Oleh: Effendy Marut, OFM

*Damai Negeriku!*

Aku ingin mengenangmu dengan sederhana

Dengan sajak-sajak biasa yang enggan diucapkan bumi kepada hujan yang membuatnya lembab

Aku selalu menantikanmu dengan sunyi

Tanpa harus memanggil senja yang selalu bisa membuatku terharu dan menangis rindu

Hanya kepada Januari tanpa hujan aku berseru tentang damai

Sebab negeriku barangkali sedang merindu untuk dikagumi

Sambil aku menitipkan harapan pada Februari agar seruan yang sama selalu perlu didengar

“Damai, damai, damai”, seruku memukau jagat

Bumiku pilu bersandar di bahuku membisikkan luka yang menemaninya di awal tahun tanpa hujan

Sayangnya aku pun hanya bisa menemaninya sambil menangis dengan pilu meski aku lebih nyata memberi suara pada sesamaku, penghuni bumi

Seandainya aku dan para penghuni bumi rajin menengok luka bumi

Barangkali kami bisa sehati senada berdendang tentang kidung damai

Ya, damai negeriku

*Seperti Kopi*

Hanya dalam gelas kaca kopiku menginspirasi

Sesekali kudiamkan

Tetap saja menginspirasi karena aromanya

Kopi pagi ini yang mengajakku bercanda sambil merayu

Dia sedikit pahit namun membuat jiwa segar

Itulah negeriku

Gaduh, juga menginspirasi

*Dalam keabadian-Nya*

Yang terus diam adalah dinding

Kita berputar ibarat jam

Berjalan dan berlari kadang tertatih jika tengah letih

Sampai pada saat di mana kita ingin menorehkan sejarah

Menumpahkan pedih

Menyemai bahagia lalu menanamnya pada orang lain

Tuhan mengangkat tangan menyerukan cinta memasok asa

Kita tertawa lepas karena akan kembali berputar seraya melirik di mana Tuhan menyiapkan rambu berikutnya

Pada akhirnya bisa sambil menyeruput kopi kita berputar dalam irama bahagia titipan Tuhan

Pun menyadari Tuhan sebagai Yang Abadi dan kita fana, namun bahagia bersama-Nya

***

Foto: Effendy Marut, OFM

Effendy Marut OFM

Biarawan Fransiskan,

Mahasiswa Semester VIII

Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Asal Flores NTT