Kota Kupang, Vox NTT-Kewenangan DPD RI menurut pasal 22 D UUD 1945 dibatasi hanya dapat mengajukan, ikut membahas, dapat memberikan pertimbangan dan turut mengawasi beberapa RUU tertentu kepada DPR.
DPD tidak memiliki kewenangan untuk membahas sampai dengan memutuskan suatu rancangan undang-undang bahkan terkait langsung dengan daerah, maka DPD tidak optimal dalam mengawal aspirasi masyarakat dan daerah.
Demikian yang ditegaskan oleh Ir. Abraham Paul Liyanto, dalam Dialog Publik yang diselenggarakan di Kantor DPD RI NTT, Rabu (05/04/2017).
Selanjutnya, Paul menegaskan bahwa fungsi DPD itu yaitu memperkuat ikatan antara daerah dan pusat.
Hal ini ditegaskan bahwa DPD adalah representasi daerah di pusat dan anggota DPD sebenarnya non parpol.
DPD berbeda dengan DPR, sebab DPR adalah representasi partai politik dan rakyat.
Namun, perlu diingat bahwa baik DPR dan DPD hidup dalam suatu rumah tetapi dengan kamar yang berbeda yang disebut sebagai bikameral.
Menurut Paul Liyanto, hal ini tidak dinilai sinergis karena posisi DPD dalam sistem kelembagaan eksekutif masih sangat lemah.
“Di dalam lembaga legislatif tidak ditemukan check and balances khususnya dalam kuantitas. Lembaga eksekutif tentunya didominasi oleh DPR yang ditentukan berdasarkan jumlah penduduk dan dicalonkan melalui partai. Sedangkan DPD didasarkan pada keterwakilan daerah dan secara perseorangan” beber Paul.
Dengan demikian, lanjutnya, dari segi jumlah tidak ada keseimbangan antara jumlah DPR RI (560) dan anggota DPD (132).
Amandemen UUD
Hal ini kemudian berpengaruh dalam setiap keputusan yang diambil. Maka perlu dilakukan amandemen UUD 1945 untuk mengkaji kembali kewenangan DPD dan peran keterwakilannya dalam lembaga eksekutif Negara.
Soal wacana Amandemen tersebut, Dr. John Koten, SH, MH dalam materinya sebagai tim ahli menegaskan bahwa perlu ada amandemen dalam UUD 1945.
Amandemen perlu untuk memperkuat posisi dan fungsi DPD RI sebab DPD adalah wakil kepentingan daerah untuk menjawabi persolan pluralitas kebangsaan Indonesia.
Hal yang hampir sama ditegaskan kembali oleh Dr. Jeny Eoh, M.S bahwa perlu ada penantaan kembali posisi dan peran DPD RI.
Peran DPD menurutnya perlu diredefinisi dan ditata ulang agar tidak terjadi ketimpangan, di mana DPD hanya menjadi penonton dalam setiap keputusan yang diambil oleh DPR.
Strong and Soft
Pada bagian lain, Dr. John Tubahelan, SH. MH, memberikan suatu kritikan yang tajam berkaitan dengan DPD dan DPR.
Dia menegaskan dua prinsip utama yaitu strong and soft. Strong terjadi bila kedua lembaga ini sama-sama kuat, maka ditemukan prinsip check and balances dalam setiap pengambilan keputusan, sedangakan soft terjadi bila salah satunya lemah dan yang lain kuat.
Selanjutnya, dia menegaskan bahwa baik DPR maupun DPD itu hidup dalam satu rumah yang disebut parlemen dengan sistem bikameral, hanya berbeda kamar.
Dengan demikian, seharusnya DPD harus memiliki fungsi yang sama dengan DPR agar memiliki keseimbangan dan tidak terjadi ketimpangan dalam pengambilan keputusan bersama.
Baik DPR dan DPD menurut John, memiliki status yang sama serta peran yang sama serta mengutamakan kepentingan rakyat bukan kepentingan pribadi atau kelompok.
Dialog Publik dengan tema “Urgensi Penataan Sistem Ketatanegaraan Indonesia Melalui Perubahan UUD NRI Tahun 1945” adalah kerja sama antara Badan Pengembangan Kapasitas Kelembagaan DPD RI dengan Fakultas Hukum Universitas Katholik Widya Mandira Kupang.
Dan dalam sambutannya, ketua panitia Yohanes Arman, SH, MH menegaskan bahwa “DPD adalah asesoris demokrasi yang membutuhkan penguatan kelembagaan terkait wewenangnya”.
Wewenang DPD harus diperkuat dan dikokohkan agar mengimbangi peran dan fungsi DPR, sehingga sistem bikameral dalam rumah parlemen Indonesia sungguh-sungguh memberikan suatu dampak yang positif demi terciptanya bonum commune.
Dialog publik ini dihadiri oleh para pakar hukum tatanegara, dekan fakultas Hukum UNWIRA Kupang, dekan Fakultas Hukum PGRI, Mumahadiyyah, perwakilan dari Birokrat, Akademisi, Mahasiswa, Organisasi (GMNI dan PMKRI), serta pers. (Riady/VoN).