Oleh: Dr. Abdul Majir, M. KPd*
Istilah “USBN” (Ujian Sekolah Berstandar Nasional) dan UN (Ujian Nasional) sebenarnya mengandung makna yang sama, yaitu ujian akhir bagi siswa disekolah sebelum mereka dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi .
USBN dan UN perbedaannya terletak pada model soal ujian. Kalau USBN soalnya 75% soal dibuat oleh satuan pendidikan dan 25% oleh propinsi.
Sedangkan UN soal 100% dibuat oleh Negara sebelum mereka dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Dalam rangka mengevaluasi pembelajaran yang sudah dilakukan di seluruh Indonesia mengacu pada tujuan pendidikan nasional, pemerintah menyusun suatu model evaluasi.
Model evaluasi yang diterapkan saat ini, USBN/UN. Inilah salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Apakah penyelenggaraan USBN/UN merupakan model evaluasi akhir kompetensi siswa sebagaimana harapan perubahan kurikulum 2013?
Penyelenggaraan USBN/UN
Kualitas pendidikan di Indonesia diukur oleh standar dan kompetensi yang termuat dalam Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Apabila ditinjau dari standar dan kompetensi itu, maka pendidikan di Indonesia cendrung menitik beratkan pada pemenuhan standar nilai kompetensi saja.
Peserta didik dan pendidik terkadang hanya memikirkan bagaimana agar memperoleh nilai tinggi dengan menghalalkan segala cara untuk memperolehnya.
Kita menilik sejenak pada tujuan pendidikan nasional yang tersirat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu “…mencerdaskan kehidupan bangsa…”.
Bangsa yang cerdas direpresentasikan melalui profil warga Negara yang cerdas. Warga negara yang cerdas merupakan pribadi yang tidak hanya cerdas secara kognitif tetapi juga mencerminkan nilai-nilai yang terdapat dalam dasar negara Indonesia, Pancasila.
Nilai-nilai yang dimaksudkan adalah: nilai dari sila pertama sampai kelima Pancasila. Profil manusia Indonesia yang cerdas tentu saja perlu dikembangkan dengan menyediakan pembelajaran yang tidak hanya menekankan aspek kognitif tetapi juga aspek afektif dan psikomotorik.
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) merekomendasikan lima pilar dasar pembelajaran yang sebaiknya diterapkan oleh seluruh program pendidikan, yakni: Pertama, Learning to know, setiap siswa mempunyai kesempatan untuk membangun sendiri pengetahuannya dengan cara mengintegrasikan pengetahuan asli yang dimiliki dengan pengetahuan yang berasal dari luar.
Kedua, Learning to do, siswa memiliki kemampuan dan kesempatan untuk mengaplikasikan teori yang sudah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari
Ketiga, Learning to live together, siswa menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari masyarakat mempunyai peran untuk dapat bermanfaat bagi orang lain.
Keempat, Learning to be, pembelajaran dapat membuka kesempatan kepada siapa saja untuk dapat mengembangkan potensi individu untuk belajar, mencari tahu, membangun dan mengunakan pengetahuannya untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi.
Kelima, Learning to transform oneself and society, siswa menyadari kebutuhannya untuk belajar sepanjang hayat sebagai bentuk transformasi diri dan berkontribusi dalam masyarakat.
Oleh karena itu, jika menilik tujuan pendidikan nasional yang tersirat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu “…mencerdaskan kehidupan bangsa…”, dan rekomendasi UNESCO di atas, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan USBN/UN belum mencerminkan model evaluasi pendidikan nasional Indonesia karena Evaluasi pendidikan seperti USBN/UN yang menentukan lulus/tidaknya siswa mengikuti pendidikan, tidak melihat proses pendidikan yang dilalui siswa selama beberapa tahun.
Yusuf, S. E (2008), menyatakan bahwa evaluasi hasil belajar seperti UN tidak dapat mengukur pencapai tujuan pendidikan nasional karena tingkah laku peserta didik dipengaruhi oleh materi yang akan diujikan.
