Oleh: Lasarus Jehamat
Diskusi mengenai demokrasi terasa belum lengkap jika tidak disertai dengan diskusi mengenai posisi media.
Menyebut media di sini berarti berbagai jenis alat yang dapat menyampaikan informasi kepada komunikan oleh komunikator.
Karena urgensi dari pesan dan alat itu maka alat itu menjadi pesan itu sendiri. Pesan di sini bisa berbentuk informasi, berita, opini dan sebagainya.
Selanjutnya, dalam studi demokrasi disebutkan bahwa salah satu indikator majunya perkembangan demokrasi adalah kebebasan pers.
Kebebasan pers adalah ruang di mana media boleh memberitakan semua realitas sosial apa adanya sesuai fakta, berimbang dan tanpa embel-embel kepentingan.
Oleh karena itu, apa dan siapa pun tidak boleh menekan media. Sebaliknya, media harus memegang prinsip tertentu. Etika jurnalistik namanya.
Di sana, media harus mengatur pemberitaan sedemikian rupa supaya obyektivitas berita benar-benar teruji sesuai fakta yang ada. Itulah yang disebut berita demokrasi dan demokrasi berita.
Realitas munculnya beragam komentar politik di berbagai ruang dan kolom media baik cetak maupun elektronik di Indonesia akhir-akhir ini menuntut kita untuk memeriksa demokrasi dan peran media sekaligus.
Saling serang, olok, hina satu sama lain dari kedua kubu pasangan capres kental memengaruhi kualitas media dan demokrasi. Kondisi ini memprihatinkan kita semua.
Tulisan ini ingin membahas realitas itu. Gugatan utamanya adalah bahwa di ruang demokrasi, media diberi keleluasaan yang seluas-luasnya untuk memberitakan dan mengabarkan demokrasi.
Meskipun demikian, kabar dan berita tentang demokrasi harus benar-benar dipertanggungjawabkan. Sebab, dalam banyak kasus, berita demokrasi kadang menjadi tidak demokratis dan sebaliknya demokrasi berita menjadi oligarki berita dalam bentuknya yang lain. Ini soal.
Efek Berita
Dalam Democracy and the news, Gans (2003) menyebutkan dan menjelaskan dengan sangat cerdas dua soal ini.
Gans sepakat bahwa salah satu indikator demokrasi adalah kebebasan pers. Di level itu, media diberi ruang untuk memberitakan demokrasi.
Sebaliknya, media juga harus pula menjaga demokrasi berita dalam setiap pemberitaannya. Sebab utamanya adalah karena dalam ruang yang lain media memiliki kepentingan tertentu. Itu tidak salah.
Media harus berpihak kepada kebenaran dan kaum terpinggirkan. Problemnya, dalam setiap berita dan pemberitaan media, selalu terdapat efek.
Pemberitaan media mempunyai implikasi logis terhadap realitas apa pun. Itulah yang disebut efek organisasi, lembaga dan negara dalam pandangan Gans.
Karena alasan itulah maka dalam kerja jurnalistik, media harus terus menerus memikirkan idealisme demokrasi dan dihubungkan dengan realitas demokrasi setiap hari.
Berbekal pengalaman demokrasi setiap hari ini berita demokrasi dibuat. Jadi, pemberitaan harus berangkat dari realitas lapangan untuk dikonstruksikan menjadi sesuatu yang bernilai baik.
Dengan demikian, patokan media bukan berdasarkan penilaian masyarakat luar (barat) tetapi dari kebiasaan baik dalam proses pengambilan keputusan penting yang telah lama dipraktikan di masyarakat.
Media dengan demikian tidak berperan sebagai, dalam bahasa Gans, alat setan, dalam menghancurkan dunia. Di sini, pemahaman akan demokrasi berita sebagaimana dipromosikan Gans menjadi perlu diperhatikan.
Menurut Gans, sebuah berita baru disebut berkualitas jika berita dan pemberitaan memiliki efek terhadap perubahan sosial.
Beberapa efek berita misalnya, keberlanjutan sosial, informasi, kontrol dan legitimasi, opini, aktivitas, pesan, pelindung, politik, pemilihan, visibilitas dan membuka isolasi ruang dan wilayah.
Praktik baik demokrasi harus menjadi topik berita agar berita yang terus menerus diturunkan dapat memberi efek keberlanjutan sosial.
Berita yang diturunkan sedapat mungkin mampu memberikan pesan dan informasi baru kepada pembaca.
Karena itu maka opini pembaca dapat dipengaruhi oleh hasil pemberitaan media. Setelah membaca berita, pembaca dapat mengubah pola dan perilaku hidup setiap hari.
Dilema Media
Di ruang politik, berita sedapat mungkin memberikan efek politik bagi masyarakat. Efek politik mengandung arti bahwa pemberitaan itu benar-benar obyektif dan tanpa prasangka.
Berita yang diturunkan media sedapat mungkin mampu menambah, mengubah, mengoreksi dan membuat pikiran masyarakat semakin kritis. Itulah yang disebut dengan pembelajaran politik.
Realitas itu harus berbenturan dengan persyaratan teknis berita. Berita harus mampu membangkitkan rasa ingin tahu (kuriositas) pembaca.
Karena sifat yang demikian maka berita yang diturunkan sedapat mungkin harus bombastis dan provokatif. Bombastis berarti membesar-besarkan berita yang mestinya kecil.
Selanjutnya, berita harus provokatif. Di sana, berita yang diturunkan sebisa mungkin membangkitkan rasa, emosi serta pikiran pembaca untuk melihat, membaca bahkan sampai turun dan melihat kenyataan di lapangan secara langsung.
Hemat saya, persoalan dasar teman-teman media dan juga masyarakat ada di soal ini. Persoalan muncul ketika media salah memahami bombastisitas dan terlampau provokatif dalam menurunkan berita disetiap pemberitaannya.***
Penulis adalah dosen sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Nusa Cendana.