Kota Kupang, Vox NTT-Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI) cabang Kupang mengingatkan kaum muda di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk mewaspadai sikap-sikap intoleran dan radikalisme yang kini sudah mulai menjangkiti kelompok pelajar, anak-anak remaja dan mahasiswa.
Leonardus Liwun, Ketua GmnI Kupang kepada media ini, Senin (15/05/2017) mengatakan kaum muda harus membersihkan dirinya dari virus intoleran dan radikalisme agar keutuhan berbangsa dan bernegara di masa depan tetap terjaga.
“Kaum muda adalah investasi masa depan bangsa. Jika hari ini kaum sudah dirasuki sikap intoleran dan radikalisme maka kehidupan berbangsa dan bernegara di masa yang akan datang akan terganggu” tegas pria yang akrab disapa Leo ini.
Menurut Leo, saat ini gerakan radikalisme cukup masif dipompa ke ruang publik khususnya di NTT lewat facebook, twitter, WhatsApp, Line dan media sosial lainnya.
Serbuan informasi yang mengandung unsur radikalisme ini, kata dia cukup berbahaya bagi NTT karena sebagian besar pengguna media sosial adalah anak muda.
“NTT sudah dikenal sebagai Nusa Toleransi Tinggi. Karena itu kewajiban kita kaum muda untuk menjaga daerah ini agar tetap menjadi contoh bagi daerah lain di Indonesia”ujarnya.
Senada dengan Leo, sekertaris GmnI Kupang, Efan Dju mengungkapkan kegelisahan yang sama. Bagi Dju, pemuda khususnya pelajar dan mahasiswa harus mampu memfilter dirinya dari informasi yang mengandung virus radikalisme.
“Pemuda NTT harus menjadi garda terdepan melawan gerakan radikal lewat media sosial agar mampu mengembang misi sebagai agent of change (agen perubahan) dalam masyarakat. Selain itu, sikap kritis dan selektif perlu dikedepankan agar tidak menelan informasi yang salah ” katanya.
Soal Kasus Ahok
Menurut GmnI Kupang, asal mula gerakan ini muncul ketika kasus Ahok dalam gonjang-ganjing Pilkada DKI mulai memanas.
Isu SARA kemudian dihembuskan ke ranah publik untuk dipakai sebagai kekuatan politik demi meraih kekuasaan. Karena makin sering dipompa, akhirnya menjadi wacana konsumsi publik yang sangat riskan dalam penafsirannya.
“Kita tidak boleh terprovokasi oleh isu elit. Justru kalau kita makin terpancing, semakin menguat pula peluang radikalisme menyerang diri kita” tambah wakil ketua bidang politik, Andre Malana.
Karena itu baik Leo, Efan dan Andre sama-sama sepakat untuk melihat kasus Ahok dalam kacamata hukum yang ada.
Disampaikan pula bahwa efek dari kasus ini membelah masyarakat Indonesia saat ini ke dalam dua kubu pro dan kontra.
Khusus untuk kubu yang kontra dengan hasil putusan Ahok sebaiknya kata mereka, diperjuangkan dalam koridor hukum.
“Jika pendukung Ahok juga memaksa hukum untuk mengikuti keinginannya maka tidak beda dengan kelompok yang kontra Ahok” tegas Leo.
GmnI Kupang memang tidak melarang masyarakat untuk melakukan aksi solidaritas untuk Ahok seperti gerakan 1000 lilin yang hampir digelar di semua daerah di NTT karena bentuk kekecewaan masyarakat atas putusan hakim.
Aksi protes ini juga kata dia dikehendaki dalam negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat.
“Soal pro-kontra tentang keadilan hukum, itu biasa terjadi. Namun yang paling penting kubu yang merasa tidak adil, tidak boleh bergerak di luar koridor hukum apalagi memaksakan kehendak. Nah, tugas kita adalah mengawal proses hukum yang masih berlanjut (banding) agar bisa memberi putusan seadil-adilnya tapi jangan memperkuat sentiman antara kubu pro dan kontra” tambah Leo.
Menurut dia fenomena yang terjadi selama ini justru sentimen antar kubu makin menguat yang berpotensi melahirkan konflik horisontal.
“Karena itu sekali lagi, setiap kita harus menahan gejolak dan hasrat demi menjaga harmonisasi di tengah masyarakat” tutupnya. (Andre/VoN).