Borong, Vox NTT- Beberapa warga di Kabupaten Manggarai Timur (Matim) mengaku belum mengenal kegiatan Tour de Flores (TdF).
Padahal kegiatan balap sepeda internasional itu sudah pernah dilakukan pada Mei tahun 2016 lalu. Pada bulan Juli tahun 2017 ini juga kegiatan yang menghabiskan anggaran miliaran rupiah itu kembali digelar di Pulau Flores.
Rikar Tanggo, warga Elar Selatan mengatakan masyarakat akar rumput di Matim tidak mengenal apa itu TdF. Apalagi mengetahui tujuan dari kegiatan tersebut.
Menurut Rikar, saat ini Matim masih bergulat dengan masalah kemiskinan ekonomi dan rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM).
Karena itu, jika benar TdF yang menurut kabarnya untuk mempromosikan pariwisata NTT berarti belum sepenuhnya tepat dilakukan saat ini.
Saat ini seharusnya anggaran Negara mesti digunakan dalam program yang bisa mendongkrak angka kemiskinan dan memperbaiki kualitas pendidikan.
“Bagi saya, fondasi kemajuan tidak akan pernah terlepas dari pendidikan. Karena itu, pemerintah seyogyanya menghabiskan APBD untuk perbaikan pendidikan, fasilitas kesehatan, dan pembangunan infrastruktur. Ini tujuannya jelas dan pasti untuk peningkatan ekonomi dan pemberdayaan manusia,” kata Rikar kepada VoxNtt.com di Borong, Senin (19/6/2017).
Dia menegaskan, pemerintah tidak boleh terjebak dalam euforia TdF. Tetapi, harus melihat dan mendengar teriakan-teriakan masyarakat yang belum terpenuhi.
“Lebih baik uang sebanyak 1 M itu, untuk perbaikan jalan, gedung sekolah, puskesmas, dan fasilitas publik lainnya. Masyarakat butuh ini. Tapi malah lebih utamakan kegiatan yang hanya menguras APBD,” kata Rikar.
“Toh, aset wisata Matim belum dikelola secara optimal. Bagaimana mau dipromosikan? Apakah setelah TdF tahun lalu, pengunjung tempat wisata di Matim meningkat dan apa keuntungan ekonomi masyarakatnya? Ini mesti dievaluasi dan diinformasikan ke masyarakat,” ujarnya.
Tokoh muda asal Poco Ranaka, Paulus Jehaman kepada VoxNtt.com, Minggu (18/6/2017), mengatakan kegiatan TdF tahun 2016 lalu dibiayai dari APBD tiap kabupaten.
Kata dia, APBD adalah uang masyarakat. Namun, sayangnya sebagian besar masyarakat tidak mengetahui apa itu TdF dan untuk apa kegiatan itu dilaksanakan.
Paulus menegaskan, TdF 2016 lalu tanpa ada evaluasi yang jelas. Bagaimana hasilnya untuk pariwisata Matim dan apa dampak positifnya bagi ekonomi rakyat.
“Siapa yang diuntungkan, masyarakat, pemerintah, ataukah pebisinis-pebisnis besar yang mensponsori kegiatan ini? Itu rugi sekali. Promo yang hanya menguras APBD dan mengabaikan warga lokal, sebaliknya menguntungkan pebisnis dan pemodal. Bagi saya, ini tidak lebih dari proyek untuk menguras uang rakyat dan keuntungaanya hanya dirasakan segelintir orang,” kata Paul.
Dia menjelaskan, di era digitalisasi ini, banyak cara untuk mempromosikan aset wisata ke mata dunia. Dan itu biayanya tidak mencapai miliaran rupiah.
“Daripada harus merampok uang rakyat sebesar itu. Di tengah masyarakat Matim masih teriak, kondisi jalan yang buruk, kemiskinan meningkat, air minum bersih, listrik, dan kebutuhan lainnya,” katanya.
“Lebih baik promo virtual lewat internet. Anggaran bisa lebih murah dan promonya dapat dijangkau banyak responden di seantero dunia. Kalau tetap seperti itu, masyarakat pasti dirugikan,” tambah Paul
Dalam hal ini kata dia, Pemda sebaiknya memaksimalkan penggunaan website dinas. Promo lewat website bersifat fleksibel, kontentnya dapat diperbaharui, di-upload untuk menyesuaikan keadaan dari waktu ke waktu, dari satu obyek ke obyek pariwisata yang lain.
“Asalkan pengelolaan dilakukan secara serius dan telaten. Seperti produk industri yang menggunakan reklame online,” tutur Paul. (Nansianus Taris/VoN)