Oleh: Enchik Aldhion*
Pentas Pilkada serentak edisi kedua kini telah kelar. Potret semarak dan dan antusiasme warga baik yang terjaring dalam daerah pemilihan maupun yang tidak termasuk di dalamnya mencirikan besarnya semangat demokratis rakyat Indonesia.
Bahkan tema seputar pilgub DKI Jakarta menjadi santer perbincangan dalam dunia perpolitikan Indonesia. Setidaknya, situasi spontanitas ini merupakan pengejawantaan dari semboyan Bhineka Tunggal Ika yang menjunjung tinggi kesatuan di tengah pluralitas kebangsaan.
Seiring dengan itu, pilkada menjadi tolok ukur kualitas demokrasi kita. Puncak dari setiap pesta demokrasi ialah hadirnya pemimpin-pemimpin baru.
Kehadiran para pemimpin itu ibarat kerinduan seorang petani menanti turunnya hujan di saat musim kering.
Sebab, situasi hidup masyarakat telah “gersang” karena ulah para pemimpin itu sendiri yang akrab melakukan tindakan tidak terpuji seperti KKN. Itulah yang membuat rakyat tidak enggan mengharapkan “hujan berkat” dari para pemimpin baru.
Dalam konteks NTT, kehadiran para pemimpin baru di ketiga wilayah kota dan kabupaten se-Provinsi NTT (minus Lembata yang masih berpolemik) merupakan wujud kedemokratisan rakyat dalam pilkada 15 Februari lalu.
Pemimpin-pemimpin tersebut adalah orang-orang terseleksi. Pada mereka harapan dan cita-cita rakyat disematkan. Dengan itu, fokus seorang pemimpin harus selalu tertuju pada daya konstruktif dan transformatif kehidupan bersama.
Hal ini merupakan tantangan sekaligus moment pembuktian untuk melunasi janji selama berkampanye. Atau dengan kata lain, meminjam istilah Robert Endi Jaweng, para kepala daerah terpilih kini memasuki semacam black box yakni visi-misi, program hingga janji kampanye berkonversi ke dalam aksi lapangan (Opini Kompas 25/01/2016).
Dalam pada itu, pluralitas budaya dan beragam sistem kehidupan dan kepercayaan mesti menjadi corong masuknya seorang pemimpin dalam mewujudkan aspirasi rakyat.
Pada titik ini, kecerdasan intelektual seorang pemimpin tidaklah cukup tetapi mesti seimbang dengan kecerdasan emosional dalam menjamah rakyat.
Sebab, seorang pemimpin harus bebas dari sikap ektrem untuk mengamankan kekuasaannya dan menyangkal sikap apatis terhadap kebutuhan rakyat seraya mengagung-agungkan kelompok tertentu atau diskriminatif.
Jika terjadi sebaliknya, maka situasi kehidupan bersama akan syarat konflik dan tentu menyembulkan chaos politik sehingga terciptalah apa yang disebut Thomas Hobes Bellum Omnium Contra Omnes, Perang Semua Melawan Semua.
Oleh karena itu, seorang pemimpin juga harus memiliki kemampuan seni memimpin. Seni memimpin ini menuntut keberanian yang dapat diejawantahkan dalam keterampilan dan kebijakan yang diambilnya.
Berkah Politik
Dalam negara demokrasi, kemenangan selalu berada di tangan rakyat. Rakyat menjadi rujukan dari setiap kebijakan yang diambil. Dengan itu, kehadiran para pemimpin yang merakyat dan bijaksana mutlak diperlukan.
Kebijakan para pemimpin dapat ditilik dari kesanggupannya mengambil berbagai keputusan yang adil.
Keputusan-keputusan politik harus mampu menjamin kepentingan semua orang. John Rawls menyebut hal ini sebagai procedure justice.
Hemat saya, ada beberapa aspek utama yang mesti diperhatikan oleh seorang pemimpin dalam konteks NTT.
Pertama, ekonomi. Mayoritas masyarakat NTT masih akrab dengan keterbelakangan ekonomi, rawan pangan, kekurangan air bersih dan kelaparan.
Realitas dominan itulah yang menempatkan NTT sebagai provinsi ke-3 termiskin di Indonesia. Pada porsi ini, fokus seorang pemimpin ialah meningkatkan derajat hidup masyarakat dengan memberi perhatian yang besar pada problem utama tersebut.
Kedua, peningkatan fasilitas pendidikan dan pelayanan kesehatan. Hal ini sangat urgen. Di NTT masih banyak sekolah yang tidak memiliki fasilitas pendidikan yang memadai seperti ruang kelas yang nyaman, atribut-atribut sekolah dan berbagai fasilitas penunjang lainnya.
Sama halnya dengan pelayanan kesehatan yang belum optimal dan merata. Karena itu, kehadiran para pemimpin baru diharapkan dapat mengoptimalkan hal tersebut.
Ketiga, perlu adanya kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
Ironis pembangunan di NTT yang kian marak disebabkan oleh ambisi egois pemimpin atas aspirasi dan partisipasi rakyat.
Kenyataan ini akan terus mewajah tatkala pemimpin selalu mengedepankan interese pribadinya dalam memimpin.
Dengan demikian, kehadiran para pemimpin baru bukan sekadar pemenuhan euforia politik atas kemenangan dalam pertarungan pilkada tetapi lebih dari itu para pemimpin harus mampu menjadi katalisator dalam membangun daerah, merangkul dan mempersatukan keberagaman. Itulah secuil harapan rakyat sebagai berkah politik dari para pemimpin baru agar tercapainya bonum commune.***
Penulis adalah Mahasiswa Tinggal di Ritapiret