Oleh: Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi
(Catatan Film NOKAS dalam Sudut Pandang Ekologis)
Penggemar film di NTT tentu tidak asing dengan Film Dokumenter “NOKAS”. Film ini karya Bung Manuel Alberto Maia yang akrab dipanggil Bung Abe.
Film ini berkisah tentang salah satu tradisi kawin mawin di NTT, khususnya di Pulau Timor. Dimana, seorang Nokas bersama keluarga harus bersusah payah untuk memenuhi Belis (Mahar) agar dapat mempersunting kekasih hatinya.
Substansi film ini telah mengantarkannya sebagai film pertama dari NTT yang berhasil menembus ajang pengharagaan film paling bergengsi di tanah air, Piala Citra.
Selain itu juga menembus nominasi Eurasia International Film Festival, sebuah ajang festival film Asia dan Eropa pada 2016 silam. Sebagai sesama warga NTT tentu saja ikut berbangga atas pencapaian tersebut.
Pada Jumat,17 Februari 2017 silam, saya beruntung dapat menonton film ini di Taman Budaya NTT.
Derai tawa dan hening para penonton mewarnai jalannya pemutaran film tersebut. Ya, kelucuan dan rasa trenyuh silih berganti “menyapa” penonton.
Ini film dengan dialog (baca, logat) dan gambaran kehidupan kelas menengah ke bawah masyarakat Timor yang kuat.
Bahasa Dawan, Tentang Beta, Pica Bok, Oko Mama, tanah warisan, Padi Ladang, seekor dua ekor Babi, Sirih Pinang, Kain Tenun, kebun, Ume (rumah khas Timor yang alamiah) dan masih banyak lagi.
Sejujurnya, film cukup sempurna untuk memaparkan realitas kawin mawin ala Timor kekinian yang bisa jadi telah mengalami banyak distorsi akibat perkembangan jaman.
Kali ini penulis tertarik untuk mengangkat sisi ekologis dari Nokas. Mengapa? Pertama, karena semua peradaban termasuk konflik di dalamnya yang tergambar dalam Film Nokas tidak lepas dari situasi ekologis masyarakat di Pulau Timor.
Kedua, belakangan saya tahu ternyata proses pembuatan film ini yang memakan waktu lebih dari tiga tahun ini, sebetulnya akan mengangkat kisah rencana penggusuran warga demi pembangunan Waduk Kolhua.
Menurut penulis, sangat disayangkan bila enggan membedah perspektif ekologisnya yang semoga dapat menjadi bahan pembelajaran bersama.
Perspektif Ekologis
Ekologi merupakan kajian terhadap proses rumah tangga bumi termasuk flora, fauna, mikroorganisme dan manusia yang hidup bersama dan saling bergantung satu dengan yang lainnya ( Odum, 1975).
Berdasarkan pengertian di atas apabila manusia ditempatkan sebagai poros utama, maka dapat dimaknai segala peradaban manusia tidak lepas dari semua elemen lingkungan tempat dia berada.
Nokas secara lugas mempertontonkan bahwa urusan kawin mawin di Timor sangat terkait dengan alam dan makhluk hidup lainnya Pulau Timor.
Kita mulai dari sirih pinang. Peradaban kawin mawin di Pulau Timor tidak bisa dijalankan tanpa adanya sirih pinang. Sirih pinang digabungkan dengan beberapa mahar ( kini banyak berupa uang) untuk menyampaikan niat ingin mempersunting anak gadis orang.
Dalam Bahasa Dawan disebut Oko Mama. Bukan hanya kawin mawin, dalam tata krama Orang Dawan, sirih pinang adalah jamuan untuk tamu yang datang sebagai bentuk apresiasi atas kunjungan tamu tersebut.
Baik kunjungan dalam kehidupan keseharian, saat adat kawin mawin, adat kematian hingga dipakai untuk simbol perdamaian dalam menyelesaikan sebuah masalah.
Saking berpengaruhnya sirih pinang, acapkali dimanfaat untuk kepentingan tertentu. Misalnya bila ada pembangunan infrastruktur atau investasi oleh pemerintah dan kalangan pengusaha, proses mengambil hati rakyat atau tokoh masyarakat untuk memuluskan kepentiangan dengan menggunakan istilah “uang sirih pinang”.
Begitu juga bila ada gelaran politik praktis, sirih pinang menjadi salah satu senjata utama untuk menarik minat masyarakat.
Secara ringkas dapat dikatakan, sirih pinang menjadi salah satu maskot peradaban di masyarakat Pulau Timor.
Kedua, kain tenun. Film Nokas juga mempertunjukkan bahwa adat di Pulau Timor tidak bisa lepas dari kain tenun.
Terutama sebagai pakaian untuk menjalankan prosesi adat kawin mawin antar keluarga. Walaupun sejujurnya, film ini mempertunjukkan adanya perubahan signifikan dalam berpakaian adat.
Misalnya tidak semua keluarga menggunakan pakaian tenun saat membincangkan adat. Bahkan Nokas sekalipun sebagai tokoh utama tidak menggunakan pakaian berbahan tenunan dalam acara lamaran.
Dalam perbincangan dengan beberapa Orang Dawan, sebenarnya pakaian tenun wajib secara etika.
Pada beberapa kasus, pihak mempelai laki laki atau perempuan yang kebanyakan tidak menggunakan pakaian tenun akan dicibir bahkan dipersulit karena dianggap tidak menghargai adat istiadat.
