Oleh: Fian Roger*
Pariwisata adalah core ekonomi nasional. Tesis ini dipertegas Menteri Pariwisata RI, Arief Yahya. Ia menyebut, pariwisata merupakan penyumbang pendapatan domestik bruto (PDB), devisa dan lapangan kerja paling mudah dan murah di Indonesia (bdk. Wonderful Indonesia: 2016).
Data memperlihatkan, 10 persen PDB Indonesia berasal dari sektor ini dan menjadi yang tertinggi di ASEAN dengan tingkat pertumbuhan 6,9 persen, jauh lebih tinggi dari industri agrikultur, manufaktur otomotif dan pertambangan.
Pariwisata menyumbang 9,3 persen devisa nasional dibandingkan sektor lain dengan pertumbuhan sebesar 13 persen dan menempati urutan keempat setelah minyak dan gas bumi, batu bara serta kelapa sawit.
Tahun 2020, diperkirakan sektor ini akan menyumbang 25 persen devisa nasional dan membuka 9,9 juta lapangan kerja, dengan pertumbuhan sebesar 30 persen dalam 5 tahun terakhir (ibid).
Menurut Travel and Tourism Competitiveness Report 2015, oleh World Economic Forum (WEF), di ASEAN, Indonesia menduduki peringkat 4 setelah Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Ini disebabkan beberapa penyokong di antaranya; potensi alam dan kekayaan budaya, prospek bisnis jasa perjalanan, harga kompetitif dan kebijakan pemerintah yang berprioritas pada sektor perjalanan dan rekreasi.
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya Pulau Flores, mengandung unique selling points di dalam kekayaan sumber daya alam dan budayanya. Tampak, geliat pertumbuhan sektor pariwisata cukup menggembirakan dalam 10 tahun terakhir.
Jangan heran, Flores, masuk dalam radar dunia sebagai salah satu destinasi wisata yang paling diminati dengan makin mondialnya; Komodo, Wae Rebo, Sawah Lodok, Bena, Gurusina dan Kelimutu.
Stigma Transit
Kabupaten Manggarai Timur (Matim) pun memiliki potensi alam layak jual. Komodo (varanus komodoensis), misalnya, tidak saja hidup di Rinca, Komodo, dan Warloka, melainkan juga terdapat di Nanga Mbaur (Kecamatan Sambi Rampas) dengan total populasi sebanyak 120 ekor (Bdk. Kominfo Matim: 2016). Warga setempat menyebutnya Mbou.
Saat ini, sektor pariwisata masih menjadi potensi tersier di kabupaten yang berdiri pada 7 November 2007 lalu itu. Penuntasan kebutuhan-kebutuhan dasar seperti infrastruktur penghubung pusat-pusat ekonomi, infrastruktur pendidikan dan kesehatan masih perjuangan keras jangka panjang.
Meski demikian, usaha ini tentu tidak mengesampingkan pengembangan destinasi wisata unggulan. Pemkab Matim sedang menjadikan pertanian, perkebunan dan peternakan sebagai lokomotif utama yang menghidupi 53 persen warganya.
Berbagai komoditas di antaranya kopi, cengkeh, padi, jagung, sengon dan ternak sapi tersebar di 19 kecamatan, 159 desa dan 17 kelurahan. Komoditas-komoditas unggulan itu menggerakan nadi perekonomian masyarakat setempat.
Sektor pariwisata tidak sedang dianaktirikan, melainkan menjadi tindakan strategis jangka panjang. Misalnya, rencana pembangunan bandara di atas lahan seluas 100 hektar di Golo Rongga (Kota Komba), menjadi atensi serius pemerintah setempat.
Di Borong, terdapat 12 penginapan kelas melati (non bintang) yang melayani pasar lokal. Sementara, dua pondok wisata berada di wilayah pantai utara (Tiga Pohon) satunya dan di Mbolata sudah sering melayani turis asing.
Di sisi lain, geliat ekonomi malam di Borong tampak belum menunjukan dinamika signifikan, walau muncul beberapa kafe remang-remang dengan daya umpan para waitress seksi dari seberang pulau, misalnya di Pantai Cepi Watu dan satu lagi di jalur lintas Flores. Ini menjadi wisata malam sebagian laki-laki.
