Ende, Voxntt.com– Setelah dikucilkan oleh Kolonial Belanda di daerah Jawa dalam masa pergerakan di Bandung, Bung Karno “terpenjara” di Ende pulau Flores bersama keluarganya. Pada tanggal 14 Januari 1934, Bung Karno bersama istrinya Inggrit Garnasi, mertua perempuan Bung Karno, Ny Amsi serta anak angkatnya Ratna Djuami (Omi) tiba di Pelabuhan Ende yang sekarang menjadi Pelabuhan Bung Karno.
Kala itu, Bung Karno memilih hidup di pesisir pantai untuk memudahkan informasi ke Jawa. Sebuah rumah letaknya di Jalan Perwira, sekitar 500 meter dari bibir pantai, Bung Karno dan keluarganya tinggal di sana.
Rumah milik H. Abdulah Ambu Waru itu, memiliki bangunan arsitek lawas zaman Koloni Belanda, kini tampak sejuk nan arsi dengan hamparan rumput hijau di halamannya serta diselimuti sebuah pohon rimbun persis di samping kiri rumah.
Rumah pengasingan Bung Karno tersebut memiliki empat kamar. Kamar paling belakang adalah kamar Sholat Bung Karno dan keluarganya. Sebelumnya Bung Karno pernah bangun Mushola dari kayu persis di belakang rumah samping kanan. Setelah rubuh, Mushola itu dipindahkan di kamar belakang yang saat ini sudah terkunci rapat.
Dua kamar lainnya, bagian kanan adalah kamar Bung Karno dan istrinya Inggrit Garnasi. Dalam kamar terdapat 1 buah tempat tidur yang dilengkapi dengan bantal, kasur mastriks dan ditutup kulambu, 1 buah lemari dan tempat gantung pakayan persis di belakang tempat tidur.
Sementara sebelah kiri kamar mertua dan anak angkat Bung karno. Didalamnya terdapat 2 buah tempat tidur yang ditutupi kulambu serta 1 buah lemari berukuran besar. Dua kamar tersebut tampak terbuka lebar tanpa pintu.
Ruang bersebelahan kamar tidur Bung Karno yang disekat dekat pintu masuk adalah ruang tamu Bung Karno. Didalamnya terdapat satu buah meja bundar serta dua buah kursi yang terbuat dari kayu. Meja dan kursi tersebut dari Alm H. M.H.Rotta.
Ruangan tengah, diantara kamar Bung Karno dan kamar mertuanya terdapat dua buah tongkat berkepala monyet dan berkepala rotan berpilin. Tongkat kepala rotan biasa digunakan Bung Karno saat bepergian ke beberapa tempat sekitar untuk bertemu dengan teman-temannya seperti di wilayah Nangaba, wilayah Ndona dan sekitarnya.
Sementara tongkat berkepala monyet digunakan saat Bung Karno pasiar di seputaran kota Ende. Tongkat itu sebenarnya untuk mengutuk Tentara Belanda. Jika bertemu dengan Kolonial Belanda, Bung Karno Selalu menunjukan tongkat itu. Dua buah tongkat yang saat ini dimuseumkan di Rumah Pengasingan Bung Karno itu menjadi pedang untuk membela bangsa dan tanah air.
Ruang paling depan ditempatkan beberapa aset peninggalan Bung Karno seperti, biola, seterikat besi, piring, dulang serta salinan naskah tonil dan surat perjanjian Bung Karno dan istrinya. Semua benda-benda dipajangkan dibalik kaca bening. Sementara beberapa foto Bung Karno dan keluarganya bersama masyarakat setempat dipajangkan di dinding tembok.
Bangunan Tahun 1927 itu, masih telihat tegar dan kuat dengan struktur bangunan seperti semula. Rumah tua itu telah direnovasi sebelum Mantan Wakil Presiden Boediono meresmikan Taman Permenungan Bung Karno pada Tahun 2013 yang lalu.
Rumah bercat putih itu tampak baru dan bersih, dikelilingi pagar tembok. Rumah pengasingan tersebut sangat sederhana dan tidak nampak sesuatu hal yang mewah.
Bangunan tersebut terpisah dengan dapur, kamar mandi, toilet yang terletak di sebelah kiri lurus dengan pohon rimbun itu. Sebelah dapur terdapat sebuah kamar penjaga. Dulu kamar itu sebagai gudang, tempat penyimpanan alat-alat makan.
Depan dapur terdapat sebuah sumur dengan kedalaman berkisar kurang lebih 10 meter. Lengkap dengan alat timbang (katrol) dan ember air yang sudah diikat dengan tali. Pada satu sudut tembok di halaman belakang rumah tertera beberapa nama Bank Nasional dan Perusahan swasta dimana sebagai sponsor renovasi rumah tua itu.
