Ruteng, VoxNtt.com- Pada umumnya di Manggarai terdapat banyak ritus adat yang dilakukan untuk memasuki tahun baru.
Misalnya yang lazim dilakukan masyarakat adat di wilayah Flores bagian barat itu ialah ritus Teing Hang Empo.
Secara harafiah, ritus ini dapat diartikan sebagai “memberi makan kepada leluhur”. Namun lebih dari itu ritus Teing Hang Empo yang sering dilakukan pada awal tahun dapat dimaknai sebagai bentuk ucapan syukur kepada Sang Pencipta.
Itu terutama atas berkah dan rezeki pada tahun sebelumnya dan sekaligus meminta karunia untuk tahun selanjutnya.
Jika demikian di daerah lain di Manggarai, di Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur (Matim) juga memiliki ritus unik memasuki tahun baru yaitu Cor Molo.
Cor Molo merupakan aktivitas menuangkan beras ke dalam satu ruas bambu. Ruas bambu kemudian dipanggang di tungku api dan bisa dijadikan nasi bambu.
Darius Gari, seorang tokoh adat asal Kampung Lompong, Desa Golo Lembur, Kecamatan Lamba Leda- Matim menjelaskan acara adat Cor Molo melambangkan ucapan syukur atas berkat Tuhan pada tahun yang telah dilewati.
Makna lain dari ritus Cor Molo, jelas Darius, ialah melambangkan persembahan dalam doa agar hasil panen dan rezeki di tahun berikutnya melimpah. Bagi masyarakat di Lamba Leda, awal tahun juga dapat dimaknai sebagai awal musim tanam.
Biasanya selain acara adat Cor Molo pada awal tahun, di Lamba Leda juga akan melakukan ritual Teing Hang Empo. Ritus ini bisa dibuat bersamaan dengan dengan Cor Molo.
Lebih lanjut Darius menjelaskan, Cor Molo dilakukan oleh setiap kepala keluarga di sebuah kampung. Setiap kepala keluarga saat acara ini akan menyediakan ayam sebagai simbol persembahan untuk meminta rezeki kepada Sang Pencipta.
Bagi masyarakat adat Lamba Leda, ritus Cor Molo merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan atas hasil panen yang berlimpah.
Karena itu, sebelum memulai ritus ini setiap kepala keluarga akan serius menyiapkan beras, satu ruas bambu, daun enau, parang, dan alat pertanian lainnya.
Menurut Darius, semua benda itu akan ditempatkan di atas nyiru (doku) dan diletakan di depan tetua yang menjadi juru bicara (ata letang temba) doa kepada Sang Pencipta. Juru bicara kemudian akan memegang seekor ayam sambil mengungkapkan bahasa adat doa (torok).
Setelah doa, ayam kemudian dipotong dan sebagian darahnya dicampur dengan beras yang akan dituang ke dalam satu ruas bambu. Selain itu, darah kemudian dilabur ke parang dan alat pertanian lainnya.
“Dalam ritus Cor Molo, kita meminta kepada Tuhan agar hasil pertanian di tahun berikutnya melimpah dan jauh dari segala gangguan seperti penyakit dan hama,” kata Darius belum lama ini.
Beras dan alat-alat pertanian dilabur dengan darah ayam bertujuan agar dijauhi dari kecelakaan seperti luka saat menggarap lahan pertanian.
Senada dengan Darius, Titus Tamur tokoh adat lain di Kampung Lompong menjelaskan, usai menggelar ritus Cor Molo ruas bambu berisi beras tersebut akan dipanggang di tungku api.
Selain itu, kata dia, Cor Molo sebenarnya merupakan ritus adat untuk meminta petunjuk atas doa.
“Kalau berasnya yang setelah dipanggang bocor atau meluap ke atas, maka doa kita tidak diterima Tuhan. Tetapi kalau masih masih sama kondisinya seperti ukuran ruas bambu, berarti doa kita diterima,” jelas Titus.
Biasanya, kata dia, ritus Cor Molo boleh dilakukan setelah menggelar acara adat yang sama di rumah adat (mbaru gendang) dalam satu kampung.
Ritus Cor Molo di rumah adat merupakan seruan doa kepada Tuhan atas rezeki tahun yang telah lewat dan meminta berkat di tahun selanjutnya untuk seluruh warga kampung. Cor Molo umum ini hewan kurbannya yaitu seekor babi.
Sedangkan, acara Cor Molo di rumah warga yaitu seruan doa secara pribadi tiap kepala keluarga dengan hewan kurbannya hanya seekor ayam. (Ardy Abba/VoN)
Foto Feature: Darius Gari, tokoh adat asal Lompong-Lamba Leda sedang melakukan ritus Cor Molo (Foto: Ardy Abba/VoN)