Borong, Vox NTT-Sampai saat ini, dua desa di ujung utara Kecamatan Poco Ranaka, Kabupaten Manggarai Timur (Matim) masih terisolasi. Kedua desa tersebut yakni, Desa Melo dan Golo Ndari.
Pantauan VoxNtt.com baru-baru ini, kendaraan tidak bisa lewat menuju dua desa tersebut.
Kendati sudah telford 6 tahun lalu, namun jalan tampak curam dan dipenuhi rumput liar yang menjalar ke badan jalan.
Selain itu, beberapa kali besar juga harus disebrangi tanpa ada jembatan permanen. Masyarakat pun tidak mau menggunakan jalan itu sebagai akses transportasi ke Ruteng. Padahal aksesnya lebih dekat dan dipastikan ongkos semakin murah.
Ovan Vano dan Fan Tarsi, warga desa Golo Ndari mengatakan dua desa di ujung utara Poco Ranaka itu masih sangat isolasi.
“Hingga hari ini, kendaraan belum bisa masuk di sini. Paling kendaraan roda dua saja. Itu pun karena terpaksa. Kami merasa belum merdeka,” kata Ovan.
Ovan mengaku, infastruktur jalan menuju dua Desa Melo dan Golo Ndari sangat memprihatinkan. Betapa tidak, medan jalan yang cukup curam dan masih berbatu menyulitkan warga akses menuju kota.
Selain itu, warga juga kesulitan untuk menjual hasil pertanian karena mobil tidak sampai di kampung-kampung di dua desa tersebut.
“Kami belum merdeka. Warga di desa ini sudah lama merindukan jalan beraspal,” ujar Ovan.
Baca: Demi Sekolah, Anak-anak Desa Melo Bertaruh Nasib di Sungai
Padahal, kedua wilayah desa itu kata dia kaya akan hasil pertanian. Tetapi tetap mengalami kendala transportasi.
“Kami juga masih menunggu pemerintah daerah terkait program pengaspalan jalan menuju dua desa tersebut. Sampai sekarang kami belum menikmati jalan yang mulus seperti masyarakat lainnya di wilayah Matim,” katanya
Akibat dari itu, kata Ovan, harga barang juga naik dan berdampak pada ekonomi masyarakat. Karena harus membayar orang lagi memikul hasil pertanian menuju jalan utama, jika hendak dijual di kota Ruteng.
Terpisah, warga Rai Polus Taus saat ditemui VoxNtt.com di kampung itu mengaku kecewa dengan pemerintah. Warga Rai menganggap hingga kini mereka belum punya pemerintah lantaran tak kunjung mengaspalkan jalan.
“Bayangkan, kami di sini masih minim air keruh. Jaraknya juga sekitar 2 km. Sengsara betul kami di sini,” kata Polus.
Bukan saja jalan aspal dan air minum bersih yang dibutuhkan, namun warga juga merindukan listrik.
“Listrik belum ada. Jalan belum diaspal. Kapan kendaraan bisa masuk di kampung ini. Haruskah kami ditinggalkan oleh pembangunan? Atau kami dibuang terus,” tukas Polus. (Nansianus Taris/VoN)