Jika yang diujikan adalah kumpulan hafalan pengetahuan maka mereka hanya akan belajar materi yang diujikan dan mengabaikan berbagai pengalaman belajar yang tidak termasuk bahan ujian.
Penyelenggaraan USBN/UN, berdampak pada sikap orang tua dan pihak sekolah berupaya keras agar anak dan siswanya dapat lulus “ apapun caranya”.
Para guru pun lebih terfokus untuk mengajarkan materi-materi yang muncul dalam USBN/UN agar siswanya lulus 100% sehingga akan redup nilai kejujuran dalam pelaksanaannya.
Setiap satuan pendidikan cenderung memilih target kelulusan 100% dibandingkan memperjuangkan nilai kejujuran. Apalagi pelanggaran penyelenggaraan USBN/UN, belum ada payung hukum yang jelas untuk menindaklanjuti setiap pelanggaran yang terjadi.
USBN DAN UN memang perlu diselenggarakan oleh Negara dan sekolah selama dapat mengevaluasi beberapa hal dalam waktu yang bersamaan, yaitu menginformasikan dan meningkatkan proses belajar-mengajar dan mengukur pemahaman peserta didik terhadap pembelajaran, penilaian hendaknya menjadi bagian integral dari proses pembelajaran, bersifat komprehensif (aspek kognitif, afektif dan psikomotorik) sehingga hasil yang diperoleh lebih objektif dan benar-benar menggambarkan prestasi dan kemampuan peserta didik sebagai termuat dalam kurikulum 2013.
Selain itu, adanya tuntutan akuntabilitas yang mendorong pemerintah mengimplementasikan berbagai cara untuk memperoleh data faktual mengenai “produk” atau “hasil” dari institusi pendidikan dengan cara mengevaluasi siswa sekaligus mengevaluasi kualitas sekolah.
Sehingga Makna USBN/UN sebagai Assessment merupakan bagian yang tak terpisahkan (integral) dari seluruh proses pembelajaran siswa apa yang dapat mereka lakukan dan mereka rasakan pada berbagai tahapan yang berbeda dalam proses pembelajaran yang berlangsung.
Tidak hanya guru, tetapi siswa juga harus terliba aktif dalam menilai kemajuan belajar sebagai salah satu upaya pengembangan critical thinking dan keterampilan self-assessment.
Kesimpulan
Jika penyelenggaraan USBN/UN merupakan salah satu bentuk mandated examination yaitu ujian yang diamanatkan di bawah pengawasan yang didesain untuk menggambarkan tingkat pencapaian keseluruhan sistem pendidikan, bukan pencapaian individu tertentu, maka USBN/UN jangan menimbulkan: 1) kecemasan, terutama siswa, pendidik dan orangtua, 2) merupakan bagian integral dalam proses pembelajaran yang dapat menggambarkan kemampuan peserta didik dan dapat menjadi umpan balik untuk pengembangan pembelajaran, 3) evaluasi harus mempertimbangkan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik ke dalam sistem ujian yang diselenggarakan.
Saran
Dalam kasus USBN/UN yang hampir selalu menjadi kontroversi, kami menilai adanya sistem evaluasi yang menentukan lulus tidaknya siswa mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalui peserta didik selama proses pendidikan beberapa tahun. Selain itu, evaluasi hanya beberapa mata pelajaran saja.***
Daftar Pustaka
Greaney, V. (2001) Using assessment to improve the quality of education.Paris: UNESCO International Institute for Educational Planning.
KEMENDIKNAS. (2010) Panduan kebijakan pemanfaatan hasil ujian nasional untuk perbaikan mutu pendidikan. Jakarta: Kemendiknas, p 2-7.
Miller, M.D., Linn, R.L. & Gronlund, N.E. (2009) Measurement and Assessment in Teaching. New Jersey: Pearson Education.
Sudjana, N. (2005) Penilaian hasil proses belajar mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
UNESCO. (2012). Five pillars of learning [Internet]. Yogyakarta: UNESCO. Tersedia dalam <http://www.unesco.org> [Diakses 29 November 2012].
*Penulis adalah Dosen STKIP St. Paulus Ruteng, tinggal di Ruteng, Manggarai, Flores, NTT