Puing-puing bekas Benteng Portugis di Pulau Ende masih terlihat jelas. Tiga benteng utama buatan Kolonial Portugis dengan susunan batu karang itu, kini telah diselimuti akar pepohonan yang rimbun tanpa musim. Batu karang yang dulu dijadikan markas prajurit Portugis tersebut kini termakan usia. Masyarakat hanya mampu menunjukan keberadaan benteng itu, namun hingga saat ini belum diperhatikan serius sebagai objek wisata sejarah. Bagaimana kisah Benteng Portugis itu?
Ende, VoxNtt.com-Menurut sejarah dari berbagai literatur yang terhimpun, ketiga Benteng Portugis dibangun sekitar Tahun 1561 oleh Kolonialis Portugis.
Setelah terjadi serangan dari berbagai Kerajaan seperti Kerajaan Ternate dan Kerajaan Tidore pada wilayah bagian Timur, pada Tahun 1550 Koloni Portugis kemudian memasuki dan menguasai wilayah Flores dan Solor.
Mereka masuk ke Flores dan dataran Solor, selain menguasai rempah-rempah juga menyebarkan agama. Pulau Ende merupakan salah satu wilayah sejarah religius yang pernah dinobatkan oleh koloni Portugis.
Sebelum Kolonial Portugis masuk ke Pulau Ende, masyarakat menganut agama Islam yang disebarkan oleh seorang tokoh Islam yakni Jal Jaelani Wal Ikram.
Keberadaan Jal Jaelani Wal Ikram oleh masyarakat Pulau Ende dikenal dengan nama Embu Rembotu.
Embu dalam bahasa daerah Ende atau Lio berarti “Nenek”. Embu Rembotu ini sangat dikeramatkan oleh masyarakat Pulau Ende karena kononnya, di Embu Rembotu ini terdapat dua buah pohon lontar yang telah berumur ratusan tahun yang sekarang terdapat di Dusun Paderade.
Setelah itu, Jal Jaelani Wal Ikram mulai angkat kaki dari Pulau Ende dan kembali menyebarkan agama di beberapa daerah pesisir pantai Flores.
Saat Koloni Portugis masuk menguasai di Pulau Ende dan membangun benteng dengan kekuatan yang besar di sana, masyarakat Pulau Ende seluruhnya berangsur-angsur menganut agama Katolik.
Ketika meninggalkan Pulau Ende, masyarakat setempat kembali menganut agamanya dan hingga saat ini seratus persen menganut agama Islam.
Benteng Portugis
Benteng Portugis yang terletak di Dusun Pedarae, Desa Rendoraterua, saat ini kondisinya tak tertata dan terawat secara baik.
Padahal peninggalan ini adalah bukti sejarah dan memiliki nilai yang sangat tinggi. Masyarakat setempat, rupanya hanya mengenal benteng sebagai bekas dari penjajahan.
Benteng yang terletak tidak jauh dari perkampungan persis di sekitar kebun warga seakan diterlantar begitu saja.
Batu-batu karang yang dibangun, runtuh satu per satu. Rumputan kaktus hutan berduri dan pepohonan menyelimuti benteng itu seakan membiarkan ia lenyap berlahan.
Saat ini, tersisa sebagian kecil bangunan yang masih kokoh. Akar-akar beringin yang tumbuh ditengah benteng, mencengkram kuat bangunan tua itu seolah menahan agar bangunan bersejarah tersebut tidak lenyap begitu saja.
Bangunan dominan bermaterial batu tersebut menghadap ke arah pantai laut Sawu. Terdapat sebuah lubang berukuran lebar ditengah bangunan pada benteng pertama.
Sedangkan dua benteng lainnya, hanya terdapat puing-puing tersisa berupa batu karang berisi padat yang tercecer di tanah.
Menurut cerita warga setempat, sekitar Benteng terdapat beberapa sumur hasil galian Koloni Portugis. Sumur itu menghasilkan air yang berlimpah dan menghidupkan masyarakat Pulau Ende secara keseluruhan.
