(Refleksi politis post valentine day)
Oleh: Inosentius Mansur *
Di media sosial, saya membaca sebuah humor tentang valentine dan Pilkada. Homur itu isinya begini: “14 Februari, hari kasih sayang” dan “15 Februai, hari kasih suara”.
Humor ini memang kelihatannya konyol. Namun demikian, kalau dikaitkan dengan Pilkada serentak, maka humor tersebut memiliki makna mendalam. Sebab antara valentine day dan Pilkada memiliki keterkaitan satu sama lain.
Mungkin momennya kebetulan, tetapi esensinya justru sama. Apalagi, kalau kita merekonstruksi sejarah valentine day (setidaknya berdasarkan literature-literatur yang saya baca), maka dapat disimpulkan bahwa valentine day dan politik (Pilkada) memiliki keterkaitan. Tulisan ini mau mengelaborai resiprokalitas antara valentine day dengan Pilkada.
Pragmatisme Politik
Adalah pastor bernama Valentinus yang melawan kebijakan politik Kaisar Claudius (Roma). Pada waktu itu, Claudius bercita-cita untuk memiliki pasukan militer terkuat.
Agar ambisinya terwujud, maka semua pria diwajibkan untuk menjadi anggota militer. “Militerisasi” ini ditentang oleh banyak orang, terutama yang tidak mau meninggalkan istri dan kekasihnya.
Tentu saja hal seperti itu membuat Claudius geram. Maka, dengan menggunakan otoritasnya, dia melarang semua pria untuk menikahi gadis pujaan mereka agar bisa fokus di militer.
Valentinus, sama seperti kebanyakan orang lainnya melawan kebijakan tersebut. Sebagai bukti sikapnya itu, secara diam-diam dia menikahkan banyak pasangan yang saling jatuh cinta. Atas tindakan ini, Valentinus dicap “makar”, lalu ditangkap, dipenjara dan kepalanya dipenggal.
Kita melihat bahwa ambisi politik Claudius telah menyebabkannya bertindak melampaui batas kewajaran dengan menjadikan rakyat (pria) sebagai obyek instrumentalisasi.
Ia menciptakan kebijakan apolitik. Libido politik untuk berkuasa dan ketakutan berlebihan akan ancaman, membuat Claudius mengabaikan dan mengorbankan rakyat. Hal seperti inilah yang sering terjadi dalam perpolitikan kita.
Kepentingan politik telah menyebabkan elite politik (pemimpin) mengabaikan diskursus humanis dan orientasi altruis.
Kebijakan politik seringkali didesain berdasarkan kalkulasi parsial sambil secara massif mengorbankan rakyat.
Politik tidak lagi menjadi sarana untuk mendesain program humanis, rasional, edukatif dan liberatif, melainkan menjadi instrumen untuk memback-up hasrat terselubung.
Apa yang telah dilakukan Claudius ribuan tahun silam itu, kini muncul lagi meskipun dimodifikasi dan tampak dalam bentuk yang lain.
Jika Claudius mengorbankan rakyat (pria) dan Valentinus, kini kita bisa saksikan betapa politik tidak lagi menjadi alat untuk berkorban bagi rakyat, melainkan (malah) mengorbankan rakyat. Politik dipakai sebagai basis untuk “melegitimasi” kepentingan pragmatis.
Tak hanya itu, politik juga telah menjadi sarana menciptakan keresahan sosial. Politik digunakan untuk mendesain instabilitas sosial, alih-alih menjadi penguat stabilitas sosial.
Resiprokalitas Valentine Day dan Pilkada
Tanggal 15 Februari 2017 (hari ini), beberapa daerah melaksanakan Pilkada serentak. Pilkada selalu menjadi momentum harapan.
Alasannya, dengan dan melalui Pilkada rakyat sungguh berharap mendapatkan pemimpin yang melahirkan kebijakan proporsional yang merujuk pada konteks riil.
Namun demikian, ada kecenderungan dimana Pilkada direduksi sebagai momentum untuk meraih kekuasaan semata. Kekuasaan, demikian Parsons (1957), terkadang dilihat sebagai kapasitas untuk mempengaruhi orang lain.
Celakanya, kapasitas seperti ini dipakai untuk memberi efek destruktif demi mengamankan kalkulasi politiknya.
Amat boleh jadi, pemimpin yang terlahir dari proses Pilkada mirip tipikal Claudius: ambisius, irasional, niredukatif dan menjadikan rakyat sebagai instrumen pendukung ambisi politik.
Saya memang percaya bahwa kecemasan seperti ini tidak sepenuhnya benar. Toh masih banyak pemimpin yang lahir dari proses demokrasi seperti Pilkada, berhasil mengambil terobosan-terobosan akomodatif dan artikulatif.
Karena itulah kita berharap, Pilkada bukan sekadar seremoni para elite politik untuk meraih keinginan mereka. Pilkada mesti menjadi “pesta” rakyat dan menciptakan pemimpin yang bertindak atas nama dan hanya untuk rakyat.
“Detak nadinya” adalah rakyat. Tangisan-tangisan, harapan-harapan, rintihan-rintihan rakyat merupakan “helaan” nafasnya. Dia tidak boleh terlampau ambisius, tetapi lebih menjabarkan kemauan rakyat dalam program pembangunan.
Dia mesti menghindari kebijakan kontra-produktif yang berakibat negatif bagi rakyatnya sendiri. Ambisi politiknya tidak boleh bertentangan apalagi mengorbankan rakyat.
Selain itu, kebijakan politiknya mesti menguatkan integrasi sosial dan tidak boleh menyebabkan instabilitas. Jangan sampai eksistensinya justru melahirkan keresahan kolektif. Dia mesti mendukung integrasi pilar-pilar sosial demi menciptakan kestabilan bersama.
Akhirnya, sebagaimana hakikat valentine day adalah cinta, demikianlah pulalah pemimpin. “Cinta” mesti menjadi rujukannya dalam merancang program pembangunan.
Hanya karena dia mencintai rakyat, maka dia memberikan dirinya seutuhnya bagi bonum commune. Cintanya itu tidak asal diberikan begitu saja, tetapi disertai dengan sebuah pertanggungjawaban hati dan budi yang rasional.
Relevanlah ungkapan ini, rationis amor est: cinta itu rasional. Cinta seperti ini terarah kepada kebaikan orang yang dicintai dan tidak mengikuti kalkulasi untung rugi (Pandor, 2010) dan justru inilah esensi politik.
Pemimpin tidak boleh mendesakralisasi politik dengan mengorbankan rakyat. Dia harus mencintai rakyatnya lewat kebijakan-kebijakan solutif. Itulah tanda cintanya bagi rakyat.
Cinta sejatinya adalah rakyat dan dia tidak boleh menduakan rakyat serta mencampakan rakyat dengan “cinta-cinta” lain. Dia tidak boleh bercabang hati. Dia telah menikah dengan rakyat lewat Pilkada dan karenanya dia dilarang untuk mengabaikan rakyat.***
- Pemerhati sosial-politik dari Ritapiret, Maumere