Pada jaman dahulu tenun adalah salah satu prasyarat utama dalam berkeluarga. Perempuan belum boleh menikah bila belum bisa menenun. Namun seiring perkembangan zaman ditambah banyak jenis pekerjaan lain, syarat ini tidak lagi menguat kecuali di beberapa kampung yang masih sangat kuat adat istiadatnya.
Saat ini, keluarga pihak laki laki dan perempuan biasanya selalu membekali pengantin dengan kain tenun untuk kebutuhan rumah tangganya kelak.
Berikutnya ladang. Dalam tradisi Dawan yang kuat, seorang laki laki belum dapat berkeluarga bila belum mempunyai ladang dan dapat mengolahnya.
Film ini memperlihatkan seorang Nokas yang berusaha keras untuk dapat memenuhi belis kawin yang terbilang sangat besar untuk keluarganya yang sederhana.
Mulai dari bekerja di di ladang, membantu ibunya memanen dan menjual kangkung hingga mendatangi keluarganya yang lain untuk meminta bantuan pemenuhan permintaan belis.
Namun hasil ladang yang dipunya tidak cukup, hasil penjualan kangkung hanya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Nokas risau lantaran bukan hanya soal mahar tapi sumbangan mempelai laki laki untuk mengadakan acara syukuran keluarga pun, dia dan keluarga belum mampu.
Dalam tradisi Dawan, pihak perempuan dan laki harus menyumbang makanan untuk mengadakan acara syukuran bersama.
Bila tidak menyumbang maka akan mempermalukan martabat keluarga terutama untuk keluarga mempelai laki-laki hingga dianggap sebelah mata.
Selain tiga bentuk kebutuhan di atas sebenarnya masih banyak lagi ragam cerita kawin mawin Orang Dawan yang tidak bisa dipisahkan dengan alam sekitarnya.
Peradaban yang secara sederhana ditampilkan dalam Nokas membuktikan bahwa pilihan hidup mempengaruhi apa yang mesti ditumbuhkan di alamnya.
Kawin mawin butuh sirih pinang, maka kita mesti menanam sirih pinang. Butuh kain tenun? maka kita harus menanam kapas dan tumbuhan pewarna kain. Butuh makanan, maka harus punya ladang dan diolah.
Terlepas dari perlunya refleksi atas tradisi kawin mawin, yang membahagiakan dari cerita di atas adalah semuanya ramah lingkungan, punya aspek keberlanjutan ekonomi, sosial budaya yang bersahaja.
Tentu saja juga punya nilai filosofis ekologis universal yang (mungkin) terlupakan namun sesungguhnya mencerahkan peradaban.
Tantangan Kebudayaan
Tantangan paling serius dalam memuliakan peradaban ekologis kita adalah industrialisasi pembangunan.
Industrialisasi sesungguhnya bertentangan dengan kebudayaan ekologis ( Suara Pembaruan Agraria, 2015) . Karena industrialisasi menekankan pada produksi untuk pasar.
Melakukan berbagai kegiatan ekonomi sekencang-kencangnya untuk memenuhi dan atau mengambil pasar. Kata kuncinya selalu pertumbuhan. Sialnya dalam skema industrialisasi hanya memperhitungkan naik turunnya angka pertumbuhan ekonomi/investasi.
Urusan kerusakan yang ditimbulkan akibat pertumbuhan tidak menjadi prioritas untuk dihitung dan diperbaiki.
Contohnya, pertumbuhan hotel-hotel di pesisir laut Kota Kupang. Kapan kita menghitung daya rusak lingkungan pesisirnya, daya rusak pada ruang tatanan sosial masyarakat perkotaan, hingga daya rusak terhadap akses masyarakat dan nelayan terhadap sumber penghidupan yang bersih dan sehat.
Contoh lain, siapa yang memperhitungkan dan bertanggungjawab atas kerusakan kebudayaan antar generasi di Kolhua yang akan terjadi bila penggusuran atas nama investasi bendungan dilakukan.
Kebudayaan ekologis menguat pada keberlanjutan daya dukung lingkungan, pemerataan ekonomi hingga ruang ekspresi sosial budaya yang berwawasan ekologis.
Dalam Konteks Film Nokas, Kebudayaan ekologis sesungguhnya bisa menghidupi peradaban kawin mawin bila tidak mengalami distorsi.
Dari urusan memperluas kekerabatan terus melemah menjadi urusan gengsi sosial atau untung rugi ekonomi semata.
Tantangan di atas bisa diatasi dengan mengembangkan pembangunan berbasis kebudayaan ekologis yang terbukti telah mampu menghidupi NTT sejak dulu kala.
Bukan soal secara sempurna kembali ke cara hidup tradisi lampau. Namun soal bahwa bagaimana mengembangkan tata laku pembangunan secara dinamis tanpa melakukan penghancuran wilayah kelola rakyat, tatanan sosial budaya, ekonomi, dan politik yang sesungguhnya berwawasan ekologis.
Sebaliknya pembangunan harus berorientasi pemulihan daya dukung ekologis yang telah rusak. Selebihnya bersama sama untuk memperkuat dan meningkatkan daya dukung ekologis agar mampu menghidupi kita serta anak cucu kita kelak di tanah NTT ini. Ups, di Tanah Nokas.
Terimakasih buat para Punggawa film NOKAS dan Bung Abe untuk pencerahannya. Salut dan Semoga Terberkati selalu. Salam Adil Lestari. ***
Penulis adalah Direktur Eksekutif WALHI NTT