Namun, apa yang terjadi, sumur kehidupan itu sudah tertutup tanah tanpa bekas.
Cerita lain yang diperoleh, dulu masyarakat Pulau Ende bermata pencaharian bertani. Dibawah Benteng Portugis, yang sekarang Desa Rendoraterua merupakan wilayah persawahan masyarakat setempat.
Sumber mata air yang beruntuk sawah masyarakat itu berasal dari beberapa sumur hasil kerja dari Kolonial Portugis.
“Nenek saya pernah cerita, dulu di sini daerah sawah. Air berasal dari sumur-sumur dekat benteng itu. Sekarang sudah ditutup tanah. Memang dulu air berlimpah dari sumur itu,”Ujar salah seorang warga Dusun Pedarade yang enggan menyebutkan namanya.
Ia mengatakan masyarakat Pulau Ende saat ini secara umumnya tidak mengingatkan sejarah keberadaan Benteng tersebut. Entah mengapa, masyarakat lebih mengutamakan pekerjaan mereka sebagai nelayan.
Menurutnya, keberadaan Benteng Portugis hanya sebatas kenangan pada masa penjajahan. Tidak ada dampak positif bagi masyarakat setempat, jika tidak ditata dan dirawat sebagai destinasi pariwisata sejarah.
“Sekarang masyarakat sudah tidak ingat lagi. Masyarakat banyak urus dengan pekerjaan nelayan. Kalau ini diolah sebagai tempat wisata lebih baik menurut saya. Sekarang tidak ada dampak apa-apa bagi masyarakat disini.”Kata dia beberapa waktu lalu.
Sejarah Rendoraterua
Bicara tentang pariwisata sejarah di Kabupaten Ende tentu tidak luput dari Benteng Portugis. Benteng yang penuh dengan kenangan sejarah tersebut, kini hanyalah tinggal nama. Padahal, tersimpan sejuta misteri maupun sejarah kolonialisasi Portugis di Kabupaten Ende.
Desa Rendoraterua, Kecamatan Pulau Ende memiliki sejarah tersendiri. Mengapa tidak? Karena disinilah Benteng Portugis didirikan.
Rendoraterua, menurut cerita masyarakat Pulau Ende merupakan nama seorang gadis cantik anak kandung dari Louist Fernando. Louist Frenando adalah pemimpin koloni Portugis yang pernah berada di Pulau Ende.
Pembangunan Benteng Portugis tersebut diinisiasai oleh Louist Frenando. Saat itu, Louist Fernando menamai benteng itu “Fortoleza Do Ende Minor”.
Nama benteng itu pun lenyap seketika dikalangan masyarakat setempat setelah Koloni Portugis meninggalkan Pulau Ende.
Presiden Ir. Soekarno pernah menulis sebuah drama yang tentang Rendoraterua. Drama tersebut dipentaskan bersama tonell yang menceriterakan tentang Kelimutu, pada masa pembuangan ke Ende (1934-1938).
Setelah ditelusuri, naskah drama Rendoraterua tersebut tidak diketahui secara jelas hanya cerita rakyat belaka.
Sesungguhnya, Rendoraterua dinamai setelah adanya Benteng Portugis tersebut. Masyarakat setempat mengakui, nama Rendoraterua berasal dari keturunan Pemimpin Kolonial Portugis. Entah benar dan tidaknya, leluhur mereka menceritakan demikian.
“Nenek moyang kami pernah cerita itu. Rendoraterua itu, berawal setelah adanya orang Portugis di sini. Yang kami ketahui itu, tetapi tentang benteng itu kami tidak tahu jelas,”Kata Farizal, salah seorang warga Pulau Ende.
Ia menceritakan, banyak tourist berkunjung dan meneliti di Benteng Portugis. Para tourist kesulitan mendapatkan sejarah tentang peninggalan itu. Dia mengharapkan Pemerintah berupaya kembali menggali sejarah secara jelas tentang benteng Portugis itu.
“Banyak orang yang datang kunjung ke sini termasuk para tourist asing. Mereka tanya tentang sejarah tetapi masyarakat di sini tidak tahu jelas. Ya, kita harap bisa digali lagi tentang sejarah benteng itu,”Tutur dia.
