Vox NTT- Tour de Flores (TdF) dijalankan pertama kali pada 19-23 Mei tahun 2016 lalu. Event tahunan sport tourism berupa lomba balap sepeda internasional tahun lalu tersebut mengambil start dari Kota Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur dan finish di Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat (Mabar)-Flores, NTT.
Penyelenggaraan TdF pertama itu bekeja sama antara pemerintah dengan PB.ISSI (Ikatan Sport Sepeda Indonesia) dan UCI (Union Cycliste Internationale).
Konon, tujuan hajatan TdF yaitu dalam rangka mempromosikan potensi pariwisata NTT yang dikemas dalam bingkai Wonderful Indonesia dan Pesona Indonesia.
Sebanyak 21 tim yang dilibatkan kala itu. Mereka ialah 16 tim mancanegara dari 24 negara dan 5 tim dalam negeri, 4 tim nasional dan 1 tim daerah. Biker unjuk kekuatan untuk memperebutkan sebagai juara.
TdF tahun 2016 sudah berlalu dari ingatan. Sejauh ini publik belum mengetahui berapa total dana yang dianggarkan dalam menyukseskan kegiatan balap sepeda internasional itu.
Kendati belum mengetahui karena tidak ada evaluasi kegiatan, namun hingar bingar dana itu bersumber dari APBN, APBD I, dan APBD II digelontorkan dalam jumlah yang besar tercuat ke permukaan. Totalnya belum diketahui, sebab belum disajikan ke publik melalui evaluasi resmi.
Penginapan dan makanan selama kegiatan TdF 2016 tampaknya ditanggung oleh Negara. Panitia dan pemerintah berdalil bahwa TdF merupakan investasi jangka panjang di bidang pariwisata NTT.
TdF pertama memang harus diakui cukup ramai dan heboh. Walau tentu saja sekejap dan hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang kebetulan lewat di jalan Trans Flores sebagai sirkuit balapan.
Sedangkan, masyarakat di kampung-kampung hanya mendengar ceritera orang tentang TdF. Bahkan, mereka belum mengetahui apa itu TdF.
Ada pula saat itu para petani masih sibuk membanting tulang di kebun. Ceritera lain yang diperoleh, saat TdF ada yang sengaja datang ke jalan Trans Flores di tiap-tiap daerah.
Mereka hanya melambai-lambai tangan di samping kiri dan kanan jalan. Lambaian dan kegemberian itu hanya dalam hitungan detik, sebab sepeda-sepeda itu melaju sangat cepat.
Masyarakat di beberapa tempat tak jarang memang mengaku kecewa karena tidak puas dengan TdF. Kekecewaan terutama karena TdF dinilai telah menghamburkan uang rakyat yang jumlahnya cukup besar.
Diskursus TdF tampak kembali di tahun 2017 ini. Pasalnya, Juli mendatang akan ada hajatan TdF kedua dengan menghabiskan rata-rata Rp 1 Miliar dari APBD II tiap kabupaten di Pulau Flores.
Di Mabar, misalnya, pemerintah kabupaten bersama DPRD setempat sudah menetapkan anggaran TdF 2017 sebanyak Rp 1,3 Miliar.
Rinciannya yakni, Rp 200 Juta untuk kendaraan operasional selama event itu dilaksanakan, akomodasi hotel sebesar Rp 360 Juta, dan sewa kapal wisata untuk Wisata Tour di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) sebesar Rp 80 Juta.
Sisa dari itu anggaran makan minum selama di hotel, biaya snack, serta termasuk biaya Rp 200 Juta race yang disiapkan oleh PT. Hipo Ria selaku penyedia Race TdF. (VoxNtt.com, 8 Juni 2017).
Lalu, di Kabupaten Manggarai Timur (Matim) APBD II sudah menyiapkan anggaran sebesar Rp 1.049.363.000. Alokasinya dibagi ke dalam tiga jenis belanja.
Pertama, belanja pegawai sebesar Rp 91.300.000. Kedua, belanja barang dan jasa sebesar Rp 958.063.000. Ketiga, belanja monitoring, evaluasi, dan pelaporan sebesar Rp 20.000.000.
Dalam belanja barang dan jasa yang sebesar Rp 958.063.000 itu ada empat kegiatan yang akan dilaksanakan.
Keempatnya yakni, kegiatan TdF, pemilihan duta wisata, festival Tanjung Bendera, dan kegiatan adventure.
