Oleh Inosentius Mansur *
Sastra itu selalu menarik. Dikatakan demikian, karena sastra memiliki ruang, kebebasan dan tidak bisa diisolasi dalam “tata krama” serta direduksi dalam “etika” tertentu.
Sastra acapkali elaboratif, tetapi memiliki “wewenang asali” sebagai “kolegialitas kata” yang tidak bisa diinstrumentalisasi untuk kepentingan parsial-pragmatik.
Setiap sastrawan bebas menyelisik situasi dan kondisi berdasarkan perspektifnya tanpa harus patuh pada aturan tertentu.
Kendatipun begitu, perspektif sastrawan mesti selalu berorientasi kepada kepentingan banyak orang pada konteks sosial tertentu.
Tulisan ini mencoba membedah sastra sebagai instrumen diskursus demi melahirkan liberasi sosial.
Tesis dasarnya adalah sastra bisa menjadi sarana untuk menciptakan diskursus dan membantu rakyat untuk terlibat dalam wacana tentang keprihatinan bersama.
Inventarisasi
Dalam membedah atau menghasilkan karya, setiap sastrawan memiliki otoritas dan independensi.
Itu berarti ia tidak bergantung dan tidak (boleh) menggantungkan apa yang hendak dibedahnya pada orang lain ataupun pada situasi-situasi tertentu.
Ia bebas dan tak ada satu perangkat apa pun yang bisa membatasi kebebasaannya. Namun demikian, alangkah eloknya jika sastrawan melahirkan karya sastra yang representatif dan akomodatif.
Meminjam bahasa Ariel Heryanto Budiman (1985), dia harus menjadi sastrawan kreatif yang memperhatikan lingkungannya.
Artinya apa yang dinarasikan kata demi kata dalam karya sastranya mesti mengakomodasi apa yang terjadi dan apa yang dialami masyarakat.
Adalah sungguh baik, jika sebuah karya sastra lahir dan berbicara tentang kegelisahan sosial. Karya sastra mesti memposisikan diri pada penderitaan rakyat dan sebisa mungkin menjadi representasi suara rakyat dalam mendesak penguasa agar akomodatif.
Kata-kata yang dipintal dalam karya sastra harus merupakan diskursus tentang berbagai persoalan rakyat dan bagaimana sastrawan meramunya dalam kata-kata sastra.
Dengan demikian, diskursus sastra bukan semata tentang kesanggupan bersastra, tetapi juga kemampuan untuk menginventarisasi persoalan-persoalan, pergolakan-pergolakan, desakan-desakan, harapan-harapan, mimpi-mimpi rakyat.
Karena itu, sastrawan mesti memiliki “intuisi inventarisasi” yaitu kemampuan untuk melihat, membaca, merasakan apa yang sedang terjadi dalam masyarakat.
Olahan atas imajinasinya mesti secara dialektis diramu berdasarkan fakta. Dengan demikian, apa yang tertuang dalam kata-kata sastra merupakan narasi realitas dan berangkat dari kemampaun penghasil karya sastra dalam membedah problem yang terjadi di tengah masyarakat.
Ada banyak persoalan sosial yang terjadi di tengah masyarakat dan mestinya menjadi rujukan karya sastra.
Persoalan-persoalan itu antara lain: kemiskinan, human trafficking, persoalan Pilkada, desakralisasi politik, problem moral dan etik serta berbagai persoalan publik yang seringkali terjadi di tengah praksis sosial dan merusak peradapan politik serta mencoreng etika bersama.
Karya sastra justru akan memiliki fundasi yang kokoh jika persoalan-persoalan seperti ini menjadi titik tolak dan titik tujunya.
Memang, sastra tidak sama dengan tulisan biasa dan bukan seperti hasil analisis ilmiah yang ditulis dan digubah dalam tesis-tesis dan metode-metode ilmiah.
Karya sastra mesti tetap mengintegrasikan dimensi fiktif dan fakta secara dialektis. Narasi sastra mesti didesain sedemikian rupa agar dengan membaca atau mendalaminya, orang langsung tahu tentang problem sosial yang sedang terjadi dan mungkin akan berpotensi terjadi dalam konteks sosial tertentu.
Diskursus yang Solutif
Sastra yang baik adalah sastra yang bersifat solutif. Artinya, desain ide dalam sebuah karya sastra mesti selalu memberi solusi.
Memang benar bahwa, sastra itu tidak bisa secara teknis-operasional memberikan jalan keluar untuk mengatasi problem publik.
Namun demikian, sastra sesungguhnya, tidak hanya menarasikan realitas, memberikan kritik sosial, tetapi juga diandalkan untuk memberikan solusi.
Solusi-solusi sastra tidak hanya mendesak pemerintah ataupun elite sosial agar akomodatif-representatif, tetapi juga membuka diskursus kritis tentang realitas krisis sosial.
Sastra berusaha untuk membuka cakrawala berpikir dan bersama publik (baca: rakyat) mencari atau bahkan mendesain solusi yang tepat.
Pikiran-pikiran yang dituangkan dalam sebuah karya sastra mesti secara signifikan membuka diskursus sosial rasional tentang keprihatinan bersama dan secara bersama-sama memikirkan cara-cara efektif untuk mengatasi persoalan itu.
Sastra tak sekadar melahirkan diskursus, tetapi juga diskursus yang berorientasi pada terciptanya solusi.
Karenanya pula, sastra mesti menyadarkan rakyat tentang betapa pentingnya sensibilitas sosial dan bersama-sama merancang kondisi agar tidak menjadi korban kebijakan sosial yang salah kaprah.
Sastra harus membantu rakyat untuk berpikir kritis dan mengkritisi tindak-tanduk distortif-reduktif. Sastra diandalkan untuk “mengendalikan” potensi kepincangan sosial.
Sastra memang tidak memiliki otoritas legal untuk mendesak dan memobilisasi rakyat, tetapi sastra bisa “merangsang” rakyat agar bertanggung jawab dalam memajukan daerah mereka masing-masing.
Sastra harus sanggup membantu rakyat untuk memiliki feeling sosial dan berani memberikan koreksi atas berbagai tingkah-tingkah distortif yang melawan kemanusiaan dan membobardir esensi kehidupan.
Tanah air sastra adalah kehidupan dan kemanusiaan itu sendiri (Abdul Hadi, 1982). Jika praksis politik atau realitas sosial menabrak etika kehidupan serta mendiskreditkan kemanusiaan, maka sastra harus mencegahnya.
Sastra mesti mengembalikan harkat dan martabat kehidupan dan memastikan bahwa kemanusiaan tidak didekonstruksi demi mengakomodir interese pragmatis tertentu.***
* Pemerhati sosial-politik dari Ritapiret-Maumere