Berusaha menggali lebih jauh tentang peninggalan bersejarah tersebut pada Dinas Pariwisata Kabupaten Ende, namun mengalami nasib yang sama.
Dinas Pariwisata hanya mendata peninggalan tersebut secara umum seperti yang tertera pada buku profil pariwisata.
Semetara literatur lain yang dihimpun Voxntt.com, seperti hasil penelitian F.X. Sunaryo, Aron Meko Mbete, Rm. Ferry Deidhae, Pr., Maria Matildis Banda dan Petrus Wake yang ditulis dalam buku berjudul “ Sejarah Kota Ende” pada tahun 2006 menerangkan bahwa sejak tahun 1598 Misonaris Portugis telah berusaha menyebarkan Agama Katolik di Pulau Ende.
Diketahui waktu itu terdapat tiga Stasi yang lengkap dengan Gereja yakni Stasi Saraboro dengan Gerejanya Santa Maria Magdalena, Stasi Numba dengan Gerejanya Santo Dominikus dan Stasi Curolallas dengan Gerejanya yang bernama Santa Kataria dari Siena.
Umat Katolik dan Misionaris Portugis waktu itu bergotong royong membangun Benteng yang terbuat dari batu kapur seperti yang terdapat di Pulau Solor dengan tujuan untuk melindungi diri.
Setelah benteng selesai dibangun diangkatlah seorang Panglima Benteng yaitu Pero de Carvalhaes dari Evora (Uran, tt:25)
Pada Tahun 1605, diperkirakan umat Katolik murtad mengusir penduduk benteng dari Pulau Ende. Tindakan tersebut karena masyarakat pribumi menyebarkan kebencian serta menghasut penduduk untuk melawan Portugis dengan alasan, orang-orang Portugis telah bertindak kasar serta menghukum penduduk pada waktu pembangunan benteng.
Hal tersebut terungkap dalam surat Panglima Benteng Solor, Andrian Van der Velde yang dikirim kepada Gubernur Jenderal Peter Both bahwa berdasarkan kunjungannya ke Pulau Ende pada Bulan November 1613, masyarakat pribumi telah mengusir imam-imam Portugis. Sejak itulah, Pulau Ende tidak ada lagi Misisonaris Portugis (Uran, tt:43-46)
Tanggal 20 April 1613 benteng Solor yang menjadi kekuatan utama Benteng Portugis jatuh ke tangan Belanda. Sejak tahun 1613 itu seluruh misi Solor yang meliputi Pulau Solor, Flores dan Pulau Ende ada dibawah kekusaan Belanda.
Benteng Solor diganti dengan nama Benteng Henricus. Pada Bulan November1613, Andrian Van der Velde mengunjungi Pulau Ende untuk mendamaikan orang Islam dengan orang Katolik. Ia menyuruh untuk manghancurkan Benteng Ende, tetapi penduduk Pulau Ende menolak.
Benteng Portugis yang terletak di Pulau Ende tersebut menjadi salah satu situs aset daerah dibawa pengelola Dinas Pariwisata dan Kebudayan Kabupaten Ende. Benteng tersebut telah didata dan diproklamirkan pada buku profil pariwisata Kabupaten Ende.
Mantan Kepala Dinas Pariwisata, Marmi Kusuma, dalam buku profil yang diperoleh media ini menerangkan, Benteng Portugis yang ada di Pulau Ende hanyalah sisa puing-puing.
Keberadaan benteng tersebut sebagai situs sejarah Ende namun belum melakukan restorasi. Hingga saat ini pihaknya masih melakukan pendekatan dengan beberapa tokoh sejarah dan masyarakat Pulau Ende untuk menghidupkan benteng tersebut sebagai objek wisata sejarah.***(Ian/VoN)
Foto Feature:Sudah ratusan tahun, bangunan benteng satu masih kuat sebagiannya. Di tengah-tengah benteng terdapat sebuah pohon beringin sudah hampir sama usianya. (Foto : Ian)