Oleh: Hancel Goru Dolu
Che Guevara adalah seorang pembangkang termashyur. Seorang flamboyan karismatis, yang memimpin revolusi dalam balutan heroisme romantik. Che Guevara merupakan seorang pemberontak, yang mampu membelokkan jalannya sejarah dan menuntun peradaban.
Pemberontakan itu mula-mula ditunjukkan via peristiwa kelahirannya. Di akta kelahiran dan kitab sejarah, hari ini 14 Juni, dikenang sebagai hari ulang tahunnya. Padahal sebenarnya dia lahir tepat sebulan sebelumnya, di Kota Rosario Argentina. Kisah hidup selanjutnya diisi dengan pelbagai perjuangan akan perubahan.
Terlahir dari pasangan Ernesto Guevara Lynch dan Celia de la Serna y Llosa, Che mewarisi darah patriotik Basque, Spanyol dan Irlandia. Ibunya kerap menjadikan rumah mereka sebagai tempat pertemuan untuk mendukung pergerakan di Argentina. Sedangkan bapaknya, Ernesto Guevara Sr, juga sangat progressif dengan menjadi pendukung Republiken dalam perang sipil di Spanyol melawan fasisme.
Che menghabiskan masa kecilnya dalam semangat membaca berbagai karya di perpustakaan keluarga, berprestasi di bidang olahraga dan sastra, serta sangat menggandrungi permainan catur. Che sendiri sebenarnya bukan namanya. Nama panggilannya adalah Ernesto, dari lengkapnya Ernesto Guevara de la Serna. Che, dari kata bahasa Italia yang berarti kawan, adalah julukan dari teman-teman karibnya.
Dilansir Berdikari Online, pada usia belia Che sudah membaca karya Alexander Dumas, The Three Musketeers dan The Count of Monte Cristo. Dia juga membaca buku-buku dewasa karya Jack London, Jules Verne, Miguel de Carventes, Anatole France, Pablo Neruda, dan lain-lain.
Beranjak dewasa, dia mulai akrab dengan Franz Kafka, Albert Camus, Sigmund Freud, Horacio Quiroga, Carlos Gustavo Jung, Jose Ingenieros hingga Karl Marx. Konon, Che punya 3000-an koleksi buku di perpustakaan rumahnya.
Petualangan Melahirkan Kesadaran
Che mula-mula menempuh studi kedokteran pada tahun 1948 di Universitas Buinos Aires. Meski banyak membaca buku-buku Kiri – Marxis dan tumbuh di bawah bimbingan ibunya yang dipengaruhi ide-ide progresif, Che tak serta merta bergabung dalam gelombang massa yang saat itu bergolak di masa pemerintahan Juan Peron.
Ya, memang! Ide-ide ataupun buku-buku tak menjamin pembacanya serta merta mampu mengaplikasikan isinya. Ide-ide maupun isi buku hanya tinggalah menjadi isi kepala belaka jika tak bersentuhan dengan realitas. Maka agak mengherankan kalau ada rezim yang melarang peredaran buku dan membumihanguskan ide-ide.
Che justru mendapatkan inspirasi perjuangannya dari petualangan. Pada tahun 1950, dia menjejaki jengkal demi jengkal negerinya Argentina di kesempatan pertama dengan menggunakan sepeda yang dipasangi mesin. Lalu mengelilingi Amerika Latin pada tahun 1952 menggunakan sepeda motor butut Norton 500 bersama sahabatnya, Alberto Granado.
Salah seorang yang ditokohkan dari Angkatan ’66 di Indonesia, Soe Hok Gie, pernah mengatakan bahwa, “Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya akan mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya.”
Pernyataan yang saya kira sangat tepat. Sebab, bagaimana mungkin sesuatu bisa diperjuangkan jikalau tak mengenalnya secara baik. Sebagai intermezzo, di masa-masa musim Pemilu seperti ini, biasanya para politisi yang ingin mendapatkan kursi kekuasaan baru tergopoh-gopoh turun blusukan.
Gie yang tenar di masa akhir hidup Che itu membenci kekuasaan dan memilih naik gunung. Menikmati keindahan dan kekayaan alam sekaligus mengagumi keagungan ciptaan Tuhan. Che berbeda. Dia mengelilingi Amerika Latin, menyaksikan dari dekat eksploitasi kolonialisme-imperialisme, melihat penyingkiran terhadap masyarakat asli Indian, dan pada akhirnya kesadaran baru meliputinya.
