Larantuka Vox NTT-Namanya Anselo Lawuyo. Lahir di Waiwerang Adonara 21 April 1993. Sebelum terkenal di jagat teater NTT, Ansel sebetulnya terlebih dahulu jatuh cinta pada puisi.
Sejak duduk di bangku SMP, Almahrum Petrus Payong Dahe adalah sosok guru Bahasa dan Sastra Indonesia yang membuatnya mengagumi Sutardji Calzoum Bachri sampai hari ini.
Bagi Ansel kecil, awal mula membaca puisi-puisi Sutardji yang tinggal pada batok pikirnya adalah kebingungan. Tapi ketika masuk ke SMA Seminari San Dominggo Hokeng, Ansel mulai paham bahwa ternyata puisi-puisi Sutardjilah yang pelan-pelan membawanya masuk mendalami dunia yang bernama teater.
Ada yang luar biasa dari puisinya Sutardji adalah ketika bahasa (baca, kata-kata) itu hadir dan hidup dengan dunianya sendiri-sendiri. Dan manusialah yang wajib peka untuk menghidupi makna dari kata.
Kata harus sampai pada kehakikiannya untuk membebaskan manusia dari segala macam bentuk penindasan juga yang membelenggu.
Ansel seolah mengamini dan menanamkan dalam dirinya untuk juga belajar dari Sutardji penyair kebangaannya yang disebut Dami N. Toda sebagai mata kiri sastra Indonesia.
Dari seminari menengah pelajaran yang paling membekas dalam kalbunya adalah dramaturgi. Dramaturgi itu seharusnya juga dikemas sangat sederhana untuk mulai diajarkan ke sekolah-sekolah dasar, karena dari sanalah anak-anak dilatih untuk mulai mengekspresikan dirinya dengan jujur.
Masuk Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret dan memilih menjadi seorang calon imam diosesan Larantuka, Ansel percaya bahwa melalui puisi dan teater memampukan niatnya untuk ikut mewartakan pesan profetis.
Di komunitas Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret dan Kampus STFK Ledalero kami diberi kebebasan untuk mengekspresikan segala bakat dan hobi kami.
“Saya memilih berada dalam Kelompok Teater Tanya Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret. Saya bahagia sekali karena saya bisa mengekspresikan diri saya sehabis-habisnya. Berkat semuanya saya akhirnya sudah menghasilkan antologi puisi berjudul Kampung Matahai” demikian tuturnya dengan nada merendah.
Sosok selain almahrum guru Petrus Payon Dore ada juga Ino Koten dan Marto Lesit, kakak tingkat yang menurutnya membesarkan tekad pribadinya untuk terus mencintai dunia bernama teater.
“Saya belajar banyak dari tata Ino Koten. Dia salah satu sosok penulis naskah terhebat juga seorang belakang layar yang selalu membuat kami di seminari tinggi tampil gemilang dalam urusan pementasan teater” tuturnya.
Dari merekalah Ansel percaya bahwa selain tampil sebagai pelakon yang pentas di panggung ia juga bisa menulis naskah teater sendiri selain puisi.
“Selama mementaskan teater dan menulis naskah teater saya merasakan jiwa saya yang bebas” tambahnya.
Beberapa teater yang telah dipentaskannya antara lain Kursi Kosong, Air Api Air, Manusia Tana, Tanah Manusia, Filsuf Selfie, Filosofia di Atas Ranjang, Nangalalang dan Kebangkitan Yamin.
Berkat kejeniusan memerankan teater-teater monolog, Ansel akan diundang pentas di Ruteng dan Labuan Bajo pada akhir Juli mendatang.
“Sampai kapan pun saya percaya dengan kredo saya bahwa teater adalah dunia seni yang daripadanya kita belajar tentang kejujuran juga kesetiakawanan sosial. Omong teater itu omong kejujuran” pungkasnya dengan penuh keyakinan. (Hengky Ola-VoN).