(Renungan Paskah 2017)
Kis. 10:34a.37-43; 1Kor 5:6b-8; Yoh. 20:1-9
Oleh Inosentius Mansur *
Saudari-saudara yang terkasih dalam Tuhan…
Episode kebangkitan Kritus oleh Yohanes dinarasikan secara dialektik-dramatik. Adalah Maria Magdalena – yang “pagi-pagi benar dan ketika hari masih gelap” (ayat 1), pergi ke kubur Yesus.
Tampaknya, Yohanes mengaitkan hal ini (baca: kebangkitan Yesus) dengan apa yang terjadi pada zaman itu. Sebab saat itu, ada begitu banyak mayat yang dicuri dari kuburan.
Untuk mengantipasi hal seperti inilah, Kaisar Claudius (41-54 M), mengeluarkan perintah untuk mewajibkan hukuman maut bagi orang yang merusak kubur, mencuri mayat atau membuka segel di batu penutup kubur.
Tindakan Claudius ini relevan dengan tradisi mereka, dimana orang yang mati mesti dikuburkan secara pantas. Bisa saja Maria menduga bahwa mayat Yesus juga telah dicuri, meskipun ia sendiri enggan untuk berpikir seperti itu.
Tetapi temuan Petrus membuktikan bahwa mayat Yesus tidak dicuri orang. Tidak mungkin pencuri meninggalkan kain kapan dan kain peluh dalam keadaan rapi dan tergulung (ayat 7).
Orientasi Yahones dalam tulisan memang dapat terlihat dalam ayat kedelapan (8): “maka masuklah juga murid yang lain, yang lebih dahulu sampai ke kubur itu dan ia melihatnya dan percaya”.
Dialektika antara ketidakpahaman tentang apa yang telah dikatakan Yesus sebagaimana isi Kitab Suci dan kekurangan iman, berpuncak pada kepercayaan. Kepercayaan/beriman itulah yang paling penting.
Saudara-saudari yang terkasih…
Maria Magdalena barangkali belum beriman secara penuh. Yohanes tidak menceritakan bahwa Maria Magdalena (juga Petrus) menjadi percaya pada Kitab Suci.
Namun demikian, cikal-bakal iman Maria sudah tampak dalam tindakannya. Betapa tidak, Maria sepertinya memiliki ketergantungan yang penuh pada Yesus.
Ia mengutamakan Kristus. Maka tidak heran, jika “pada hari pertama minggu itu, pagi-pagi benar, ketika hari masih gelap, pergilah Maria Magdalena ke kubur itu” (ayat 1). Agenda Maria jelas yaitu mengutamakan Tuhan dengan pertama-tama mengunjungi makam-Nya sebelum ia melakukan pekerjaan-pekerjaan lain.
Bisa saja Maria melakukan pekerjaan lain yang secara kuantitatif barangkali lebih mendatangkan efek positif dan keuntungan baginya. Bisa saja ia harus mencari cara untuk mengamankan diri agar terhindar dari ancaman-ancaman ahli-ahli taurat dan elite-elite Yahudi yang mengintimidasi para pengikut Yesus.
Namun rupa-rupanya, ia terpikat dan terikat pada Yesus. Keterikatan dan keterpikatannya itu tampak, bukan hanya saat dia mengunjungi makam, tetapi juga saat dia “berlari-lari mendapatkan Simon Petrus dan murid lain yang dikasihi Yesus” (ayat 2) untuk memberitahukan bahwa mayat Yesus telah diambil orang. Ia tidak bisa menerima kalau-kalau mayat Kristus benar-benar dicuri orang.
Saudari-saudara yang terkasih dalam Tuhan…
“Tuntutan” Yohanes dalam tulisannya ini adalah percaya/beriman. Tetapi pertanyaan untuk kita renungkan secara kritis adalah dengan cara apakah kita menunjukan bahwa kita percaya kepada Kristus yang bangkit dari antara orang mati? Barangkali kita memang tidak sesempurna iman “murid yang dikasihi” yang percaya akan Kitab Suci, tetapi kita bisa seperti Maria Magdalena yang menjadikan Tuhan sebagai rujukan, sebagai fokus dan arah-kiblat hidup beriman kita.
Adalah sahih dan tak terbantahkan lagi bahwa dalam kehidupan di dunia ini, kita seringkali menomorberikutkan Tuhan. Kita selalu mengutamakan kehendak kita, mengutamakan orientasi pragmatis kita, mengutamakan interes kita, mengutamakan ambisi-ambisi kita.
