Oleh: Alfred Tuname*
Pantai Pede kembali menuai soal. Grafik seteru masyarakat sipil dan pengembang Pantai Pede mulai meningkat. Pengembang diam-diam mulai menancap cakarnya di Pantai Pede. Tak peduli tuntutan masyarakat, pengembang mencabut harapan publik.
Itulah yang dilakukan oleh PT Sarana Investama Mangabar (PT SIM). Dengan exavator pengaruh dan kekuasaan, PT SIM mulai membangun hotel mewah di lokasi Pantai Pede.
Atas ridho Gubernur Frans Leburaya, perusahan milik Setya Novanto itu mulai menyeruak sikap gigih publik Manggarai Barat.
Masyarakat Manggarai Barat melalui gerakan masyarakat sipil menilai PT SIM terlampau arogan. Secara sepihak PT SIM sudah mulai membangun di ruas halaman Pantai Pede. Arogansi korporasi yang mendapat jaminan kekuasaan politik lokal merebut pantai milik publik.
Pantai Pede adalah pantai milik masyarakat Manggarai Barat. Perjuangan masyarakat Manggarai Barat adalah perjuangan nurani publik. Perjuangan itu ditandai dengan gerakan terus-menerus menolak privatisasi Pantai Pede. Perjuangan menolak privatisasi itu merupakan hak publik Manggarai Barat.
Grafik naik aktivitas pariwisata Manggarai Barat berjalan searah dengan gelombang privatisasi ruang publik.
Pulau-pulau dan ruas garis pantai sepanjang Labuan Bajo telah dikuasai investor nasional maupun asing. Nyaris tak ada cela ruang untuk dinikamti secara publik. Semuanya telah berbayar. Semuanya telah bertanda larang.
Secara politis, masyarakat Labuan Bajo dan orang-orang lokal tidak dianggap sebagai warga. Oleh konglomerasi pariswisata, mereka telah dianggap denizens.
Filsuf Prancis Jacques Ranciere menyebutnya sebagai “non-part”. Tentu saja, karena masyarakat lokal tampak sebagai tak dilibatkan secara layak pada bisnis parwisata. Masyarakat lokal tidak lebih dari penjual tanah atau pelayan dengan upah rendah.
Masyarakat yang tersingkir itu menggunakan hak-hak politik itu menuntut ruang publik. Pantai Pede adalah ruang publik terakhir yang bisa diakses. Apabila Pantai Pede juga diprivatisasi, maka masyarakat lokal sejatinya telah kehilangan hak publik atas Pantai Pede selamanya.
Ketika ruang parlemen sudah terkooptasi oleh kepentingan korporasi pariwisata, maka publik punya parlemen jalan yang bisa diandalkan.
Aksi longmars dan unjuk rasa publik Manggarai Barat menjadi jalan satu-satunya untuk menendang keluar korporasi yang arogan. Gelombang aski yang terus-menerus merupakan pertanda perjuangan tak akan pupus untuk menuntut PT SIM keluar dari Pantai Pede.
Masyarakat Manggarai Barat tidak sendirian dalam perjuangan melawan arogansi PT SIM. Gereja Katolik Manggarai, PMKRI, berbagai elemen masyarakat, media dan para intelektual juga bersimpati pada perjuangan masyarakat Manggarai Barat.
Dukungan terus mengalir untuk menyumbat jaring kekuatan arogansi PT SIM dan elite-elite politik yang ikut mengambil keuntungan.
Gubernur NTT Frans Leburaya diduga “berkoalisi” dengan Setya Novanto untuk melepas Pantai Pede. Pantai Pede diklaim sebagai milik Pemda Provinsi NTT. Meskipun sedang dalam sengketa hukum antara Pemda Manggarai Barat dan Provinsi NTT, pengelolaan Pantai Pede telah didaulat kepada PT SIM. Persoalannya, hukum adalah milik mereka yang punya kekuasaan politik dan finansial.
Hukum selalu punya mata untuk melihat mana yang menguntungkan, bukan yang adil. Oleh karena itu, perjuangan melalui jalur hukum adalah sesuatu yang sia-sia.
Perjuangan publik melalui jalur hukum hanya akan berurusan dengan jabakan-jebakan hukum yang dibuat oleh elite dan korporasi bersama aparat hukum yang korup. Tak ada kepentingan publik yang dibahas dalam perjuangan publik via jalur hukum.
Ketika hukum selalu menyingkirkan kepentingan publik, masyarakat punya jalan politik sendiri. Masyarakat punya narasi perjuangan sendiri untuk melawan kekebalan dan kebebalan politis para elite politik dan korporasi . Selama ada aktivitas privatisasi Pantai Pede, selama itu pula gelombang aksi terus menerus dilakukan.
Kekuatan masyarakat sipil Manggarai Barat dan segenap elemen perjuangan masyarakat penentang privatisasi masih dan akan terus terkonsolidasi. Jaring-jaring komunikasi advokasi terus ditingkatkan. Itulah kekuatan publik. Kekuatan itu dirapatkan untuk menendang monster korporasi.
Memang ada beberapa pengkhianat (traitor) yang berusaha mencabik kekuatan elemen “Save Pede”.
Para pengkhiat itu telah menjadi infantri koporasi PT SIM. Mereka dibayar dan digunakan untuk melawan saudaranya sendiri. Semacam warisan strategi kolonial, devide et impera! Pecah untuk menguasai.
Para pengkhianat itu adalah orang-orang yang tak punya integritas. Nuraninya sudah dibeli dengan uang. Nasib generasinya sudah digadaikan untuk korporasi. Dalam berbagai wacana ruang publik, masyarakat sudah mengutuk para pengkhiat itu.
Akan tetapi, formasi perjuangan tolak privatisasi Pantai Pede terus menggeliat. Proliferasi dan diseminasinya semakin luas. Rakyat bersatu, tak bisa dikalahkan. Simbol-simbol perjuangan pun terus diunggah ke ruang publik untuk melawan arongasi elite politik dan korporasi PT SIM.
Perjuangan masyarakat sipil tolak Privatisasi Pantai Pede semakin menggeliat dan kian revolusioner.
Perjuangan masyarakat tidak akan pernah patah arang. Tentu hal itu dilakukan karena PT SIM masih menggunakan jaminan politik Frans Leburaya yang siap purna bakti. PT SIM sedang “memforsir” keuntungan posisinya di sisa kekuasaan Frans Leburaya. Tak heran, mereka mulai membangun di Pantai Pede.
Oleh karena itu, publik harus terus waspada. Publik Manggarai Barat tidak boleh lengah. Segala cara harus dilakukan untuk menghadang arogansi PT SIM tersebut.
Hingga saatnya pengaruh politik Frans Leburaya selesai, perjuangan pasti akan berhasil. Hal itu sejauh publik memilih pemimpin yang pro-rakyat, bukan pro korporasi (kapitalis) pada Pilgub NTT 2018.
Akhirnya, mari rapatkan barisan dan terus berjuang. Mutatis mutandis Michael Collins, pejuang revolusioner Irlandia, “we have a weapon more powerful…than any arsenal of PT SIM, Frans Leburaya and Setya Novanto! That weapon…is our refusal. Tolak provatisasi Pantai Pede adalah senjata nurani publik Manggarai Barat.***
Alfred Tuname
Direktur Lembaga Neralino (Network On Reform Action For The Well-being Of Indonesia)