Oleh: Ricko Wawo
Beberapa hari terakhir ini, publik pecinta sepak bola Indonesia kembali dikejutkan dengan kematian Richo Andrean, seorang bobotoh (sebutan untuk pendukung Persib Bandung) yang meninggal akibat dikeroyok sesama bobotoh di luar Stadion Gelora Bandung Lautan Api, pada laga panas Persib vs Persija pekan lalu.
Remaja belia berusia 21 tahun yang sempat koma selama empat hari ini sebenarnya ingin menyelamatkan suporter lain yang dikeroyok ratusan orang karena dikenal sebagai The Jackmania (sebutan untuk suporter Persija Jakarta).
Namun, naas bagi Richo, karena tidak mengenakan identitas bobotoh yang jelas, ia pun menjadi pelampiasan kebencian suporter garis keras Persib Bandung terhadap The Jackmania.
Ungkapan belasungkawa pun berdatangan dari berbagai pihak termasuk dari manajemen Persija dan The Jackmania.
Banyak orang mengutuk peristiwa ini dan menuntut pihak kepolisian segera mengusut dan menangkap para pelaku pengeroyokan.
Semua orang mengharapkan peristiwa ini menjadi cerita terakhir tentang kekerasan suporter dalam kompetisi sepak bola Indonesia.
Pasalnya, sejak tahun 1995, suporter sepak bola yang meninggal karena kekerasan antar pendukung sudah menyentuh angka 50 jiwa. Artinya, setiap tahun paling kurang ada satu penonton sepak bola yang meregang nyawa akibat perseturuan antar suporter.
Hilangnya satu nyawa manusia akibat tindakan anarkis suporter saja, menurut Ridwan Kamil dalam akun twitter-nya menanggapi kematian Richo, telah melenyapkan seluruh kemanusiaan kita.
Rivalitas Persib Bandung dan Persija Jakarta merupakan salah satu rivalitas paling panas dalam sepak bola Indonesia kalau tidak mau dibilang rivalitas paling mematikan.
Laga panas itu bukan hanya terjadi di dalam lapangan tetapi juga terjadi di luar lapangan. Sudah banyak kasus kekerasan yang mengiringi rivalitas kedua tim ini di sepanjang sejarah liga Indonesia bergulir.
Salah satu yang paling brutal mungkin, adalah aksi sweeping plat kendaraan dengan nomor polisi B ( Jakarta) oleh para bobotoh di kota Bandung, dan juga terjadi sebaliknya.
Berbagai sanksi pun telah dijatuhkan mulai dari denda sampai dilarangnya suporter dari kedua tim untuk menonton langsung tim kesayangan mereka di stadion.
Namun, apa mau dikata,‘emosi massa’ seringkali menyebabkan ‘naluri kebinatangan’ di dalam diri seorang manusia itu lebih terakomodasi dengan baik sehingga melalaikan segala bentuk nilai kemanusiaan.
‘Lawan’dan Bukan ‘Musuh’
Bahasa Indonesia sendiri membuat pembedaan yang jelas antara kata ‘lawan’ dan ‘musuh’.
Dalam konteks sepak bola atau dalam sebuah kompetisi, orang selalu menyebut, “Persija melawan Persib” dan bukan “Persija memusuhi Persib”, misalnya, karena ketika kita menyebut, “Persija melawan Persib”, yang menjadi mindset di dalam batok kepala kita adalah “Persija dan Persib bermain sepak bola dengan kaidah-kaidah dan aturan sepak bola yang berlaku universal.
Dengan kaidah-kaidah itu, kedua tim berusaha untuk memenangkan permainan atau pertandingan sepak bola.”
Iklim yang tercipta adalah iklim kompetisi di dalam lapangan dan bukan iklim perang dimana orang saling membunuh dan memusanahkan ‘musuh’ dengan cara apapun.
Atas dasar ‘lawan’ ini maka, “semua yang terjadi di lapangan habis di lapangan” pun menjadi jargon yang sering kita dengar dan kita dengungkan. Segala bentuk tindak kekerasan di dalam lapangan (dan di luar lapangan) sangat tidak dibenarkan.
ETMC 2017
Nah, masyarakat NTT sendiri sedang ber-euforia dengan El Tari Memorial Cup, sebuah kompetisi sepak bola antar kabupaten se-NTT paling bergengsi yang sejak tahun ini sudah berubah format menjadi Liga 3 ETMC 2017.
Setiap orang NTT memiliki jagoan kesebelasan masing-masing dan mempunyai cara masing-masing pula dalam mendukung tim.
Kini, sudah hampir dua minggu Liga 3 ETMC 2017 digelar di kota Ende dan rivalitas serta perseteruan antar tim sudah nampak jelas demi gengsi dan harga diri.
Berbagai yel-yel dan nyanyian-nyanyian kreatif dari para pendukung juga turut menghiasi stadion Marilonga Ende.
Semua ini tentu saja menjadi hal yang wajar dan patut diapresiasi. Namun demikian tentu saja ada hal-hal yang kita harapkan tidak terjadi selama gelaran ETMC 2017 ini.
Berbagai tindakan anarkis antar pemain dan antar suporter, apalagi hingga memakan korban akan menjadi catatan paling buruk sepanjang sejarah ETMC.
Selain karena keluar dari koridor tujuan turnamen sepak bola ini digelar, tindakan anarkis juga mencederai rasa kemanusiaan orang-orang NTT yang dari dulu terkenal penuh toleransi dan cinta damai. Kita semua, yang menggunakan akal sehat dan punya nurani, tentu saja ingin menghindari hal-hal buruk semacam ini.
Satu hal yang layak menjadi kecemasan kita bersama adalah mulai maraknya ujaran-ujaran kebencian (hate speech) terhadap tim tertentu yang notabene juga adalah identitas dari daerah tertentu pula.
Mirisnya lagi, ujaran-ujaran kebencian seperti ini sedikit-banyak sudah bisa terpantau di media sosial; media dimana norma dan nilai seringkali kalah pamor dari asas ‘bebas yang sebebasnya’ sehingga sulit dipertangungjawabkan.
Saya sendiri sering menonton ETMC 2017 melalui streaming youtube, dan pada salah satu pertandingan yang ditonton, betapa sedihnya saya ketika membaca live chat yang ada di streaming youtube tersebut berisi caci maki, bullying di sana-sini, ujaran kebencian dan sejumlah olokan yang sebenarnya merendahkan martabat manusia.
Saya hanya membayangkan: mereka semua anak NTT, dan apa yang terjadi bila orang-orang yang saling mencaci maki, saling mem-bully dan saling mengolok-olok ini bertemu dalam sebuah arena peperangan bernama stadion Marilonga. Akan ada darah yang tertumpah. Itu sudah pasti!
Bagi anak NTT yang cinta damai dan punya nurani, kita tentu saja mengharapkan kasus Richo Andrean tidak terjadi di Stadion Marilonga.
Forza sepak bola NTT….
Penulis adalah Pendukung PS Kota Kupang. Tinggal di Maumere.