Bahwasanya, perjuangan akan kemanusiaan tak terbatas pada ruang lingkup negara. Termasuk di dalamnya, tak terbatas hanya pada sentimen suku, agama, ras, golongan, orientasi seks, berbagai sentimen politik identitas, ataupun aneka diferensiasi dan stratifikasi lainnya.
Perjuangan melawan eksploitasi kolonialisme-imperialisme, hanya bisa dihadapi jikalau ada persatuan lintas batas antara semua yang sedang tertindas terjajah. Dari pengalaman, pengamatan, bacaan, dan berbagai tulisannya, maka mulailah Che membuat keberpihakan. Dia memilih berjuang di sisi para marjinal dan kaum miskin tertindas. Mula-mula menjadi relawan melawan wabah kusta di Peru.
Kesadaran seperti ini mengingatkan saya pada tokoh pendidikan asal Brazil, Paulo Freire. Dalam arkelogi kesadaran ala Freire, ada tiga tingkatan kesadaran. Kesadaran magis menggambarkan orang-orang yang hanya pasrah menghadapi hidup, kesadaran naif merujuk pada orang-orang yang memahami hidup dan problematikanya, tapi memilih acuh tak acuh. Dan terakhir, kesadaran kritis menunjukkan orang-orang yang memahami hidup berserta kompleksitasnya lalu berusaha untuk mengubahnya.
Pilihan dan tindakan Che yang di kemudian hari membelokkan jalannya sejarah, tak pelak berada dalam koridor kesadaran kritis itu. Dia tak memilih menjadi intelektual salon yang hanya membasuh diri dengab kotbah ritmis plastis di balik menara gading universitas. Pun tak menjadi intelektual tukang yang mengabdi pada gedung-gedung kekuasaan dengan ragam analisa dan statistika.
Jika anda sekalian pernah membaca novel sejarah Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer, Che ini seperti kepingan yang hilang di bagian pamungkas dari tokoh Minke. Sebagaimana Minke, Che juga bersekolah dokter, pelajar yang kritis, menjadi wartawan yang punya perspektif sosial.
Lebih dari itu, Che adalah seorang revolusioner, penulis, ahli ekonomi, pejuang gerilya, intelektual, ahli strategi militer, diplomat ulung. Juga seorang fotografer dan ahli catur. Oleh Jean-Paul Sartre, filsuf Perancis yang bersama kekasihnya Simone de Beauvoir, pernah bertemu Che itu lantas menjuluki Che ‘manusia paling lengkap di zamannya’.
Jejak Langkah Fotografer di Medan Catur Kolonialisme
Selain tumbuh dalam minat baca, Che juga menyukai dunia fotografi dan catur. Kamera yang sering dipakainya antara lain Nikon S2 dengan lensa 50mm, Zenit 3M dengan helios 58/2 (buatan Soviet), Plaubel Makina dan Ihagee Exakta.
Lazimnya para fotografer, berbagai sudut pandang tak terduga seringkali hadir. Terutama yang berkaitan dengan keadaan sosial, kesejarahan dan aspek produksi nasional. Berbagai foto jepretan Che itu bisa diurut dari sejak dirinya menjadi Wartawan koran Agencia Latina di Meksiko hingga saat menjadi Menteri Negara di Kuba.
Hasil jepretan Che antara lain, penyelenggaraan Pan American Games tahun 1955, mesin produksi nasional pasca Revolusi, Borobudur, bangunan Suku Maya, dokumentasi saat-saat gerilya di Siera Maestra, dan aneka foto saat menjadi fotografer keliling di jalanan Meksiko bersama sahabatnya Julio Roberto Cáceres.
Namun, dari semua hasil bidikan matanya, yang paling monumental dan menjadi mahakarya adalah jepretannya akan potret penindasan. Sebagai seorang ahli Catur yang terbiasa berhadapan antara hitam dan putih, darah mudanya menggelegak marah pada CIA dan AS. Marah pada berbagai eksploitasi dan intervensi negara adidaya itu atas penghidupan bangsa-bangsa lain.
Pada tahun 1954, Che melihat dari dekat bagaimana pemerintahan Jacobo Arbenz di Guatemala digulingkan oleh tentara sokongan CIA. Jacobo Arbenz yang terpilih secara demokratis itu digusur paska menasionalisasi perusahaan United Fruit Company dan membatasi monopoli perusahaan-perusahaan multinasional AS di hampir semua sektor.
