Oleh: Alfred Tuname
Politik memang menggiurkan bagi politisi yang punya nyali. Nyali itu tentu didorong oleh apa yang disebut Nietsche sebagai der Wille zur Macht atau hasrat untuk kekuasaan.
Politisi tak pernah habis menggerayangi hasrat berkuasa itu. Karena itu, apa pun dilakukan untuk memuaskan hasrat itu.
Pemilihan Umum Gubernur NTT tahun 2018 (Pilgub NTT 2018) merupakan pentas yang pantas untuk mendeteksi politisi yang berhasrat kekuasaan.
Tetapi Pilgub NTT 2018 juga merupakan momentum politik yang penting. Di situ, genderang perang ditabuh.
Resonansinya menggetarkan hasrat pada kekuasaan. Politisi memanfaatkan itu untuk meningkatkan karier politik kekuasaannya.
Memang, Pilgub NTT 2018 adalah ajang mencari pemimpin masyarakat NTT. Bahwa NTT membutuhkan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas untuk memimpin masyarakat NTT periode 2018-2023.
Gubernur NTT Frans Leburaya yang neolib dan pro elite ekonomi sudah akan berakhir memimpin NTT. NTT butuh pemimpin yang lebih baik yang pro pembangunan, bukan investor; yang pro rakyat, bukan elite.
Akan tetapi, pemimpin seringkali terselip dan tersamar di antara para politisi haus kekuasaan. Di sinilah Pilgub NTT 2018 perlu jadi “pengaya” untuk memilih mana figur yang berkarakter pemimpin dan mana seorang maniak kekuasaan.
Seorang maniak kekuasaan dapat ditakar dari amplifikasi kecenderungan berkuasa. Atau dalam terminologi para ibu, “satu belum selesai, minta satu lagi”.
Terminologi itu sangat cocok bila kita kaitkan dengan “hasrat bupati yang hendak jadi gubernur”.
Jabatan sebagai bupati belum selesai, bahkan baru terpilih dalam Pilkada 2015, sudah mau jadi gubernur di Pilgub 2018. Bukankah ini bisa dibilang bupati tidak tahu diri atau mengkhianati kepercayaan rakyat?
Sebagai pemimpin, bupati seharusnya menakar diri dan bijak melihat amanat rakyat. Pemimpin harus mampu melihat wajah harapan rakyat, bukan wajah kekuasaan.
Dalam proses pemilihan, bukan kehendak rakyatlah yang memilih, tetapi rakyat memilih sesuai adanya tawaran pilihan figur dikehendaki. Oleh karena itu, para bupati lebih baik fokus bekerja untuk rakyat, bukan sibuk menawarkan diri dalam Pilgub NTT 2018.
Sikap bijak datang dari Bupati Ngada Marianus Sae. Ia baru saja terpilih dalam Pilkada 2015 Kabupaten Ngada. Tetapi ia tidak silau pada kekausaan.
Isu lamaran politik Ibrahim A. Medah tertepis dengan sendirinya ketika Marianus Sae lebih memilih bekerja untuk rakyat Ngada.
Ia lebih memilih mengerjakan jalan alternatif menuju bandara Turelelo (Soa), mengurus bakat-bakat terbaik PSN Ngada, bangun infrastruktur, tata ekonomi pasar rakyat dan lain sebagainya.
Sebagai Ketua DPD Partai Amanat Nasional (PAN) Kabupaten Ngada, Marianus Sae sejatinya punya chance untuk maju dalam Pilgub NTT 2018.
Ia bisa saja mendapat dukungan partai PAN dan siap maju. Marianus Sae adalah salah satu kader PAN terbaik di NTT yang bisa bertarung di Pilgub NTT.
Akan tetapi, pilihan politik itu tidak ia ambil, sebab ia sadar, masyarakat Ngada masih membutuhkannya. Marianus Sae tidak ingin mengkhianati kepercayaan masyakakat yang baru saja memilihnya di Pilkada 2015.
Di Kabupaten Manggarai, pasca Pilkada 2015, Christian Rotok tidak lagi sebagai bupati. Christian Rotok atau akrab disebut CR adalah mantan bupati yang memimpin Manggarai selama dua periode.
Secara aturan, CR tidak bisa lagi menjadi bupati di kabupaten mana pun di Indonesia. Sebagai politikus, CR secara bijak memilih untuk ikut Pilgub NTT 2018 (calon wagub paket Eston-Crist).
Itulah strata politik yang baik seorang politikus. Politikus seharusnya tidak terlalu ambisius atau bernafsu. Perlu sikap bijak dan mawas diri dengan kalkulasi politik yang pas dan pantas.
Tentu setiap keputusan politik pasti ada risiko, tetapi mestinya itu tidak mengorbankan rakyat banyak. Nurani seorang politisi adalah rakyat itu sendiri, bukan kekuasaan semata.
Tetapi cara baca politik tampaknya berbeda dengan ambisi Bupati Sabu Raijua, Marthen Dira Tome atau akrab disapa MDT.
Baru terpilih sebagai bupati Kabupaten Sabu Raijua di Pilkada 2015, MDT sudah gegabah mempromosikan diri sebagai cagub Pilgub NTT 2018. Padahal janji-janji program di Pilkada 2015 Kabupaten Sabu Raijua belum diimplemenasi.
Menu politik Pilkada 2015 Kabupaten Sabu Raijua masih panas, MDT sudah “kecoro” siap maju Pilgub NTT 2018.
Waktu kesempatan untuk melayani masyarakat Sabu Raijua pasti akan habis dengan tebar pesona dan safari politik menuju Pilgub. Masyarakat pun hilang kemudi dalam proses pembangunan.
Pasca ditahan KPK terkait dugaan korupsi PLS Dikbud NTT tahun 2007 senilai Rp 77 milyar, MDT dan tim kampanyenya tampak diam di tempat. Mereka tak banyak lagi berkoar di ruang publik. Sepertinya, layu sebelum berkembang.
Hal itu sedikit berbeda dengan Bupati Timor Tengah Utara (TTU) Raymundus Fernandes. Ia terus tancam gas.
Baru terpilih dalam Pilkada 2015 TTU sebagai calon tunggal, Raymundus Fernandes sudah merasa bisa memimpin NTT.
Padahal, proses pembangunan untuk masyarakat TTU belum apa-apa. Bupati yang pernah tersandung masalah tambang Oenbit itu tampaknya lupa akan persoalan kemiskinan dan SDM yang sedang melanda masyarakat TTU.
Itulah sebagian para bupati kita. Itulah politisi kita. Ada yang menjadikan politik sebagai momen proliferasi kekuasaan. Tak tanggung-tanggung, tak peduli nasib masyarakat.
Ada juga yang bijak, tak buru-buru dan penuh pertimbangan. Yang jelas, politik adalah tidak hanya soal kekuasaan, tetapi juga etika. Ketika kekuasaan itu menuntut, etika itulah yang mengatur; atur nurani dan kendali hasrat.
Oleh karena itu, politisi perlu melek etika. Dengan begitu, politik akan dirayakan secara elegan seraya mempertimbangkan rakyat sebagai subyek kekuasaan. Dengan begitu, demokrasi lokal kita memiliki perangkat lunak yaitu etika politik.***
Alfred Tuname
Direktur Lembaga Neralino (Network On Reform Action For The Well-being Of Indonesia)