Kota Kupang, Vox NTT-Pernyataan Bupati Nagekeo, Elias Djo yang mengatakan kasus kantor DPRD Nagekeo sudah selesai dan tidak ada persoalan lagi ditanggapai oleh Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Salestinus.
Sebelumnya, Bupati Elias melalui pemberitaan media ini mengatakan kasus ini sudah selesai karena pemerintah daerah sudah menempuh jalur konsinyasi atau pembayaran uang tunai yang dititipkan di Kepaniteran Pengadilan Negeri Bajawa.
Menanggapi pernyataan itu, Petrus Salestinus menilai Bupati Elias telah melakukan “kebohongan publik” dengan bungkusan ketentuan pasal 1404 KUHPerdata.
Penegasan Elias Djo, kata Petrus merupakan bagian dari “tipu muslihat” untuk menutupi jejak korupsi dan tindak pidana korupsi itu sendiri dalam kasus pengadaan tanah untuk pembangunan gedung DPRD Nagekeo.
BACA: Bupati Djo: Kasus Kantor DPRD Nagekeo Sudah Selesai
Penggunaan pasal 1404 KUHPerdata sebagai dasar hukum untuk konsinyasi Rp. 2,5 miliar Ganti Rugi tanah milik Remi Konradus, jelas Petrus merupakan penyalahgunaan terhadap Lembaga Konsinyasi.
Alasannya, konsinyasi dalam pembayaran Ganti Rugi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sudah diatur tersendiri dalam Perma No. 3 Tahun 2016.
Sementara amar putusan perkara ini, lanjut dia tidak ada perintah kepada Pemda dan DPRD Kabupaten Nagekeo untuk membayar sejumlah uang.
“Lantas dari mana munculnya angka Rp. 2 miliar untuk membayar Remi Konradus atas tanah seluas +/- 15.000 M2 melalui jalan konsinyasi” tulis Petrus Salestinus dalam press release yang diterima Vox NTT, Rabu (28/06/2017).
Atas dasar itu, Petrus menilai pernyataan bupati Elias sebagai kebohongan untuk mengelabui publik dan mengecoh Kejaksaan dan KPK.
Petrus juga menyampaikan pemberitaan media ini terbitan tanggal 27 Juni 2017 yang memuat pernyataan bupati Elias bahwa kasus Gedung DPRD Nagekeo sudah selesai akan dijadikan sebagai alat bukti.
“Karena itu pemberitaan media Online (VoxNtt.com) dan wartawannya akan dijadikan alat bukti terkait pembohongan publik Bupati Nagekeo, karena berakibat sangat fatal yaitu melahirkan perkara baru berupa korupsi berlanjut guna mengecoh Remi Konradus, Masyarakat Nagekeo bahkan KPK sendiri” terang Petrus Salestinus.
Bupati Nagekeo Panik?
Skenario konsinyasi dengan dasar pasal 1404 KUHPerdata, lanjut Petrus, selain menunjukan Elias Djo dan Paulinus Nuwa Veto sedang panik, juga memperlihatkan betapa Pemerintahan Daerah Kabupaten Nagekeo dipimpin oleh pemimpin yang lemah dalam memahami substansi hukum dan putusan Mahkamah Agung RI dalam konteks sengeketa pemilikan tanah.
“Ini bukan putusan Pengadilan dalam sengketa hutang piutang sehingga pasal 4014 KUHPerdata mau dipaksakan untuk diterapkan dalam sengketa pemilikan tanah antara Pemda dan DPRD Nagekeo melawan Remi Konradus” tegas Petrus.
Karena itu, terang dia, Pemerintah Daerah Kabupaten Nagekeo justru berada dalam posisi diwajibkan Pengadilan untuk menyerahkan tanah seluas 15.000 M2 kepada Remi Konradus disertai pembongkaran Gedung DPRD Kabupaten Nagekeo.
“Itulah yang harus dilaksanakan, bukan pada soal bayar Ganti Rugi apalagi tidak ada kesepakatan untuk membayar Ganti Rugi ko sifat pembayarannya mau dipaksakan melalui konsinyasi” tegasnya.
Atas dasar itu, Petrus meminta Kejaksaan untuk mencermati 3 (tiga) hal penting yaitu:
1. Apakah Pengadaan Tanah yang dilakukan pada Tahun 2007 itu dilakukan sesuai dengan prosedure PP No. 65 Tahun 2006 Tentang Penhadaan Tanah Untuk Pembangunan atau tidak.
2. Apakah dana yang diambil dari dana APBD untuk pembayaran kepada Efraim Fao dilakukan sesuai dengan PP No. 65 Tahun 2006 atau tidak.
3. Uang Rp. 2,5 miliar yang diperoleh Bupati Elias Djo untuk dikonsinyasikan pada bulan Maret tahun 2017 dan sudah ditolak Pengadilan Negeri Bajawa, supaya segera disita sebagai barang bukti korupsi oleh Kejaksaan Tinggi NTG di Kupang atau KPK. (Arkadius Togo/VoN).