*Cerpen Afe W
Aku menua bersama dunia.
Sahabatku mengatakannya. Ia bicara dalam lagak buru-buru bahwa seorang perempuan di pantai telah membisikkan kalimat itu, bahwa ia, si perempuan berbaju biru laut, menua bersama dunia.
Aku hanya mendengarkan saja apa yang sahabatku katakan. Bukan salah siapa-siapa jika pada usia tiga belas seorang anak laki-laki sering berbohong. Sahabatku suka berbohong. Aku tahu betul kebiasaan buruknya itu.
Minggu lalu, ia pernah membual bahwa seorang perempuan cantik yang berumah di Bulan mengulum bibirnya di tengah malam saat tak ada siapapun yang melihat, seekor ular berganti kulit di depan matanya dan seekor induk ayam memakan anak dari telurnya sendiri yang baru menetas.
Sekali waktu, pernah juga ia bercerita soal kapal-kapal yang jauh lebih besar dari kapal-kapal nelayan berlabuh di pantai kami.
Kapal-kapal yang membawa manusia-manusia lain bertubuh tinggi dan berkulit seperti pasir putih. Mereka berbicara bahasa asing, bahasa yang tak bisa ia mengerti. Ia menganggap mereka adalah orang baik dari pulau seberang yang ingin berkunjung.
“Kita semua saudara, dan mungkin memiliki saudara dengan bentuk berbeda yang tinggal jauh di sebuah tempat yang mungkin tidak kita ketahui ada,” ungkapnya berapi-api.
Tentang perempuan itu, ia tak bercerita dengan semangat yang sama. Ia terlihat lesu, sungguh, seperti takut. Karena itu, aku yakin ia berbohong, karena rautnya yang terlihat seperti langit mendung. Ia tak menyebut dengan jelas ciri-ciri si perempuan, juga apakah si perempuan adalah orang kami atau seseorang dari kapal-kapal besar seperti yang pernah dimimpikannya.
Ia meminta kami melapor ke rumah kepala kampung. Aku menolak. Tak mungkin kami pergi melapor kepada kepala kampung.
Pertama, kukatakan kepadanya dengan suara terang jelas, aku tak tahu pasti apakah ceritanya betul atau ia sedang menipu.
Kedua, aku tak melihat adanya hubungan antara kalimat yang diucapkan perempuan itu dengan kepala kampung.
Ketiga, bagaimana jika setelah melapor ternyata perempuan itu adalah hantu laut yang sedang menyamar menjadi manusia. Bisa jadi kami dihukum untuk berladang.
Aku tak suka berladang. Aku lebih suka menunggui para nelayan di pantai sambil mengamat-amati lagak matahari yang seperti tetap, meski sesungguhnya tidak. Pada suatu hari matahari ceria, di lain hari ia garang seperti memuntahkan kemarahan kepada semua orang.
Kita ke pantai bersama, sahabatku mengusulkan. Ia segera jadi seperti warna merah pada langit tepat sebelum matahari terbenam. Cerdas memerangkap. Aku ingin mengiyakan, tapi segera pula cerita Ibu tentang hantu laut muncul di ingatanku. Hantu laut bisa menyamar menjadi apa saja yang menarik mata.
“Apa dia benar-benar tua ?”
Tidak banyak yang kuketahui pada usia tiga belas tahun selain pusaran arus laut yang akan berbalik ke arah berlawanan tiap matahari tepat berada di atas kepala kami. Jika nelayan belum tiba dari melaut sebelum perubahan arus, mereka akan kembali keesokan harinya.
Kami tak perlu menunggu hasil tangkapan para ayah, kami hanya perlu kembali ke rumah untuk memberi kabar pada ibu. Jika ingin mencicipi laut, kami memungut kerang dan gurita.
“Tua ?” Sahabatku memicingkan matanya ke kanan. Nampak aneh. Ia yang biasanya menatap lurus ke depan, tiba-tiba terlihat seperti seseorang yang coba mengumpulkan ingatannya peristiwa demi peristiwa.
“Iya. Kalau seseorang bilang dia menua bersama dunia. Dia harus sudah lebih tua dari nenek-nenek kita di rumah!” Itu dia. Itu yang sedari tadi kupikirkan. Meski tak banyak yang aku ketahui pada usia tiga belas tahun, aku tahu bahwa dunia ini sudah sungguh-sungguh tua. Ketika pulau kami baru saja didirikan, tuhan ayah di langit dan tuhan ibu di bumi sering sekali bertukar cerita. Percakapan mereka mengalirkan hujan pada waktunya, menjauhkan penyakit yang tidak bisa disembuhkan, dan menghadirkan bayi-bayi pelaut serta peladang tangguh.
“Kau lihat sendiri saja.”
***
Jika benar sahabatku membual, tentu langkahnya tidak seyakin ini. Ia mesti punya sedikit ragu. Harus ada gentar pada lututnya ketika berjalan. Ragu yang membuat langkahnya sedikit lambat karena ia mesti mengarang cerita soal kalimat yang ia dengar dan perempuan yang menjumpainya. Tapi langkahnya ringkas dan ringan, seperti angin laut yang selalu tahu arah kemana ia menuju. Sesekali ia bersiul. Nada seperti pantun yang diulang-ulang dan membosankan. Aku tak mendengar ketakutan dalam nada-nada siulannya.
