Oleh: Jevri Bolla, S.Pd, M.Si,MBA*
Jelang H-3 pelaksanaan Pemilihan kepala daerah (PILKADA) Kota Kupang mungkin juga masih ada pertanyaan yang muncul mengenai apa sih PILKADA itu?
Yah, suatu sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih gubernur dan Bupati/Walikota berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara republik Indonesia 1945.
Momen ini biasanya diawali dengan kampanye dan kontestasi dari para calon pemimpin yang menurut Robert Dahl kedua hal tersebut adalah ajakan untuk berpartisipasi. Partisipasi adalah syarat minimal dari suatu demokrasi.
Jika menilik PILKADA 2012, tingkat partisipasi pemilih (registered voters turnout) dari jumlah pemilh 233.045 (suara Pembaruan 28 Juni 2012) mencapai 73% pada putaran pertama dan menurun pada putaran kedua 67%.
Ini berarti bahwa 27% pemilih pada putaran pertama dan 33% pada putaran ke dua tidak memilih dengan alasan yang bervariatif.
Dengan data di atas apakah kita akan menggunakan hak suara kita atau menganggapnya sebagai sesuatu yang membuang-buang waktu atau kita berminat tetapi binggung.
Pertanyaan tersebut dijawab dengan tindakan tidak datang ke bilik suara pada saat PILKADA berlangsung atau kalau pun datang tidak mencoblos bahkan lebih parah lagi merusak kertas suara. Istilah ini kerap disebut dengan istilah Golongan Putih (Golput).
Istilah ini mulai berkembang sejak pemilu tahun 1971 dimana merujuk pada pemboikotan pemilu tahun 1971.
Masri, 2014: mengemukan ada 3 jenis golput yaitu golput Politis, golput ideologis dan golput administratif Golput politis karena pemilih merasa tidak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tidak percaya bahwa para kandidat akan membawa perubahan dan perbaikan sistem politik.
Sedangkan, golput ideologis, pemilih tidak percaya terhadap mekanisme demokrasi dan tidak mau terlibat di dalamnya.
Akibat dari kegagalan pemimpin dalam berpolitik yang ditandai banyaknya para pemimpin yang terlibat kasus hukukm terutama kasus korupsi.
Dengan demikian, tidak heran jika masyarakat pemilih memutuskan memilih untuk tidak memilih karena alasan politik dan idelogis.
Masyarakat yang golput karena alasan ideologi dapat dikatakan jauh lebih berpolitik dibandingkan masyarakat pemilih yang hanya berprinsip: ‘ tidak ada pilihan lain, maka pilih saja yang ada’.
Golput administrasi meliputi golput teknis, dimana mereka tidak memilih disebabkan masalah teknis tertentu- misalnya, berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara (keluarga meninggal, ketiduran, kecelakaan) atau mereka keliru atau sengaja mengkelirukan diri dalam mencoblos, sehingga suaranya dinyatakan batal.
Namun ada juga golput teknis-politis, dimana masyarakat pemilih tidak terdaftar sebagai pemilih akibat dari kesalahan dirinya atau pihak lain (penyelenggara pemilu) dalam mendata masyarakat pemilih.
Dari sudut pandang hak asasi maka Declaration and Programme, International Covenant on Politics and Civilians Right, 16 Desember 1966. Menyebutkan bahwa All people have the right of self-determination. By virtue of the right they freely determine their political status,and freely pursue their economic, social and cultural development.
Jelas bahwa golput merupakan persoalan pribadi dan tidak bisa dipaksakan oleh siapa pun, termasuk pemerintah.
Pemilih yang cerdas, berbagai teori dan pandangan yang dikemukan diatas kelihatan sangat sempurna dan idealis tetapi janganlah kita lupa selagi negara ini masih berbentuk republik dan bukan kerajaan maka memilih Pemimpin melalui pemilu adalah kewajiban (bukan sekedar hak yang seperti yang diamatkan).
Dengan berdiam diri (baca golput) tidak akan membalikkan keadaan malah kita memberikan ruang bagi orang yang tidak kompeten untuk duduk sebagai perwakilan di eksekutif .
Untuk itu diperlukan suatu kecermatan dan kecerdasan politik Kecermatan dan kecerdasan pemilih dalam PILKADA merupakan sesuatu yang sangat penting dalam menentukan pilihan.
Kesalahan menentukan pilihan akan mengakibatkan terpilihnya pemimpin yang tidak tepat untuk mengemban amanat rakyat.
Kesadaran pemilih tentang perlunya mencermati secara cerdas Para calon pemimpin daerah, menjadi kunci utama terpilihnya pemimpin pemerintahan yang benar-benar dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada di masyarakat.
Kesadaran inilah yang seharusnya terus dibangun oleh para pemilih dan masyarakat, sehingga pemilu sebagai instrumen pelaksanaan demokrasi benar-benar bermakna bagi perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain itu kesadaran kritis yang perlu dimiliki, bahwa pemilu adalah persoalan penentuan orang yang akan menentukan nasibnya
Selalu ada harapan, harapan untuk menjadikan PILKADA yang bermartabat di Negara tercinta ini. Negara adalah persekutuan dari keluarga dan desa untuk mencapai kehidupan sebaik-baiknya.
Memang mengharapkan kelahiran pemilih yang memilih dari Rahim PILKADA adalah sahih tetapi ketika itu-itu juga yang di dapat, mungkin kita harus merawat takdir sebagai bangsa yang masih lama terus mengandung janin harapan.
Tak ada alasan buat kita menjadi golput lantaran pertimbangan politik ideologi dan administrati ataupun hak.
Suatu saat dampaknya juga bakal kita rasakan. Berlakulah arif jangan buruk rupa cermin ditendang. Semoga saya tidak melanggar batas kesopanan.***
*Penulis adalah Guru SMK Negeri 1 Kupang