Borong, Vox NTT- Pegiat antikorupsi, Niko Martin menilai ketiadaan anggaran APBD II untuk pelantikan Kades di Kabupaten Manggarai Timur (matim) merupakan gambaran kegagalan perencanaan.
Kegagalan tersebut dilakukan oleh pemerintah dan DPRD sebagai pihak yang berwenang membahas dan menetapkan APBD.
“Masa anggaran pilkadesnya disiapkan, tapi pelantikannya tidak (disiapkan). Ini kan perencanaannya sepotong-sepotong dan tidak utuh. Jadi menurut saya ini gambaran kegagalan perencanaan,” katanya kepada wartawan, Rabu (29/3/2017).
Secara moral dan politik tegas Niko, mestinya pemerintah dan DPRD harus bertanggung jawab.
Niko pun tidak setuju jika pemerintah dan DPRD melibatkan pihak lain untuk menanggung resiko kegagalannya, termasuk Kades yang dilantik.
“Pemerintah dan DPRD harus tanggung ini sendiri. Kenapa? Karena ini kesalahan mereka. Jadi, saya tidak setuju kalau kades yang dilantik menanggung resikonya,” pungkas Niko.
Dia menambahkan kebijakan ini tak wajar dan menyesatkan Kades, terutama dalam upaya menata pemerintahan desa yang bersih dari korupsi.
Jika kebijakan ini tidak dicabut kata Niko, dikhawatirkan ke depan ada Kades yang menjadikan kebijakan ini sebagai rujukan jika nanti berhadapan dengan keadaan sejenis.
“Ini sangat berbahaya. Karena itu saya minta (kebijakan) itu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Kalau tidak, sama saja ajar kades buat seperti itu,” imbuhnya.
Jika itu sudah dicabut pintah Niko, uang yang dipungut dari Kades harus dikembalikan.
“Soal (uang) itu diambil dari mana, itu soal lain. Tapi, intinya harus dikembalikan,” pintahnya.
Sebelumnya diberitakan, 65 Kades hasil pemilihan 28 Februari 2017 lalu menyetor uang sebesar 1 juta rupiah untuk biaya pelantikan pada Kamis (30/3/2017) di Aula Setda Matim.
Baca: Kepala BPMPD Matim Tanggapi Polemik Sumbangan Dana Pelantikan Kades
Kebijakan ini diambil Kepala BPMPD karena kegiatan ini tidak dianggarkan dalam APBD Matim 2017. Pasalnya, uang 1 juta tersebut bukan pungutan liar tapi sumbangan sukarela atas dasar kesepakatan 65 kades.
Tapi, penjelasan Kepala BPMPD tersebut menuai kritik. Publik tetap menyebut ini sebagai pungutan liar berkedok kesepakatan karena tidak diatur dalam peraturan yang berlaku. (Ferdiano Sutarto Parman/VoN).