“Apa kau yakin dia manusia ?”
Sahabatku punya hidung pesek yang lebar dengan proporsi tak wajar. Mata dan mulutnya seperti kalah perang melawan si hidung yang menguasai hampir seluruh permukaan wajahnya. Pipinya pun terlihat seperti lahan sempit, tempat para ibu menanam kacang-kacangan – tanaman selingan jagung dan ubi kayu. Sekali waktu, ia pernah dikatai berwajah hantu oleh seorang bocah lain yang bukan gerombolan kami. Hantu, bukan manusia! Dilemparinya bocah itu dengan buah mangga setengah busuk. Hantu berwujud buruk.
“Kelihatannya cantik. Apa hantu laut bisa muncul di darat ?”
Kami bertumbuh mendengarkan kisah yang sama. Hantu laut. Tak seorangpun tahu wujudnya meski yang kami bayangkan ia mestilah sosok yang menakutkan. Ia sering menyamar menjadi perempuan cantik untuk menggoda nelayan.
Menurut cerita, ia hanya akan berpura-pura menjadi perempuan yang nyaris tenggelam di laut untuk menjebak korbannya agar terbelit pusaran arus, tapi aku pikirkan juga kemungkinan itu ; ia muncul di tepi pantai, di wilayah daratan.
Kadang-kadang, orang-orang bisa mengubah adabnya. Mungkin, hantu juga. Anjing peliharaanku pun kadang berubah pikiran. Ia menyukai tulang ikan tongkol hari ini. Esok, ia menyukai ikan teri. Jika dengan manusia hantu tak mirip dalam hal berubah pikiran, bisa saja ia seperti anjing.
“Tidak bisa. Tapi ada banyak hal yang kita anggap tidak bisa terjadi juga kadang-kadang terjadi. Kau ingat kan hujan musim ini baru turun setelah Uma dipotong kepalanya di mata air ? Hujan turun deras sekali. Padahal yang harusnya kita korbankan adalah kerbau.”
Tak elok menyebut-nyebut soal Uma. Setelah kematiannya, sahabatku menangis selama seminggu. Ia tak membantu nelayan, juga menolak berladang. Ia bahkan enggan mandi di sungai. Airnya sudah bercampur darah Uma. Bagaimana mungkin kau bisa mandi dari air yang bercampur darah seorang temanmu sendiri, Ina ? Aku tak tahu. Aku menangis juga. Tapi aku tahu bahwa orang-orang yang ingin terus hidup dengan baik perlu mandi. Maka aku melakukannya, sama seperti orang-orang lain. Hidup adalah belajar menjadi pengikut yang patuh. Meski kadang-kadang kau tak paham hal mana yang benar dan hal mana yang keliru.
Kami juga minum dari sumber mata air yang sama.
***
Pohon-pohon kelapa menunduk. Daunnya yang membelai tubuh si perempuan. Gentar mulai menghinggapi tubuhku. Lututku lemas, telapak tanganku berkeringat. Aku melihat bajunya yang berwarna biru berkibar oleh angin, seperti panji-panji pasukan perang. Ada seorang pendongeng dari pulau Utara yang suka bercerita soal hal-hal yang terjadi di negeri asing ; seorang pencuri memiliki karpet terbang dan menikahi seorang puteri raja, tuhan menampakkan diri kepada seorang lelaki dalam bentuk api yang tak menghanguskan semak-semak, seorang lelaki mati di salib namun bangkit pada hari ketiga.
Pendongeng mengenakan pakaian yang sama dengan yang dipakai oleh si perempuan. Jelas bukan pakaian orang kami sebab para perempuan biasanya memakai kain sewarna tanah. Barangkali ia salah seorang dari negeri asing yang bisa melakukan hal-hal tak masuk akal. Sahabatku, yang seperti lalai menangkap pemandangan ganjil, melangkah kian gegas.
“Kau harus melihat matanya…”
Aku tak mengerti mengapa aku harus melihat matanya. Aku telah memperhatikan pakaian dan punggungnya. Punggungnya adalah gunung yang kokoh. Aku menaksir tinggi tubuhnya. Tak cukup tinggi untuk tidak bisa dilawan. Aku mengambil segenggam butiran pasir putih. Jika ia macam-macam, aku tahu apa yang harus dilakukan.
“Kau lihat pohon kelapa itu, atau hanya aku ?“
Sahabatku terus melangkah. Jarak kami dan si perempuan kian dekat. Aku sudah ingin berbalik dan lari, tapi aku tak ingin meninggalkan sahabatku. Jika sesuatu yang buruk terjadi, kami akan menghadapinya bersama-sama. Ketika perempuan itu berbalik, aku melihat matanya yang biru samudera. Kami terhisap pusaran. Kami pergi kemana kami pergi. Aku dan butir pasir menjadi seperti sewujud.***