Daya Tarik Agrowisata
Dalam roadmap wisata Flores, Matim menjadi “wilayah antara ” pesona wisata yang sudah dikenal mondial. Pesona Gunung Ranaka, Danau Rana Mese, lanskap sawah di Lerang, pantai Cepi Watu, serta pesona laut selatan di Padang Masui tentu menjadi pilihan alternatif.
Sebagai “wilayah antara” tentu ada pilihan tinggal atau sekadar berhenti untuk makan siang atau makan malam. “Wilayah antara” jalur trans Flores tidak bisa dianggap sepele, sebab sudah masuk dalam nomenklatur pengembangan pariwisata nasional.
Pantai Utara (baca: Kecamatan Sambi Rampas) dengan pesona wisata tirta dan lanskap sabana tampak menarik, apalagi dekat dengan lokasi penangkaran varian Komodo yang disebut Mbou itu. Varian yang lebih ramping dari spesies serupa di Kepulauan Komodo. Saat ini, isu pokoknya masih berkutat pada aksebilitas (baca: jalan penghubung).
Dengan berfokus pada jalur lintas Flores sebagai destinasi prioritas, Matim sebenarnya bisa mendongkrak kunjungan turis dari sekadar melancong kurang dari 24 jam menjadi tinggal lebih lama.
Keunikan budaya (dialek, lagu dan ritual budaya) dari Poco Ranaka hingga Wae Lengga tentu memiliki daya tarik bagi turis.
Suguhan agrowisata di Rana Mese dan sekitarnya dengan pesona bentangan bebukit hijau dan sawah menjadi pilihan untuk beristirahat, misalnya wisata buah di Lerang. Dengan kemasan menjual, lokasi sekitar Rana Mese akan menjadi rest area yang seksi.
Pantai Cepi Watu kemudian, menjadi pilihan berteduh kalau dikemas apik sebagai pusat kuliner bahari atau wisata tirta.
Bergerak ke wilayah Wae Lengga dimana turis bisa menyaksikan kultur pembuatan arak kampung (sopi), kemudian bertandang ke Pantai Mbolata dan Padang Masui untuk berkuda dan menjajal padang sabana.
Berkaca pada Mabar
Berkaca dari pertumbuhan sektor wisata di Barat Manggarai, yang dominan dihidupkan sektor swasta, Matim penting memaksimalkan peran Badan Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu (BPMPT) untuk memudahkan investasi pariwisata.
Floresa.co mencatat, kunjungan turis asing dan lokal meningkat tiap tahun di Mabar. Di 2014, terdapat kurang lebih 50 ribu wisatawan yang ke Labuan Bajo, naik menjadi 60 ribu di 2015, sebanyak 85 ribu di 2016, dan estimasi kunjungan diharapkan menjadi 100 ribu orang tahun ini (bdk. infografis Floresa.co).
Sementara Glestradio.com mencatat, di 2011 lalu, kunjungan wisatawan di Manggarai Timur sebanyak 16.000 orang. Pemerintah setempat menargetkan kunjungan wisatawan sampai 2014 lalu sebanyak 25.000 orang baik asing maupun domestik (bdk. glestradio.com). Sejauh ini, statistik Badan Pusat Statistik belum merilis kelanjutan data ini pada website mereka.
Di Labuan Bajo, tidak sedikit anak-anak Matim yang bekerja di bisnis hospitalitas, misalnya; pemandu wisata, pemandu selam Scuba, pengemudi kapal wisata, pekerja hotel; restoran dan bar, serta agen perjalanan wisata.
Pendapatan yang diperoleh pemkab Mabar pun dari pajak dan retribusi usaha jasa pariwisata dan tiket di Taman Nasional Komodo memperlihatkan grafik peningkatan saban tahun.
Tentu, ini berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi daerah, khususnya di Labuan Bajo. Klaim ini memang acapkali terlalu generalis, sebab Mabar bukan saja ada di Labuan Bajo tapi juga di Macang Pacar, Kuwus, Ndoso, Lembor Selatan, Sano Nggoang, dsb.
