Puisi-Puisi Edy Soge Ef Er*
Kuk Rindu
rindu adalah beban paling setia
yang senantiasa memiliki pundak
ada kelelahan yang merona pada setiap butir peluh
yang berderit pada pori-pori kenangan
beban tanpa lelah adalah ilusi,
sebagaimana kau tahu, aku kecapaian
tapi lelah ini adalah salju
yang mengajarkan aku mencintai tubuh memeluk jiwa
ah…
kuk rindu adalah dirimu
manis dan manja
(Kamis, 16 Maret 2017)
Tolong……
tolong jaga ketenangan
tolong jaga kenangan
tolong jaga kesunyian
tolong jaga impian
(Nenuk, 2017)
Di Hadapan Cahaya Lilin
di hadapan cahaya lilin
saya menjelma padi yang menguning
(Nenuk, 2017)
Mata-Mu
Ayat-ayat sunyi
Yang selalu memandangku,
Memanggilku……
(Nenuk, 2017)
Matamu
matamu adalah ombak yang menghanyutkan
Entahlah aku, hanyut atau karam
Terdampar atau tenggelam?
(Nenuk, 2017)
*Edy Soge Ef Er, sedang menjalani pembinaan rohani di novisiat SVD St. Yosef Nenuk, Atambua.
—————————————————————————————-
Dari Beban Rindu Menuju Penglihatan yang Pangling
Catatan atas puisi-puisi Edy Soge
Oleh: Hengky Ola Sura-Redaksi Seni Budaya VoxNtt.com
Membaca puisi-puisi Edy Soge kita dihantar pada keutuhan yang padu lalu bergerak longgar pada peristiwa dari keseluruhan pengalaman hidup yang mungkin saja dialami oleh Edy sebagai penulis puisi untuk edisi kali ini.
Mulai dengan puisi pertama Kuk Rindu, Edy membuat daya pukau yang seolah melekat dalam sanubari pembaca untuk ikut dan merasakan beban dari sakit yang bernama rindu itu.
Keutuhan dari puisi Kuk Rindu benar-benar terjaga dari deret kalimat pertama, sayang hemat saya kepaduan apik dari Kuk Rindu itu menjadi terlalu benderang untuk dinyatakan pada bait terakhir dari puisi ini.
Puisi Kuk Rindu seharusnya sudah mencapai puncaknya pada bait ketiga ketika mampu membawa semacam daya bayang pembaca untuk menafsirkan sendiri.
Yang menarik adalah deret diksi ketika Edy menyajikan kepada pembaca untuk ikut menikmati rindu yang senantiasa memiliki pundak juga berderit pada pori-pori kenangan.
rindu adalah beban paling setia
yang senantiasa memiliki pundak
ada kelelahan yang merona pada setiap butir peluh
yang berderit pada pori-pori kenangan
Deret kata dari puisi Kuk Rindu di atas adalah pengungkapan keagungan sebuah rasa yang arahnya biarlah hidup dalam benak pembaca. Toh ketika Edy bilang kuk rindu adalah dirimu manis dan manja arasnya terlalu cepat sampai dan daya bayang pembaca langsung terhenti.
Tak masalah juga karena Edy sebagai penulis sajak rupanya juga berniat untuk memaksimalkan daya bayang tidak hanya untuk dirinya tetapi juga untuk pembaca.
Selanjutnya pada puisi Tolong, Di Hadapan Cahaya Lilin dan Mata 1 (1, penomoran adalah catatan redaksi karena ada judul yang sama yakni Mata) Edy meramu sebuah pengamatan untuk terus dihidupi.
Bisa jadi sebagai seorang calon imam (red; berdasarkan catatan keterangan diri) Edy sedang dan senantiasa memasang ‘alarm’ pada proses dari pengalaman-pengalaman hidupnya.
Pada puisi kelima dengan judul Matamu juga Edy seolah menafikan satu penglihatan yang kabur, yang pangling.
Edy seolah gagu pada kenyataan yang menurut saya longgar tidak seperti pada puisi Kuk Rindu. Toh puisi-puisi Edy tetap merupakan penciptaan berjarak yang senantiasa mengajarkan bahwa keagungan puisi memang selalu demikian.***