Oleh: Ichan Lagur*
Beberapa hari yang lalu, tepatnya Selasa, 20 Juni 2017 terjadi pembongkaran pasar Puni Ruteng. Pembongkaran itu didasari oleh perintah yang tertuang dalam kebijakan dengan nomor Pem.130/272/VI/2017 tertanggal 13 Juni 2017 perihal Pengosongan Lokasi Pasar Puni Ruteng.
Warga mendesak Pemerintah Kabupaten Manggarai untuk menghentikan aktivitas penggusuran tersebut. Salah seorang warga Puni, kelurahan Pau, Kasianus Mbakung, telah mendaftarkan gugatan terhadap Pemkab Manggarai yang dianggap mencaplok tanah seluas 3.976 m2 ke Pengadilan Negeri Ruteng dengan nomor perkara 161. PDT.G/2017/PN.RUT (Voxntt.com, Rabu, 21 Juni 2017).
Terlepas dari segala fenomena dan kontroversi yang mengikutinya, pada ulasan kali ini penulis mencoba melihat Pasar Puni sebagai natas bate labar (halaman bermain) bagi anak-anak seputar lokasi Pasar Puni.
Coretan kecil ini didasari oleh kenangan masa kecil penulis yang sering menghabiskan waktu di tempat ini untuk bermain sepakbola, kelereng, karet, perang-perangan, dan lain sebagainya.
Penulis tahu betul bahwa lokasi Pasar Puni yang beberapa waktu lalu dibongkar dan disegel, bukan hanya menjadi lahan bagi para pemilik kios untuk mencari nafkah, tetapi juga sebagai halaman bermain bagi anak-anak di sekitar lokasi pasar.
Puni yang kini disegel dan dijaga oleh pihak keamanan tak lagi menjadi ladang rupiah bagi para warga yang tergusur; di sisi lain tak lagi menjadi natas bagi anak-anak sekitar lokasi pasar.
Puni Natas Labar dan Kenangan
Natas bate labar, merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan dalam budaya 5 lampek orang Manggarai selain: mbaru bate bate kaeng (rumah tempat tinggal), wae bate teku (sumber mata air tempat menimba), uma bate duat (ladang sebagai tempat mencari makan) dan boa (pekuburan sebagai tempat peristirahatan terakhir).
Secara garis besar, budaya lima lampek mengacu pada ruang lingkup utama dalam kehidupan orang Manggarai. Ini berarti bahwa dalam siklus dan fase kehidupannya, setiap manusia Manggarai pasti akan melewati kelima tahap tersebut.
Dari kelima poin tersebut, kita bisa melihat betapa pentingnya keberadaan natas bagi kehidupan orang Manggarai.
Dari pembagian tersebut, kita bisa melihat bahwa Natas bate labar mendapatkan tempat tersendiri. Implikatur dari hal tersebut ialah natas sebagai tempat bermain merupakan bentuk pengakuan akan keberadaan manusia sebagai makhluk yang suka bermain atau yang dalam konteks filsafat manusia dikenal sebagai homo ludens.
Manusia selain sebagai homo faber (manusia yang bekerja), homo sapiens (manusia yang bijak), homo religius (manusia beragama) dan homo economicus (manusia terampil), juga termasuk dalam homo ludens (artinya manusia adalah makhluk yang suka bermain).
Bermain dalam KBBI didefinisikan sebagai: melakukan sesuatu untuk bersenang-senang.
Dari definisi ini kita bisa mengetahui bahwa sudah menjadi harkat dan martabat manusia bahwa sejak lahir ia adalah makhluk yang suka bermain untuk memperoleh kesenangan.
Aktivitas bermain bisa dilakukan kapan saja dan oleh siapa saja tanpa melihat batasan usia dan jenis kelamin.
Kegiatan bermain yang paling tampak terlihat yaitu pada anak-anak usia sekolah (ini tidak berarti bahwa orang dewasa tidak suka bermain). Bermain bagi anak-anak usia sekolah seperti sudah menjadi kebutuhan dan agenda wajib dalam aktivitas kesehariannya.
Bahkan, anak-anak yang cenderung pasif dan tak banyak bermain bisa mengindikasikan suatu gejala sakit/penyakit tertentu.
Pertumbuhan ekonomi yang terbilang pesat, pertambahan jumlah penduduk, arus migrasi dan urbanisasi serta pergerakan kaum kapitalis yang tak terbendung telah menyebabkan dunia makin terasa sempit.
Hal ini berimbas pada hilangnya natas (halaman bermain) bagi anak-anak usia sekolah. Hampir pasti, di setiap sudut kota, kita makin sulit menemukan natas bagi anak-anak untuk bermian.
Tiap inci tanah kini makin mahal dan orang berlomba-lomba untuk memanfaatkan lahannya seefektif dan seefisien mungkin. Karena hal ini, anak-anak kehilangan natas.
Hal inilah yang kemudian memaksa anak-anak untuk mengalihkan dunia bermainnya ke dunia elektronik yang di satu sisi dapat menyebabkan mereka menjadi pribadi yang egois dan individual.
Di tengah minimnya lahan bermain bagi anak-anak Ruteng, lokasi Pasar Puni menjadi semacam ruang bagi anak-anak untuk bermain, berkreasi dan bersosialisasi.
