2015.
Pecah kongsi ini dapat dibaca sebagai sikap kritis anggota dewan partai PKS terhadap pemerintah. Pada konteks Manggarai, sikap seperti ini sangat penting untuk mengikis gaya patronase dalam pemerintahan lokal.
Satu Politik
Kata saru dalam KBBI V diartikan sebagai “tidak nyata kelihatan (kedengaran); tidak terbedakan rupanya (suaranya dan sebagainya) karena bercampur atau tidak terbedakan antara yang satu dan yang lainnya; samar:bunyi”.
Frasa saru politik dalam konteks ini diartikan sebagai hal-hal yang tak terbaca, terdengar dan terlihat dari soal politik. Saru politik merupakan “arus bawah” yang samar yang perlu dianggkat ke ruang publik.
“Biar tak ada dusta di antara kita”, sikap seperti politisi Marsel Ahang perlu diunggah ke publik. Tujuan bukan untuk menghujat pemerintah tetapi untuk menertawai hipkritas penguasa dan anggota dewan itu sendiri.
Bahwa sandiwara politik mereka sudah terlampau memalukan dan tidak pantas disebut lagi sebagai wakil rakyat atau sapaan “yang terhormat”. Mereka sudah lupa pada kepentingan rakyat, dan hanya ingat pada proyek-proyek pembangunan.
Kita ingat filsuf Ludwig Wittgenstein yang pernah menulis, “wovon man nicht sprechen kann, darüber muss man schweingen”. Akan tetapi dalam konteks politik, urusan publik perlu dibicarakan dan tidak bisa hanya diam menyaksikan muslihat yang terjadi.
Diam atas persoalan publik hanya berarti membiarkan para koruptor menimbun emas bagi diri mereka sendiri dan kelompok. Padahal, politik adalah perangkat publik untuk mencapai kebaikan dan kesejahteran bersama.
Secara tidak langsung, politisi Marsel Ahang sudah berani keluar dari kotak politik usang dan terbebas dari politik santun yang berinang kemunafikan.
Politik butuh keberanian sebab konflik selalu jadi riak dalam arus politik. Konflik yang muncul lantaran perbedaan kepentingan itu merupakan sesuatu yang lumrah. Keberanian politik untuk menyingkap ruang gelap dalam politik.
Jika didukung oleh kepasitas dan rasionalitas yang pro kepentingan publik, maka keberanian politisi akan disambut baik.
Pemerintah pun harus bijak menanggap setiap argumetasi dalam sikap berani seorang politisi. Tanpa sikap bijak, pemerintah akan semakin dituding bersekongkol dengan politisi kotor dalam menggasak uang rakyat.
Bijak politik berarti membuka ruang komunikasi (lonto leok) yang pantas untuk mencairkan konflik politik secara baik dan bernas. Tanpa itu, kita akan tinggal terus dalam gua politik yang gelap. Bukankah politik itu hanyalah medium untuk berbakti pada kemanusiaan dan hidup dalam kebenaran?
Alfred Tuname, Direktur Lembaga Neralino (Network On Reform Action For The Well-being Of Indonesia)