Oleh: Alfred Tuname*
Peristiwa bunuh diri di NTT yang sering muncul menyiratkan duka publik. Semacam ada “suicide contagion”. Hal ini menyulut nalar publik untuk mengetahui asal-muasal naluri bunuh diri itu.
Banyak spekulasi terkait penyebab bunuh diri. Persoalan hubungan percintaan, persoalan dalam rumah, beban hidup, gangguan mental, putus harapan, ideologi dan lain-lain diletakan di atas bantal kematian tak wajar itu.
Spekulasi itu wajar-wajar saja. Sebagian besar orang pernah merasakan dorongan mengakhiri hidup kala petaka datang mendera.
Etalase Konsep
Terdapat banyak aspek yang dicurigai sebagai penyebab bunuh diri. Teori-teori sosial, psikologi, neuroiologi dan teori genetik berebut menjelaskan fenomena bunuh diri.
Semuanya menjadi bahan mentah “Suicidology”. Sosiolog Emile Durkheim dalam bukunya nan klasik Suicide: A Study in Sociology (1897/1951) menjelaskan, kuat-lemah kontrol masyarakat terhadap individu berpengaruh pada fenomena bunuh diri.
BACA:Angka Bunuh Diri di NTT Kian Mencemaskan, Berikut Rinciannya
Atas akses individu terhadap masyarakat, Durkheim menyebut fenomena bunuh diri dalam kategori egoistik, altruistik, anomik dan fatalistik.
Bunuh diri egoistik dikarenakan kurangnya relasi integral antara individu dan masyarakat. Bunuh diri altuistik dikaitkan dengan ideologi dan spirit mengorbankan diri untuk keutuhan masyarakat. Bunuh diri anomik berkaitan dengan tindakan individu yang tidak mampu mengatasi krisis-krisis di masyarakat. Bunuh diri fatalistik terjadi pada individu yang merasa tidak punya harapan sebagai akibat regulasi sosial yang membatasi kebebasan individu.
Bapak psikologi Sigmund Freud dalam bukunya Mourning and Melancholia (1917/1957) menjelaskan, aksi bunuh diri tampak berkorelasi dengan depresi melankolis.
Di sini persoalan cinta menyulut indivindu mengakhiri hidup. Sementara dalam bukunya Beyond the Pleasure Principle (1920), Freud menjelaskan, ada insting kematian (melalui superego) yang memiliki kemampuan untuk mendorong (to drive) ego melakukan tindakan bunuh diri.
Begitupun dengan Karl Menninger dalam bukunya Man Against Himself (1938) menulis psikodinamika bunuh diri yang berkorelasi dengan “the wish to kill, the wish to be killed, dan the wish to die (I hate me)”. Ketiga “wishes” (hasrat, kehendak) ini persis melekat pada setiap fenomena bunuh diri.
Fenomena bunuh diri juga didekatkan dengan studi Neorobiologi dan Genetik. Dari berbagai penelitian disimpulkan terdapat gen tryptophan dydrixylase (TPH) yang diasosiasikan dengan perilkau aksi bunuh diri seseorang (bdk. Alan L. Berman, dkk, 2006).
“Romeo-Juliet Complex”
Semua pengetahuan dan teori di atas penghantarkan publik untuk mengetahui permukaan fenomena bunuh diri.
Pada kenyataannya, masih ada aksi bunuh diri. Di negara-negara maju (Jepang, Korea Selatan, Amerika, dll) yang tampak warga negaranya sangat rasional sekalipun “wish to die” masih merebak. Itu berarti fenomena bunuh diri bukan urusan cerdas atau tidak, tetapi sesuatu yang kompleks.
Remaja dan kaum muda seringkali menjadi kelompok yang paling rentan terhadap kecenderungan bunuh diri.
Banyaknya beban hidup yang tidak diikuti dengan kematangan mengurai soal, maka kecenderungan “wish to die” menjadi satu-satunya jalan keluar. Freud menyebutnya sebagai “anomic suicide”.
Persoalan relasi remaja/kaum muda dengan cinta sebagai pemicu berujung depresi melankolis. Tindakan mengakhiri hidup menjadi dorongan kuat ketika temali cinta tidak mendapat pengakuan.
Di sini ada semacam “Romeo-Juliet Complex”, yakni aksi bunuh diri akibat persoalan asmara. Romeo-Juliet Complex ini masih menghantui generasi muda kita.
Preventif
Kompleksistas sebab-musabab fenomena bunuh diri perlu ditangani secara simultan dan komprehensif. Semua elemen masyarakat perlu ikut bertanggung jawab atas urusan.
Pemerintah, lembaga swasta, lembaga pendidikan, dan masyarakat perlu memberikan sumbang pikir dan kebijakan. Kerja sama yang baik akan bisa mencegah perilaku-perlaku self-destruction dan bunuh diri.
Fenomena bunuh diri tidak bisa hanya ditangani oleh kalangan-kalangan tertentu saja. Sebab jangan sampai, mengutip Hegel, “the way we solve problem is part of problem itself”.
Pendekatan pencegahan problem bunuh diri di masyarakat tidak bisa diselesaikan dengan tawaran-tawaran proyek psikologi. Nalar proyek selalu tidak tuntas dan kadang sekali pakai karena mengikuti logika”function follows the money”.
Pendekatan pencegahan problem bunuh diri di masyarakat adalah usaha yang terus-menerus dilakukan.
Di sini, semua orang perlu ambil bagian. Empati, perhatian dan cinta yang tulus masih menjadi kekuatan masyarakat untuk menangkal perilaku ekstrim terhadap diri sendiri. Dengan itu masyarakat akan mudah saling mengontrol satu sama lain.
Dengan kata lain, empati, perhatian dan cinta menjadi keutamaan masyarakat dalam mendorong “the wish to live”, kehendak untuk terus hidup.***
Alfred Tuname, Direktur Lembaga Neralino (Network On Reform Action For The Well-being Of Indonesia)