Penulis ingat, di zaman-zaman SD penulis sering menghabiskan waktu di tempat ini untuk bermain bola. Kami (anak-anak SDK Ruteng II, SDK Ruteng III, SDK Ruteng V dan anak-anak di seputar lokasi pasar) juga sering bermain kasti, takraw, karet, kelereng, ataupun bermain perang-perangan di lokasi pesawat yang menjadi saksi bisu kecelakaan pesawat puluhan tahun silam.
Di natas Puni kami saling mengenal dan dikenal, saling menjadi sesama bagi sesama yang lain, saling memahami karakter dan mengembangkan daya kreativitas. Singkat kata lokasi Pasar Puni adalah kenangan.
Ketika beberapa waktu lalu penulis mengetahui bahwa natas Puni sebagai ruang dan lahan bermain bagi anak-anak ini menghilang, penulis takut di mana dan ke mana lagi anak-anak bisa bermain, berkreasi dan bersosialisasi?
Natas dalam kaitannya dengan eksistensi manusia sebagai homo ludens (manusia yang suka bermain) merupakan ruang bagi manusia untuk bermain.
Kehilangan natas berarti kehilangan permaian sekaligus pengingkaran akan eksistensi manusia sebagai makhluk yang suka bermain.
Kita tahu ada begitu banyak manfaat positif yang dapat kita peroleh melalui kegiatan bermain di natas. Manfaat (memainkan permainan di natas bate labar) tersebut kurang lebih sebagai berikut:
Pertama, membentuk karakter dan mengembangkan imajinasi anak. Melalui permainan, anak dapat melatih mental dan mengembangkan imajinasinya.
Ada begitu banyak permainan yang mampu membina mental dan karakter seorang anak; permainan juga mampu merangsang anak untuk mengembangkan daya imajinasinya.
Permainan mampu merangsang kecerdasan sosio-emosi seorang anak, sehingga ia makin mengenal orang lain dan mampu mengelola emosinya secara matang ketika berbaur dan bermain bersama orang lain.
Di sisi lain permainan kolektif mampu menuntut anak untuk bertanggung jawab, bekerja sama dan melepaskan sikap egonya. Melalui perminan sepakbola misalnya, karakter anak dapat dibina; seperti sportivitas, disiplin, tanggung jawab dan nilai kerja sama tim.
Kedua, bermain sebagai lahan bersosialisasi. Melalui bermain, anak-anak dapat saling mengenal satu sama lain. Mereka bisa mengenal karakter dan sifat teman bermainnya. Bermain memberikan peluang bagi anak-anak untuk memperluas jaringan relasinya.
Natas sebagai tempat bermain, merupakan ruang yang sangat baik bagi anak-anak untuk dapat mengenal orang lain yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Bermain memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat belajar membuka diri dan menerima orang lain.
Ketiga, bermain sebagai sarana hiburan. Bermain adalah suatu kegiatan yang menyenangkan. Melalui kegiatan bermain, kita bisa terhibur dan merasa senang.
Wilayah-wilayah Timur yang kekurangan sarana hiburan menjadikan mereka menempatkan natas dan segala permainannya sebagai alternatif hiburan bagi para warga. Permainan sepakbola ataupun bola voli yang biasa kita jumpai di beberapa natas bate labar (halaman bermain) telah memberikan hiburan para warga yang bermain ataupun warga yang sekadar menonton pertandingan tersebut.
Keempat, pewaris permainan-permainan tradisional. Tak dapat kita ungkiri, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah merambah ke dunia permainan dan menggerus posisi permainan-permainan tradisional.
Permainan- permainan tradisional semacam bermain petak umpet, bermain gasing, maen tar (bermain perang-perangan), oto haju (mobil tradisional dari kayu), ketapel, dan berbagai permainan tradisional lainnya digeser oleh kedatangan game-game gadget, mobil-mobilan, pistol-pistolan, playstation, game box, aneka game yang dapat dengan mudah diinstal di laptop dan lain sebagainya.
Pemainan-permainan penggeser permainan tradisional ini bisa dibilang sebagai permainan yang tidak begitu memberikan banyak nilai karakter bagi anak-anak. Permainan-permainan ini umumnya bisa dilakukan secara individu dan tidak membutuhkan kontribusi/bantuan orang lain; sehingga bisa dimainkan di rumah.
Pemainan-permainan ini dipercaya mampu membentuk pribadi yang yang egois, minim sisi sosialnya dan cenderung individualis. Ketika natas menghilang, berarti kita sedang mengucapkan salam perpisahan dengan permainan-permainan tradisional yang menjadi kekayaan budaya kita.
Demikianlah beberapa poin-poin positif yang penulis pikir dapat kita temukan melalui kegiatan bermain (di natas). Ketika natas menyediakan ruang bagi anak untuk bermain, anak dapat memperoleh banyak hal-hal positif yang mampu membentuknya menjadi pribadi yang berkarakter, berjiwa sosial dan kreatif.
So, jangan menganggap enteng pengaruh natas dan permainannya om! Ketika natas itu dihilangkan lalu dipermainkan demi kepentingan golongan entah seperti apa rupa generasi penerus kita!!??***
*Penulis adalah Mahasiswa Dikbindo STKIP Santu Paulus Ruteng