Selepas dari Guatamela, jalan panjang revolusi ditempuh Che. Dia bergabung bersama Castro bersaudara, Fidel dan Raul, yang lari ke Meksiko selepas Gerakan 26 Juli 1953, yang gagal menumbangkan rezim Fulgencio Batista di Kuba. Fidel yang pengacara itu, pada 26 Juli 1953 memimpin 119 orang menyerbu markas tentara Barak Moncada. Anak-anak muda itu kalah.
Castro divonis 15 tahun di Isla de Pinos. Batista kemudian membebaskan semua tahanan politik, termasuk Castro bersaudara dan para penyerbu Moncada, setelah pemilu 1955. Dalam upaya membangun kembali kekuatan, Castro bwrsaudara lari ke Meksiko. Di sanalah Castro bertemu Che, dan memulai sebuah persahabatan revolusioner yang mengguncang dunia.
Pada 25 November 1956, dengan menumpang perahu Granma, mereka berlayar dari Meksiko menuju Kuba. Pemberontakan akan kembali dikobarkan. Perahu yang over kapasitas dengan 82 penumpang itu ternyata duluan tercium tentara rezim. Mereka dibombardir begitu tiba di wilayah propinsi Oriente yang kini bernama Granma. 12 orang tersisa, Che dan Castro termasuk di dalamnya.
Seperti sudah banyak tertulis di berbagai macam literatur, duet Fidel dan Che bersama revolusioner yang lain seperti Raul Castro, Juan Almeida, dan Camilo Cienfuegos, menyingkir ke pegunungan Sierra Maestra dan membangun basis gerilya di sana. Che sendiri kemudian mendapat sebutan Comandante setelah berhasil memenangkan pertempuran di Santa Clara di bulan Desember 1958.
1 Januari 1959, mereka mengepung Havana dari segala jurusan, mengalahkan Batista yang dilindungi AS, dan memimpin Kuba dengan spirit Sosialisme hingga kini, meski Fidel dan Che sudah mangkat. Menang di Kuba, lalu mengemban banyak jabatan negara, tak membuat Che berhenti. Nalurinya sebagai fotografer membuatnya terus menyaksikan berbagai eksploitasi di tempat lain. Bakatnya sebagai seorang pecatur mendorongnya untuk terus bertarung di tempat lain yang membutuhkan.
“Kau tahu, kamerad Pachman, aku tidak nyaman sebagai Menteri, aku lebih suka bermain catur denganmu atau membuat revolusi di Venezuela,” kata Che pada grandmaster Venezuela, Ludek Pachman.
Che lalu bertualang ke banyak negara, lintas benua, untuk berjuang melawan berbagai eksploitasi yang dilakukan oleh kolonialisme imperialisme. Dia ke Kongo Afrika, ke Asia, ke negara Amerika Latin lainnya, dan sebagaimana bidak catur, raganya berakhir dengan tembakan eksekusi di Bolivia.
Che benar-benar mempraksiskan keyakinan revolusionernya. Termasuk kalimat terakhir di suratnya pada kawan-kawan muda di seluruh dunia, “Tak ada yang bermartabat dari seorang anak muda, kecuali dua hal: bekerja untuk melawan penindasan dan melatih dirinya untuk selalu melawan kemapanan.”
Pada akhirnya, demikianlah tentang sang petualang Che. Sang petualang yang mengajarkan pada dunia bahwa perjuangan, keberanian, jejaring perkawanan, dan sistem alternatif yang memanusiakan manusia; adalah mungkin dan ada. Abadilah Che, seperti harapan Fidel Castro yang diucapkannya saat pidato menanggapi meninggalnya Che Guevara di Bolivia:
“Jika kami akan katakan, seperti apa yang akan kita harapkan para pejuang revolusi, anggota partai, dan semua bekas orang-orang kami, kami akan katakan tanpa ragu-ragu: mereka harus seperti Che! Jika kami akan katakan, seperti apa generasi yang akan datang, kami akan katakan: mereka harus seperti Che! Jika kami akan katakan, bagaimana kami akan mendidik anak-anak kami, tanpa ragu-ragu kami akan katakan: kami ingin mereka dididik dalam semangat Che! Jika kami akan katakan, seperti apa yang diinginkan anak-anak, dari hati kami sebagai revolusioner yang tak kenal lelah, kami akan katakan: kami ingin menjadi seperti Che!”
Dirgahayu El Comandante! Teruslah menyala api cerutumu.***