Banyak Inspirasi
Bangunan tua tersebut tidak memiliki kesan seram atau mistis meskipun tidak ada orang yang tinggal di rumah itu. Rumah persis di pertengahan kampung warga Perwira itu justru membawa suasana tenang dan nyaman serta banyak membawa insiprasi baru bagi pengunjung.
Syafrudin Pua Ita atau Udin, juru pelihara Situs Bung Karno mengungkapkan banyak pengunjung yang datang ke rumah itu. Selain datang mengunjungi situs, ada yang datang merenungkan sambil berdoa.
“Di sini banyak inspirasi. Banyak orang yang datang dan berdoa disini,” ujarnya.
Rumah itu, sebelumnya dijaga oleh almarhum kakeknya, Abu Bakar Damu. Kakeknya adalah teman dekat Bung Karno selama diasingkan di Ende. Kemudian diteruskan kepada sang ayahnya, Pua Ita Abu Bheka hingga akhir hayat dan akhirnya dilanjutkan oleh Udin.
Hampir setiap hari dia mengakui terinspirasi ke Situs Bung Karno. Ia tinggal di rumahnya, Kelurahan Rukun Lima, dan setiap hari dia selalu berada di Situs. Biasanya hari Sabtu dan Minggu adalah hari libur, namun banyak pengunjung yang datang ke rumah itu. Hampir setiap hari banyak yang mengunjungi baik perorangan maupun rombongan, baik wisata domestik maupun wisata manca negara.
Riwayat Singkat Bung Karno
Menurut berbagai literature, tercatat selama 4 tahun (1934-1938) Bung Karno diasingkan oleh Kolonial Belanda di Ende. Banyak hal yang dilakukan oleh Sang Proklamator ini, baik berkunjung ke masyarakat sekitar, merenungkan perencanaan kemerdekaan atas penjajahan Belanda, berdiskusi bersama para Pastor di Gereja Katedral, bercocok tanam serta beberapa kegiatan lainnya. Bung Karno lebih banyak menghabiskan waktu berdiskusi bersama para Pastor Belanda di Katedral serta duduk renung di bawah pohon Sukun yang dinamakan pohon Pancasila.
Menurut cerita Udin, hampir setiap hari Bung Karno mendatangi Gereja Katedral berbincang bersama para Pastor mencari solusi untuk Kemerdekaan Negara Indonesia dari penjajahan Belanda. Kembali dari Katedral, Bung Karno menuju ke Pohon Sukun sekitar 500 meter, duduk dan merenungkan butir-butir Pancasila.
Pohon Sukun bercabang lima yang sering didatangi Bung Karno tersebut konon yang memunculkan gagasan hingga lahirlah lima butir Pancasila sebagai dasar negara. Pohon bercabang lima saat ini berada di Taman Pancasila persis di samping kiri Patung Bung Karno adalah pohon yang sama yang dahulu sering dikunjungi Sang Proklamator setelah kembali dari Gereja Katedral kini menjadi Taman Pancasila.
Udin menceritakan bahwa, dahulu masyarakat Ende selalu mengucilkan Bung Karno dan diduga masyarakat sudah bekerja sama dengan Tentara Kolonial. Sebagian besar masyarakat Ende belum mengenal baik Bung Karno. Meskipun demikian, Bung Karno tetap hidup bersama masyarakat baik di Ende, Nangaba, Ndona maupun masyarakat yang berada di sekitar Danau Kelimutu.
“Masyarakat memandang Bung Karno sebelah mata. Mungkin saja masyarakat mata-mata dengan Tentara Belanda untuk memantau pergerakan Bung Karno. Bung Karno lebih sering ke Gereja Katedral dan berdiskusi dengan para Pastor,”ujar Udin yang dikutip dari almarhum ayahnya.
Markas Tentara Belanda pada waktu itu tidak jauh dari Rumah Pengasingan Bung Karno yang sekarang jadi POM TNI Angkatan Laut. Pergerakan Bung Karno selalu dipantau oleh Tentara Belanda. Setiap hari memulai aktivitas, Bung Karno wajib melaporkan diri di Markas Kolonial Belanda. Bung Karno harus membuat surat ijin terlebih dahulu jika melakukan aktivitas pada radius 8 kilometer ke atas.
Kehadiran Bung Karno selama 4 Tahun di Ende menjadi catatan tersendiri yang hingganya dijuluki sebagai Kota Sejarah. Kota Ende sebagai disktrik ibu kota memegang julukan pemberi identitas dan citra diri. Keunikan sebagai kota julukan Pancasila tidak sekedar panggilan saja namun fakta Predisen pertama Ir. Soekarno, dibawah pohon sukun merenungkan butir-butir Pancasila dan pada akhirnya menemukan nilai-nilainya yang kemudian sebagai dasar Negara Indonesia.**(Ian/VoN)