Borong, Vox NTT- Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur (Pemkab Matim) merespon tuntutan warga empat desa sebelah barat kali Wae Musur, Kecamatan Rana Mese. Keempat desa tersebut yakni, Satar Lahing, Torok Golo, Lalang, dan Satar Lenda.
Pemkab Matim meminta kepada masyarakat sebelah barat kali Wae Musur untuk bersabar.
Bupati Matim Yoseph Tote melalui Kabag Humas dan Protokoler Bonefasius Sai kepada VoxNtt.com di Elar, Rabu (27/4/2017) mengatakan jembatan Wae Musur dibangun pada tahun 2017 ini.
“Masyarakat diminta bersabar. Anggaran sudah dipalu bersama anggota DPRD dan eksekutif untuk tahun anggaran kerja 2017. Sekarang proses administrasi tender sedang berjalan. Kita tunggu hasilnya. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan bersabar,” kata Boni.
Sedangkan terkait listrik Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Wae Musur kata Boni, tetap akan ada perluasan jaringan menuju empat desa tersebut.
“Bersabar saja. Masyarakat diminta bersabar. Jelas akan ada perluasan jaringan untuk masyarakat sebelah Wae Musur. Pembangunan itu berkelanjutan dan pastinya sesuai dengan ketersediaan dana lagi di Pemda,” tukasnya.
Untuk diketahui, agar kendaraan bisa melintasi di Wae Musur warga terpaksa membuat jembatan darurat yang terbuat dari bambu. Itu terutama kendaraan roda dua.
Disaksikan VoxNtt.com di Wae Musur baru-baru ini, kendaraan yang melintasi di jembatan ini harus membayar. Untuk kendaraan roda dua wajib membayar Rp 20.000 dan untuk pejalan kaki Rp 5.000.
Davit Pampung, Tu’a Gendang (Tua Adat) Gulung, Desa Torok Golo saat ditemui di Wae Musur mengatakan jembatan bamboo tersebut dibuat atas inisiatif warga setempat.
“Ini dibuat untuk mempermudah dan mempersingkat akses menuju Borong. Daripada kami harus putar keliling lagi. Bisa menghabiskan biaya banyak,” kata Davit.
Dia mengaku, melewati jembatan bambu yang dibuat warga tersebut sudah memudahkan akses menuju ke Lehong, pusat pemerintahan Matim. Hanya membutukan waktu satu atau dua jam saja.
Sebelumnya, harus membuang waktu satu hari penuh karena jalur alternatif sangat jauh.
“Biaya transportasi semakin mahal karena jarak yang sangat jauh. Ini sungguh menderita,” kata Davit.
Dia menambahkan, akibat tidak adanya jembatan di Wae Musur tak jarang beberapa kesempatan warga terpaksa pikul pasien dan mayat di tebing yang sangat curam.
“Jangan heran kalau ada pasien yang dibawa ke puskesmas ada yang mati di jalan. Ini karena akses transportasi kami tidak diperhatikan oleh pemerintah,” katanya.
Sebagaimana dikabarkan sebelumnya, Forum Masyarakat Sebelah Wae Musur (Formasmur), Kecamatan Rana Mese menyatakan siap melawan sikap ketidakadilan Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur (Pemkab Matim).
Sikap perlawanan Formasmur ini disampaikan lantaran Pemkab Matim dinilai belum memperhatikan infrastruktur di empat desa sebelah barat kali Wae Musur. Keempat desa tersebut yakni Satar Lahing, Torok Golo, Lalang, dan Satar Lenda.
Baca: Infrastruktur Tidak Diperhatikan, Formasmur Nyatakan Lawan Ketidakadilan Pemkab Matim
Salah satunya bentuk ketidakadilan itu yakni, jembatan Wae Musur yang hingga kini belum dibangun oleh pemerintah.
Formasmur menilai pembangunan jembatan Wae Musur hanya sebatas janji manis pejabat-pejabat di Kabupaten Matim.
Selain itu, mereka menegaskan pembangunan bendungan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) pada kenyataannya tidak memberikan sedikit pun keuntungan bagi masyarakat sebelah barat Wae Musur.
Komitmen bersama perlawanan oleh forum yang terdiri dari perwakilan empat desa dan para sarjana tersebut dilaksanakan di kali Wae Musur, Minggu (23/4/2017).
“Terkait pembangunan PLTMH, pembangunan jalan, jembatan, dan pembangunan lainnya. Kenyataan Ini terus terjadi sapai sekarang tanpa bukti. Jembatan Wae Musur dan akses jalan menuju desa-desa di sebelah (barat) Wae Musur tidak diperhatikan,” tegas Eduardus Ejo, Kordinator Formasmur saat deklarasi perlawanan di Wae Musur.
Di depan warga yang hadir, Ejo mengatakan saat ini empat desa sebelah barat Wae Musur sedang berperang melawan ketidakadilan Pemkab Matim.
Warga berperang bukan menggunakan bambu runcing, senjata, dan parang. Namun perang yang dimaksud yakni menggunakan saraf otak melawan ketidakadilan pemerintah.
“Sebenarnya kita belum merdeka, masih dijajah. Lebih baik dijajah seperti dulu daripada menikmati kemerdekaan yang semu,” ujar Ejo. (Nansianus Taris/VoN)