Mabar memang bukan contoh tepat soal peran governance sebagai regulator investasi. Misalnya, privatisasi aset rekreasi publik atas nama pariwisata sebagai sektor andalan tentu menjadi catatan kritis.
Dan faktual, kondisi Mabar dan Matim berbeda. Tetapi, mempelajari praktik-praktik baik dari kebun tetangga, tentu akan menjadi langkah maju.
‘Cengka Ciko’
Pertumbuhan digitalisasi data dan gaya hidup digital memungkinkan Matim mempromosikan sektor pariwisata dengan mudah dan murah. Dunia digital membuat komunikasi makin mobile, personal dan interaktif.
Distribusi data digital akan menekan biaya pemasaran menjadi lebih murah, misalnya, dengan memaksimalkan website informasi pemkab (baca: Kominfo Matim) dan pemasaran media sosial (Facebook, Instagram dan YouTube).
Sejak terbentuk melalui UU 36 tahun 2007 lalu, orientasi politik pembangunan Matim bergiat dalam semangat cengka ciko (arti: membuka isolasi).
Dan hari ini, penting melirik gaya hidup e-goverment ( eOffice, eComando, eProject Mgt, eBlusukan) dalam semangat serupa. Sebagai kata dan kenyataan politik lokal, “cengka ciko” dengan sentuhan prioritas kebijakan-kebijakan strategis, membawa Matim ke tata layanan pemerintah yang makin digital.
Digitalisasi data promosi potensi dan keunikan akan memberi pilihan virtual bagi turis untuk tinggal dan menikmati pesona Matim.
Beberapa inisiatif strategis yang perlu dilakukan, sebut saja, perbaikan akses ke destinasi-destinasi terdekat (Rana Mese, Cepi Watu, dan Padang Masui), penataan amenitas berupa penginapan di Borong, diikuti dengan peningkatan kapasitas pengelola lokal dan staf.
Penciptaan kalender event juga penting untuk memaksimalkan keunikan budaya, misalnya, Festival Cepi Watu dijadikan agenda tahunan.
Birokrasi, kemudian, penting menjadi event organizer profesional. Dinamika ini akan bertumbuh dengan pelibatan ragam kemampuan berikut perannya masing-masing, di antaranya; akademisi (conceptor), swasta (enabler), pemerintah (regulator), media massa (catalisator) dan masyarakat (accelerator).
Para bakal calon pemimpin Matim yang akan berkontestasi dalam Pilkada tahun depan di antaranya Tarsi Syukur, Marselis Sarimin Karrong (Kapolres Manggarai), Paskalis Sirajudin, Bonefasius Uha, Fransiskus Sarong, Willibrodus Nurdin dan Andreas Agas, tentu memiliki visi pembangunan sektor pariwisata dalam orientasi kebijakan politik mereka.
Tarsi Syukur, misalnya, sudah malang melintang dalam dunia pariwisata dan pemberdayaan ekonomi lokal (bdk. Rupingh Foundation). Tentu pengalaman, pengetahuan dan keterampilan leadership-nya yang terelaborasi dalam dinamika politik lokal akan membuat pariwisata Matim akan maju. Demikian juga para bakal calon pemimpin yang lain.
Publik tentu akan tekun mendengarkan paparan kebijakan yang mereka akan sampaikan selama masa kontestasi, sembari menguji: apakah paket kebijakan-kebijakan itu akan mendarat di bumi manusia Matim atau tidak.
Mendarat tentu bukan dengan imajinasi masyarakat yang diciptakan (imaginer society), melainkan model masyarakat (real society) seperti apa yang mendukung percepatan pencapaian program-program kerja.
Program kebijakan yang tepat tentu saja lahir dari pemimpin yang otentik dan mendapat amanah dari publik. Kita tunggu saja! Bagaimana kiranya para bakal calon pemimpin itu menawarkan gagasan-gagasan mereka untuk mendandani “si cantik Mbou” (baca: pariwisata Matim) ini ke depan.***
*Fian Roger: Anggota tim Kajian Media M8tim (M81) Institute dan blogger IdeNera.