Oleh: Alfred Tuname
Ada yang menarik dari pesan Bupati Kabupaten Manggarai, Deno Kamelus, pada saat pelantikan 26 pejabat Eselon II-B di aula Ranaka (VoxNtt.com, 30/12/2016). Katanya, para pejabat yang baru dilantik itu diminta agar netral dalam politik praktis.
Pesan Bupati Deno tersebut penting dan benar adanya. Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) mengatur tentang larangan pegawai negeri sipil (PNS) terlibat dalam politik praktis.
Alasan rasionalnya adalah PNS sebagai abdi negara benar-benar fokus pada kualitas pelayanan publik. ASN adalah pelayan rakyat yang bersedia menyukseskan program-program kesejahteraan, bukan mencari kekuasaan.
Meskipun prematur, pesan Bupati Deno relevan dan kontekstual, mengingat suhu politik Pilgub NTT 2018 mulai memanas.
Orang-orang terbaik dari Manggarai, yakni Christian Rotok, Benny K. Harman dan Andre Garu, sudah ancang-ancang ikut dalam kandidasi Pilgub NTT 2018.
Sebagai Kepala Daerah Kabupten Manggarai, Deno Kamelus berhak melarang PNS terlibat dalam kontestasi politik praktis itu karena dapat mengganggu pelayanan publik.
Hak Berpolitik
Akan tetapi, berpolitik adalah hak setiap warga negara. Bahwa setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu yang demokratis.
Tetapi, anggota ASN hanya dapat menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Jika ingin mencalonkan diri untuk dipilih sebagai pemimpin melalui pemilu, seorang anggota ASN harus mengundurkan diri dari jabatannya. Dengan begitu ia dapat melenggang bebas dalam kontestasi pemilu.
Akan tetapi sebagai zoon politikon, memperbincangankan politik secara rasional adalah seumpama gatal yang tidak bisa kalau tidak digaruk. Setiap warga negara persis senang membicarakan dan membahas perihal politik pemilu, termasuk juga ASN.
Dalam konteks demokrasi, hal ini tidak bisa dilarang sebab naluri politik setiap orang juga berkaitan eksistensi dan tanggung jawab akan kebaikan bersama. Naluri politik selalu berkenaan dengan, mengutip Jeremy Bentham, ”the greatest happiness of the greatest number”.
Tujuan berpolitik itu seringkali dipatahkan kepentingan segelintir orang yang memanfaatkan kekuasaan demi kepentingan sendiri. Kepentingan banyak orang (the greatest number) lenyap dalam praktik berpolitik.
Oleh karena itu, membicarakan politik di ruang publik masih relevan dan penting. Politik yang dimulai dari kontestasi politik pemilu harus melibatkan banyak orang yang berkepentingan dengannya.
Dari kontestasi politik itulah orang banyak menentukan dan memilih pemimpin. Legitimasi pemimpin terpilih ada pada idea dan kebijakan yang menawarkan keadilan kepada publik.
Definisi tertua keadilan sejak zaman Romawi kuno adalah kemauan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya (justitia est constans et perpetua voluntas jus suum cuique tribuendi).
Keadilan adalah substansi rohani publik dalam mengupayakan dan menjaga keutuhan bernegara (bdk. Wahyudi Kumorotomo, 2014). Pemimpin yang lahir dari proses politik demokrasi harus menyuguhkan rasa keadilan bagi warga.
Netralitas
Demi rasa keadilan itu juga, ASN juga berhak ikut dalam politik pilihan. Seorang pegawai negeri sipil berhak memilih seorang pemimpin.
Untuk ikut memilih, ia juga berhak tahu informasi dan sepak terjang seorang calon pemimpin. Seorang PNS juga boleh membicarakan berbicara dan berdiskusi soal politik. Sebagai warga negara, hak berbicara juga melekat dalam diri PNS.
