Oleh: Yoseph Yoneta Motong Wuwur
Alumnus Universitas Flores
Dua krisis besar yang sedang melanda dunia saat ini adalah krisis pangan dan krisis energi. Krisis energi dipicu oleh kian menipisnya energi yang berasal dari bahan bakar fosil, sedangkan krisis pangan dipicu oleh fenomena pemanasan global dan tidak meratanya distribusi pangan.
Kebutuhan pangan merupakan penggerak esensial roda perekonomian masyarakat dunia, sehingga memunculkan kekhawatiran tersendiri pada permasalahan ketahanan pangan.
Untuk menghadapi krisis pangan tersebut dibutuhkan komoditi alternatif untuk diversifikasi bahan pangan. Indonesia sebenarnya memiliki potensi pangan lokal yang luar biasa. Namun potensi tersebut belum dimanfaatkan dengan baik.
Indonesia masih banyak terlena dengan impor untuk bahan-bahan makanan pokok, padahal impor tersebut seharusnya dapat ditekan, bahkan ditiadakan dengan cara mengoptimalkan potensi sumber pangan lokal yang ada di Indonesia.
Masalah kita saat ini adalah perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap pengembangan potensi pangan lokal masih sangatlah kurang. Seringkali muncul wacana tetapi hanya sebatas seminar dan lokakarya. Lebih miris lagi kalau hanya disampaikan lewat pernyataan-pernyataan retoris tanpa implementasi.
Salah satu penyebabnya adalah pemerintah dan masyarakat belum terlalu menyadari bagaimana pentingnya pengembangan potensi pangan lokal untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Potensi Lokal
Diversifikasi pangan berbasis potensi lokal merupakan salah satu solusi demi terwujudnya ketahanan pangan nasional.
Diversifikasi pangan adalah suatu proses pemanfaatan dan pengembangan bahan pangan sehingga penyediaannya semakin beragam dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
Di Indonesia sendiri sebenarnya memiliki berbagai macam sumber bahan pangan hayati terutama yang berbasis karbohidrat.
Setiap daerah di Indonesia memiliki karakteristik bahan pangan lokal yang sangat berbeda dengan daerah lainnya.
Namun politik kebijakan pemerintah Indonesia dalam pembangunan pertanian pangan hanya diidentikkan dengan “padi”. Penyeragaman padi sebagai satu-satunya varietas pangan secara tidak langsung telah mengubah pola konsumsi masyarakat dan berdampak pada pola diversifikasi pangan yang sudah ada sejak zaman nenek moyang.
Padahal diversifikasi pangan sebenarnya sudah merupakan budaya masyarakat secara tradisional dan kalau pola pangan tradisional ini dikembangkan secara terencana dan terarah maka masalah kesulitan pangan tidak perlu terjadi.
Kenyataan ini sebenarnya mengajak kita untuk lebih pandai memanfaatkan ekosistem-ekosistem yang ada demi keberlanjutan pangan bagi masyarakat Indonesia. Dengan demikian beras tidak hanya menjadi satu-satunya komoditas unggulan pangan tetapi juga komoditi-komoditi lokal lainnya seperti jagung, sagu, umbi-umbian.
Sebernarnya, tidak perlu mempermasalahkan antara beras dan bukan beras. Tetapi sebaiknya potensi kekayaan tumbuhan di Indonesia semuanya harus digali dan dikembangkan.
Apabila hal tersebut dapat dikembangkan maka kekayaan alam yang ada di Indonesia dapat berkembang sesuai karakter wilayahnya masing-masing dan akan memperkaya keanekaragaman pangan secara nasional.
Pola konsumsi beras memang sudah menguasai masyarakat perkotaan dan makin menerobos ke pedesaan. Akan tetapi, produktivitas beras untuk memenuhi kebutuhan nasional tidak mencukupi lagi.
Karena itu, upaya ketahanan pangan keluarga berbasis kearifan lokal di daerah harus dicanangkan dalam suatu program yang terpusat dan terukur demi memperkaya komoditas pangan di Indonesia.
Kebijakan ini nantinya akan berdampak pada kemandirian pangan pada tingkat lokal seperti kabupaten/kota dan desa.
Keberhasilan diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal tidak hanya mampu meningkatkan ketahanan pangan nasional. Namun, juga mampu mengembalikan kedaulatan Indonesia sebagai negara agraris yang kuat dan mandiri. Melalui kebijakan ini pula kemandirian dan kebudayaan pangan nasional dapat kembali berjaya .***