(Refleksi sosial-politik Pekan Suci)
Oleh: Inosentius Mansur *
“Ecce Homo” (lihatlah manusia itu) merupakan kata-kata Pilatus tatkala memperlihatkan Yesus kepada publik yang menginginkan kematian-Nya.
Kata-kata ini disampaikan Pilatus dengan maksud agar publik merasa iba dengan Yesus. Yesus yang sudah babak belur, diikat, bermahkota duri, tak berdaya dan berdarah merupakan fakta yang coba dijadikan Pilatus sebagai alasan agar segera membebaskan Yesus.
Namun demikian, harapan Pilatus itu kandas. Alih-alih ingin membebaskan Yesus, Pilatus tak berkutik menghadapi desakan publik yang justru menghendaki sebaliknya.
Maksud Pilatus tidak sinkron dengan apa yang menjadi desakan rakyat yang saat itu hadir. Permintaannya tidak digubris, “malah imam-imam kepala dan penjaga-penjaga itu semakin keras berteriak: Salibkan Dia, salibkan Dia” (Yoh.19:6).
Pilatus tidak memiliki pilihan lain, selain tunduk di bawah keinginan mereka. Pilatus mengorbankan substansi persoalan demi mendapat simpati dari masyarakat. Ia lebih memikirkan keamanan posisinya daripada memutuskan secara benar perkara yang tengah ditanganinya itu.
Ia tahu bahwa Yesus tidak bersalah. Ia juga memiliki wewenang untuk membebaskan Yesus berdasarkan apa yang diketahuinya itu.
Tetapi faktanya Pilatus takut posisinya didelegitimasi. Maka yang terjadi adalah otoritasnya berhasil didekonstruksi oleh ahli-ahli taurat dan orang-orang Farisi yang saat itu menginginkan hukuman mati terhadap Yesus.
Keberpihakan yang Radikal
Tanpa mengabaikan maksud Ilahi dalam seluruh kehidupan Yesus – termasuk kematian-Nya – apa yang dialami-Nya itu memperlihatkan adanya ketidakadilan. Bukti-bukti hukum yang tidak kuat, tidak cukup menjadi alasan untuk membebaskan Yesus.
Ya, episode itu hanya merupakan efek dari keberpihakan radikal Yesus. Kenyataanya, Yesus – sang “Manusia Itu” – telah menjungkirbalikkan tata kelola sosial yang dehumanitatif (Andalas, 2008).
Sang “Manusia Itu” menginterupsi kekeliruan kolektif dan membongkar kebobrokan ruang sosial Yahudi. Ia tidak takut dengan tuduhan-tuduhan yang kerapkali dialamatkan kepada-Nya. Ia tidak gentar dicap melakukan tindakan “makar” terhadap Allah karena menyebut Allah sebagai “Bapa”.
Ia juga tak mundur meskipun dianggap telah menista agama Yahudi lantaran ajaran-ajaran-Nya yang dipandang melecehkan agama sebagaimaan diajarkan oleh ahli-ahli taurat.
Tetapi apakah Yesus takut? Tidak! Ia sama sekali tidak takut dan bahkan lebih masif melontarkan kritikan-kritikan atas hermeneutika yang salah dan subyektif terhadap kitab taurat. Ia memang tidak mendiskreditkan mereka (baca: ahli-ahli taurat dan para pemuka agama Yahudi lainnya) sebagai manusia (esse), tetapi membenci tindakan mereka yang salah kaprah (agere).
Yesus tentu saja mengasihi semua orang, termasuk orang-orang yang seringkali menampilkan sikap “oposisi” terhadap-Nya. Tetapi Yesus tidak menerima pelucutan secara masif terhadap esensi kitab taurat dan aturan agama Yahudi demi kepentingan segelintir orang.
Yesus tidak bisa menerima jika elite-elite Yahudi “menindas” rakyat biasa dengan dalil-dalil agama. Agama mesti dijadikan sebagai rujukan etis-humanis dan liberatif, dan bukannya sebagai referensi untuk mendukung elitisasi tertentu.
Ayat-ayat kitab taurat mesti dijadikan sebagai acuan untuk melakukan tindakan-tindakan liberatif dan bukannya sebagai basis untuk memback-up hasrat sekular semata. Hal seperti ini sudah menjadi habitus dan semakin memperkuat hegemoni elite-elite Yahudi.
Inilah yang dikritik Yesus. Ia menampilkan keberpihakan radikal yang tentu saja mengancam ekistensi-Nya. Keberpihakan seperti inilah yang pada akhirnya menyebabkan kehidupan-Nya berakhir di Golgota.
Rakyat: Sang “Manusia Itu”
Saya coba menafsir secara bebas kata-kata Pilatus ini. Pertanyaannya penting untuk kita refleksikan adalah apakah yang dialami Yesus juga terjadi dalam praksis perpolitikan kita? Rasa-rasanya agak sulit untuk mengatakan tidak terhadap pertanyaan ini.
Dikatakan demikian, karena rakyat seringkali mengalami ketidakadilan, seringkali dikorbankan, seringkali “babak belur” oleh berbagai derita sosial; seringkali “dipukul” oleh kejahatan kemanusiaan.
Rakyat seringkali menjadi “manusia itu” yang membutuhkan belaskasihan, membutuhkan intervensi politik konstruktif dari elite-elite politik agar segera dibebaskan dari penderitaan sosial.
Politik yang seharusnya menempatkan rakyat sebagai matra esensialnya, justru direduksi menjadi sarana artikulasi interese parsial semata. Elite-elite politik tidak lagi melihat rakyat sebagai acuan pertimbangan politik untuk ditransfromasi menjadi tindakan liberatif-kemanusiaan, melainkan justru menjadikan kalkulasi pragmatis sebagai rujukan tindakan publik.
Sebagaimana yang dialamai Yesus dulu, kini rakyat juga seringkali mengalami situasi “babak belur” dan tidak berdaya menghadapi hegemoni dan penyalahgunaan kekuasaan politik. Rakyat seringkali menjadi korban kebijakan politik semena-mena.
Karena itulah, kepada elite politik kita bisa mengatakan: “Ecce Homo”, – lihatlah manusia (rakyat) itu – yang telah “babak belur” oleh kebijakan yang tidak artikulatif. “Lihatlah rakyat itu”, yang membutuhkan belaskasihan dan tindakan-tindakan liberatif. “Lihatlah rakyat itu” yang membutuhkan pertolongan agar hak-hak mereka dibela dan dipenuhi. “Lihatlah rakyat itu” yang sudah bertahun-tahu diinstrumentalisasi untuk memenuhi target dan agenda politik tertentu.
Kita membutuhkan kehadiran elite-elite politik yang memiliki kepedulian terhadap nasib rakyat. Rakyat tidak boleh dikorbankan, tetapi sebaliknya rakyat membutuhkan elite politik yang berkorban. Selamat memasuki pekan suci untuk kita semua, terutama untuk para politikus.***
*Inosentius Mansur adalah Rohaniwan dari Seminari Ritapiret-Maumere