Tentu ada batasannya. Bahwa seorang PNS dilarang menjadi tim sukses dan ikut mengkampanyekan kandidat tertentu dalam pemilu (Pilkada, Pilgub, Pilpres dan Pileg).
Seorang PNS boleh hadir dalam setiap event kampanye politik, tetapi ia dilarang untuk berorasi di panggung politik. Itulah definisi netralitas ASN dalam pesta demokrasi lima tahunan.
Kehadiran seorang PNS dalam event kampanye tidak perlu dicurigai. Hal itu sangat wajar karena ia punya hak memilih. Ia berhak tahu visi dan misi kandidat. Dari kampanye politik itulah ia dituntun untuk dapat memilih sesuai dengan hati nuraninya sendiri.
Dalam konteks politik pemilu, kampanye politik selalu bisa menjadi takaran lebar dan sempitnya jaring kemungkinan (web of possibilities) akan keterpilihan seorang kandidat. Melalui kampanye, para kandidat berusaha semaksimal mungkin untuk mempengaruhi perilaku pemilih.
Dalam keterlibatan pasifnya, seorang PNS harus menanggalkan semua atribut “plat merah”. Seragam, kendaraan dinas dan perlengkapan dinas lainnya harus dilepas ketika ikut mendengarkan kampanye-kampanye politik.
Netralitas ASN yang diwujudkan dengan menanggalkan atribut ASN dalam partisipasi politik merupakan etika politik pejabat publik.
ASN wajib meninggalkan politik kekuasaan karena konstitusi dan etika. Bagi ASN, mutatis mutandis bahasa Rocky Gerung, konstitusi (UU ASN) adalah “kitab suci” dan etika birokrasi adalah doa hariannya.
Catatan untuk Deno
Tetapi memang tidak dapat dipungkiri, masih ada PNS dan pejabat publik yang naluri politik lebih kuat ketimbang pelayanan publik.
Mereka terlibat secara operasi senyap atau bahkan terang-terang di muka publik mendukung dan mengkampanyekan salah satu kandidat. Modalitas sosial dan ekonomi digunakan untuk mendukung kandidat tertentu.
Keterlibatan politik praktis ini tidak lepas dari kepentingan jabatan dan kepangkatan. Bahwa ada pangkat dan jabatan yang diberikan sebagai balas jasa politik jika kandidatnya menang dalam pemilu.
Dalam politik demokrasi yang masih primordial, seringkali promosi, rotasi dan mutasi pejabat birokrasi tidak lepas dari soal dukung-mendukung dalam pemilu.
Oleh karena itu, dalam konteks pelantikan pejabat Eselon II-B, semoga pesan bupati Deno Kamelus soal netralitas PNS bukan hanya argumentasi politik dan ungakapan isapan jempol.
Artinya, pemilihan dan pelantikan pejabat Eselon II-B pemerintahan Kabupaten Manggarai benar-benar dilakukan atas dasar sistem meritokrasi, bukan atas “sentimen” politik Pilkada Manggarai tahun 2015.
Jika pesan Bupati Deno itu tulus dan berintegritas, maka politik lokal di Manggarai semakin menjadi hidangan yang asik dan lezat di ruang publik.
Di situ, setiap warga masyarakat Manggarai akan mendapat bagian dalam menu kesejahteraan. Dalam kepemimpinan bupati Deno Kamelus, masyarakat Manggarai akan menikmati keadilan dan kebaikan bersama.
Tetapi apabila pesan itu ternyata “jauh panggang dari api”, maka sandiwara politik itu sedang dimainkan. Masyarakat Manggarai tetap menjadi mendi politik elitis. Politik hanyalah hidangan basi yang tidak pernah menyentuh kebaikan bersama. Bukankah antara ketidaknetralan ASN dan birokrasi yang kotor itu sama bobroknya?***
*Alfred Tuname
Direktur Lembaga Neralino (Network On Reform Action For The Well-being Of Indonesia)