Penjabaran aktualisasi sosial kita tidak lagi berdasarkan iman kita, tidak lagi bertitik tolak dan bertitik pijak pada kehendak Allah, melainkan pada kehendak kita masing-masing.
Dalam kehidupan berkeluarga, ada banyak anggota keluarga yang secara perlahan meninggalkan Allah karena lebih mengutamakan pekerjaan atau kesibukan-kesibukan mereka.
Anggota keluarga tidak memiliki program dan agenda hidup yang secara pirnsip menunjukan keterikatan jelas pada Tuhan, melainkan justru menampilkan keterikatan pada kalkulasi-kalkulasi manusiawi.
Tuhan seakan-akan tidak penting lagi. Tuhan dieliminasi dari program hidup. Anak-anak tidak diajarkan untuk mengutamakan Tuhan, tetapi lebih sering diajarkan untuk menggantikan Tuhan dengan barang-barang material yang secara kasat mata tentu sangat menyenangkan.
Karena itulah, momentum kebangkitan Kritus harus membangkitan semangat dalam keluarga-keluarga untuk menjadikan Kristus yang bangkit sebagai dasar dan acuan hidup. Keluarga harus memiliki ketergantungan penuh pada Kristus.
Kristus mesti menjadi “yang pertama” bagi keluarga. Sebagaimana Maria Magdalena, keluarga “harus pergi kepada Allah” terlebih dahulu sebelum pergi kepada hal-hal lain, pergi kepada kesibukan-kesibukan duniawi.
Sentilan Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus sebagaimana dalam bacaan kedua hari raya Paskah ini, penting untuk direnungkan: “buanglah ragi yang lama itu, supaya kamu menjadi adonan yang baru” (1Kor. 5:7).
Keluarga-keluarga harus menjadi adonan yang baru, menjadi “roti tidak beragi yaitu kemurnian dan kebenaran” (1Kor 5:8). Agar bisa menjadi “adonan baru dan roti tidak beragi”, yang tidak akan lekang dan busuk, keluarga-keluarga mesti menjadikan Kristus yang bangkit sebagai rujukan hidup.
Kristus harus diutamakan dalam keluarga. Keluarga-keluarga mesti menjadikan Ekaristi sebagai pusat (Yohanes Paulus II) dan mereproduksi buah-buah Ekaristi dalam kehidupan bersama.
Selain itu, dalam praksis ruang publik, para pejabat dan elite-elite sosial tidak lagi menjalankan amanah rakyat sebagai suara Allah. Kita bisa melihat bahwa kiprah sosial mereka seringkali tidak akomodatif dan tidak artikulatif.
Mereka hanya mengutamakan kepentingan politik dan berusaha untuk mengamankan atau melegitimasi posisi politik. Elite-elite ruang publik kita seringkali menyangkal esensi jabatan dan terserang virus amnesia eksistensi.
Itulah tanda bahwa mereka tidak mengutamakan Tuhan atau tidak lagi menjadikan Tuhan sebagai basis tindakan publik. Padahal Allah sesungguhnya telah melakukan intervensi politis atas kehidupan manusia. Intervensi politik Allah itu berorientasi pada keadilan bagi semua (Bdk. Kolimon, 2016) dan elite-elite sosial wajib menjadikan sikap politik Allah ini sebagai orientasi perjuangan mereka.
Elite-elite ruang publik, mesti menjadikan “ kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan” rakyat sebagai “kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan” mereka juga. Mereka mesti mengakomodasi dan mengartikulasikan “duka dan kecemasan” rakyat menjadi “kegembiraan dan harapan” (GS no. 1), lewat aktualisasi publik yang artikulatif-akomodatif.
Jangan sampai mereka tampil antagonis dan bertindak kontraproduktif. Tentang hal ini, narasi Kisah Para Rasul yang menjadi bacaan pertama perayaan Paskah ini penting untuk kita jadikan pegangan.
“Dan Ia telah menugaskan kami memberitakan kepada seluruh bangsa dan bersaksi, bahwa Dialah yang ditentukan Allah menjadi Hakim atas orang-orang hidup dan orang-orang mati” (Kis 10: 42).
Elite-elite publik mesti menjalankan tugas kerasulan dengan menjadi saksi Kristus yang bangkit lewat tindakan dan kebijakan yang merujuk pada perspektif kerakyatan. Jangan sampai mereka terjebak dalam kebijakan dan tindakan apublik dan apolitik. Selamat Pesta Paskah, Tuhan memberkati kita semua.
*Penulis adalah Rohaniwan dari Seminari Ritapiret – Maumere, Flores, NTT