Jadi, anggaran sebesar Rp 1.049.363.000 di Matim tidak hanya untuk membiayai kegiatan TdF tahun 2017. (VoxNtt.com, 16 Juni 2017).
Itu untuk dua kabupaten. Belum lagi kabupaten lain dan dari APBN dan APBD I yang ikut menyumbangkan untuk menyukseskan kegiatan TdF II.
TdF Hanya untuk Para Elit
Pelaksanaan TdF hingga kini harus diakui hanya boleh dirasakan kaum elit kapitalis. Elit politik lokal dan panitia sangat gesit menyelenggarakan ajang dengan dalil promosi wisata NTT itu.
Narasi pilu TdF pertama harus ditelan oleh warga Flores secara keseluruhan. Sebab, hanya boleh dipanen oleh segelintir orang dan penyelenggara saja. Sedangkan para petani di kampung-kampung belum tentu merasakan kegiatan atas nama pembangunan itu.
Pihak yang diuntungkan hanya para pemodal. Mereka yang memiliki jasa akomodasi perhotelan, penerbangan, restaurant, dan usaha jasa travel. Usaha-usaha ini tentu saja lebih banyak dimiliki pihak luar, bukan warga asli Flores.
Rupanya keperpihakan pemerintah dengan memakai uang Negara belum menyentuh pada persoalan rakyat Flores. Rakyat belum disiapkan oleh pemerintah untuk menyambut pariwisata.
Pemerintah lupa bahwa keberhasilan di bidang pariwisata sangat dipengaruhi oleh mutu sumber daya manusia. Potret pariwisata itu mengarah ke kapitalisasi, masyarakat yang merupakan petani miskin terus terpinggirkan oleh karena ketidaksiapannya.
Kendati branding pembangunan pariwisata cukup kuat saat ini, namun masyarakat terus mengalami penindasan akibat pembangunan kapitalistik. Para pemodal di usaha jasa pariwisata bekerja secara simultan dan saling menguatkan antar satu dengan yang lainnya.
Antara Uang Miliaran untuk TdF dan Ironi Infrastruktur
Ironis. Di saat Flores sudah jamak di mata dunia karena keunikan alamnya, justru ruas jalan di Pulau Bunga itu masih rusak parah dan sangat memprihatinkan.
Kurangnya investasi di bidang infrastruktur telah menghambat pertumbuhan ekonomi masyarakat Flores.
Tak heran masyarakat mendambakan infrastruktur yang memadai, sebelum ke pengembangan pariwisata. Berharap peta prioritas pembangunan pemerintah adalah infrastruktur. Ini tentu kebutuhan urgen masyarakat di Pulau Flores.
Keberadaan infrastruktur seperti jalan raya dan jembatan memang menjadi tolok ukur kemajuan peradaban rakyat Flores.
Semakin tertinggal infrastrukturnya maka dapat dipastikan Flores akan menjadi daerah yang terus berjalan mundur. Akibatnya pembangunan pariwisata juga dipastikan tidak bakal berjalan mulus.
Di tengah infrastruktur yang buruk saat ini, tentu dapat dibenarkan jika saja uang miliaran untuk TdF itu belum sepenuhnya tepat.
Flores harus berbenah diri untuk memperbaiki segala jenis infrastruktur yang ada, khususnya jalan raya yang semakin terlihat runyam.
Apalagi, saat ini masih banyak jalan menuju tempat pariwisata di Flores yang berkualitas buruk. Belum layak ditapaki para turis.
Ketika Anda jalan ke kampung-kampung, pasti suara hati masyarakat hanya menginginkan jalan raya yang memadai. Bukan ajangsana seperti TdF yang hanya menghamburkan uang Negara dalam jumlah besar itu.
Mereka sudah mengetahui bahwa infrastruktur adalah roda utama penggerak ekonomi.
Fasilitas transportasi memungkinkan orang, barang, dan jasa yang diangkut dari satu tempat ke tempat yang lain di seluruh penjuru Flores, dan bahkan ke luar daerah. Perannya sangat penting baik dalam proses produksi maupun dalam menunjang distribusi komoditi ekonomi.
Keberadaaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi.
Bagaimana dengan investasi miliaran untuk TdF? Tentu saat ini masyarakat menganggap itu sebagai langkah basih karena belum dibutuhkan. ***
Oleh: Adrianus Aba, Staf Redaksi VoxNtt.com.