*Puisi-puisi Yohan Lejap
Pelan-pelan
1/
Lambaian tangan terbayat
Menyulam hayat
Di atas cahaya remang
Remah-remah yang jatuh
Pasti berputus asa
Saat kasutnya masih berparas datar
2/
Pelan-pelan acungkan tangan
Sandingan lentera
Masih membakar bisu sejenak
Lalu pergi menyurati senyum
Ketika renai malam telah lebam
Dihajar sang Penyulam
3/
Pelan-pelan
Bukakan saja pintu gerbang ayat
Kata yang menista raga pasti sudi menikam budi
Tak tahu dengan nurani
Akh, diam saja
Kau tak perlu tahu apa yang dikehendaki mata
Ataupun hati sang pencuri
4/
Kebanaran sudah dimakan
Dicampur pewarna agar tak kelihatan pudar
Tercemar
Apalagi memar
Itu saja yang aku tahu
5/
Tunggu saja
Mata menatap raga dan akan kembali dengan rasa
Tapi
Bila belum merasa aku sangkah
Kita belum berubah jadi manusia
(Puncak sacalabrni, 15 Mei 2017)
*Surat
Aku telah menyurati kawan lama
Agar ia jangan terlalu berlama-lama
Membaca naskah yang ditinggalkan penghujan
Di batas kota sendu
Aku tahu ia terlukah
Apalagi ia sudah dijatuh karma dua tahun
Sebagai penista bermata agama
Aku hendak bilang padanya
Aku sudah punya dua anak
Tapi aku dan istriku masih beda agama
Kami bahagia
(Puncak Scalabrini, 15 Mei 2017)
*SERIBU LILIN
Seribu batang terbakar
Menuntut agar hutang keadilan dibayar
Sampai sang Surya gencar
Pagi masih di tumbuhi cahaya lilin
Untuk siapa?
ada yang berduka
Dan ada yang bersuka
Ada yang telah dicela
Ada yang berdiri mencela
Seribu lilin
Masih terus terbit
Saat malam bersemedi di bumi
Pada lorong-lorong kota tua
Tua karena masih disimpan
mantra rahasia sang kuasa
Pada dinding bersekat
Yang kadang jadi tempat merebahkah hayat
Semoga
Yang berdusta itu
matanya tak berhenti untuk menatap
untuk membedakan mana istri ataupun sang anak
sebab bilah tidak
mungkin akan dirangkul semuanya
dan dibawah ke jeruji rindu
bersendi besi
(Puncak Scalabrini, 16 Mei 2017)
*Mei
Mei
Bulan sang Guru
masih disantet hujan kebobrokan
entah bagaimana?
tak pernah pintar
membaca petir perbedaan
tak pernah jua tahu cita-cita awan kedamaian
yang ia tahu hanya berkata
di antara selokan-selokan fana
demi selangkangan bernana
atau uang yang dibayar penguasa kemarau
(Puncak Scalabrini, 15 Mei 2017)
Yohan Lejap adalah mahasiswa STFK Ledalero, Maumere
——————————-
Pesan Kemanusiaan
(Catatan atas puisi-puisi Yohan Lejap)
Oleh Hengky Ola Sura-Redaksi Seni Budaya VoxNtt.com
Puisi-puisi edisi ini adalah luahan pada situasi dimana saya menduga Yohan ikut menyaksikan situasi kebangsaan yang terperosok dalam masalah-masalah politik dan juga hukum. Puisi-puisi Yohan adalah ungkapan pada masalah-masalah tersebut. Mulai dari puisi Pelan-pelan, Surat, Seribu Lilin dan Mei adalah eksplisitasi dari luahan imaginasi Yohan yang menakik sangat dalam. Isi dari keempat puisi ini adalah tipikal puisi-puisi kamar yang melawan dengan sangat halus. Ia hadir apa adanya tanpa tedeng aling-aling langsung menohok eksistensi praktek kebangsaan yang semu. Yohan tampil dengan permenungan dalam deret kata yang lumayan taksa dengan rima juga irama yang mahir.
Saya kira puisi-puisi Yohan kali ini adalah puisi yang memotret situasi kebangsaan dari proses panjang hidup berdemokrasi. Jika demikian maka puisi-puisinya kali ini adalah eksplorasi spirit kemanusiaan yang dibawa dalam puisi. Bait keempat dari puisi Pelan-pelan sudah membawa pembaca pada titik terang bahwa kebenaran itu sesuatu yang gampang sekali dicemarkan.
Kebenaran sudah dimakan
Dicampur pewarna agar tak kelihatan pudar
Tercemar
Selanjutnya eksplisitasi dari eksplorasi kemanusiaan menjadi sangat nampak pada puisi Surat, Seribu Lilin dan Mei. Amanat dari tiga puisi ini yakni, kita diajak untuk menerima dan bertemu dengan kebhinekaan Indonesia yang khas. Proses berdemokrasi (baca, politik ) sebagai suatu hajatan dari hidup berbangsa dan bernegara pada akhirnya harus membawa semua yang ada dan terlibat di dalamnya paham bahwa spirit kemanusiaan ada di atas segalanya. Yohan dalam puisi-puisinya menampilkan praktek dari cara hidup berbangsa dan bernegara yang hiruk pikuk, banal dan kurang adanya simpati.
Akhirnya yang menarik dari keempat puisi Yohan adalah bahwa eksplorasi spirit kemanusiaan itu menjadi sesuatu yang berdasar untuk dihidupi. Peristiwa/kejadian sudah tentu jadi sumber karya sastra (baca, puisi) lebih dari itu ia merefleksikan suatu sikap terhadap sejarah. Yohan dalam empat puisinya tak lain mengajak semua untuk merekonstruksi, merekam, merespon, menyuarakan dan menyikapi sejarah itu sendiri.
Empat puisinya mulai dari Pelan-pelan sampai dengan Mei menampilkan satu pesan yang adab bahwa spirit kemanusiaan harus senantiasa jadi sulu untuk merawat keberagaman.