“Kapan kamu lahir, ‘nak?”
“Tanggal enam bulan enam, kala matahari terbit di timur.”
“Tanggal dan bulanmu sama-sama enam. Itu berarti kamu punya cinta sejati dan masa depan cerah,” kata seorang peramal kala aku dan Maria mengunjungi sebuah kedai kopi di kota Ende. Pulang dari kedai, kami jalan-jalan lagi ke taman Bung Karno ketika dulu ia duduk merenungkan butir-butir Pancasila. Kubayangkan, bagaimana sang proklamator itu duduk selayakanya sang pemikir yang sedang galau dengan bangsanya.
Hari itu malam Minggu. Aku dan Maria bertamasya kepada sejarah. Kami duduk di bawah bulan, bintang, dan di sekitar lampu-lampu taman terus bercahaya tanpa lelah. Jangkrik menangis; kelelawar terbang mencari makan dan terdengar bunyi suara mereka dari atas pohon sukun. Pohon yang masih ada di tengah taman. Mereka itu merindukan buah sukun yang sudah mulai masak. Entah mendapatkan jatah makan buah yang masak atau tidak, binatang biasanya punya insting sosial yang jitu. Seperti kelelawar di malam hari sibuk, tapi di siang hari, mereka tahu kalau waktunya tidur.
Kita memang beda dengan sekelompok kelelawar itu. Di bawah kolong langit, di sebuah taman, aku dan Maria duduk di samping Bung. Sesekali kupegang lututnya, sesekali kusentuh bajunya, dan sekali lagi kusentuh kepalanya.
“Kapan kamu lahir, Bung?” tanyaku padanya. Maria duduk melihat aku seperti orang gila karena pertanyaanku pada sebuah patung si Bung ini. Dan, aku lihat Bung diam saja. Ia sibuk berpikir. Kerjanya berpikir memang sangat berat. Ya, thinking.
“Maria, dia sedang galau. Kamu tahu kenapa dia galau?”
“Tidak tahu,” katanya. Dan, aku mulai membiasakan diri dengan bermain-main kata dengan Maria.
“Dia galau karena sedang memikirkan bangsa yang sudah tak menghargai lagi Pancasila. Bayangkan, ia duduk seperti ini sampai dunia tak ada lagi pun, ia masih di sini,” kumenciptakan sedikit basa-basi, biar kepalanya terbuka dan memahami sedikit soal sejarah. Kala itu, kami berdua duduk sambil makan gado-gado yang dibeli Maria sepulang dari kedai.
“Sayang, saya suka gado-gado, lho…,”
“Aku benci gado-gado, le…” kataku dengan tegas. Kuberikan gado-gadoku yang tersisa untuk Maria, tapi sebenarnya aku juga suka gado-gado. Ah, biarlah untuk Maria saja, karena aku lebih suka melihatnya gemuk dan semakin sehat dari waktu ke waktu. Setelah usai tamasya, kami pulang membawa satu pertanyaanku yang belum dijawab oleh Bung.
**
Ingatan itu terus menari dalam kenang-kenangan. Aku seperti memutar ulang percakapan dengan Bung, juga kebersamaan dengan Maria. Lalu, besok adalah tanggal lahirku. Bulanku Mei sudah ditanggalkan kemarin dan aku juga sudah menangggalkan bau tubuh Maria, tapi ia masih segar di kepalaku, melilit di dasar otakku yang putih di dalam kepala.
Angin malam berhembus pelan. Di luar kamar, kelelawar masih sibuk mencari makan. Di dalam kamar, aku sibuk menoleh ke belakang, mengenang kota Ende, mengenang juga tanggal lahir; hanya aku, ibu, dan moa Petu. Moa Petu si dukun anak, ia membantu ibuku melahirkan. Waktu itu pagi hari, ketika matahari baru bangun tidur dari balik pulau Solor. Saat aku melihat dunia, Moa Petu mengatakan pada ibuku, “Anak ini memiliki hati sekuat batu karang, hidup seluas samudera, maka namailah anak ini dengan namaku,” katanya dengan penuh harap.
Ibuku sangat bahagia dan saat aku bertambah besar, ia pernah bercerita kalau Moa Petu adalah nelayan yang tangguh di masanya. Ia pelaut yang tidak takut mati ketika badai dan taufan menerjang. Ini kisah yang dulu sekali. Begitulah ibu sering bercerita, biar kami mengerti sejarah. Apalagi aku adalah si sulung yang lahir di tanah yang kecil tapi besar seperti Nurabelen, tana Manggarai. Jadi, aku sebaiknya tidak lupa dari mana asalku.
Dan, malam ini aku di sebuah pulau yang tidak jauh dari Flores. Pulau ikan paus, Lomblen, Lembata yang kering dan tandus. Aku duduk menunggu pagi, membayangkan bagaimana aku lahir. Perlahan, detik-detik berlalu hingga aku berada di suatu pagi yang penuh dengan air mata. Aku merajut air mata sambil menulis surat kepada ibuku Maria juga Mariaku kekasihku yang sudah lupa dengan gado-gado, kado ulang tahunku, waktu itu.
Lalu, aku mulai menulis, berharap ramalan itu tak ada, tapi sekarang telah menjadi nyata. Benar-benar nyata. Dan, kumulai merajut pena.
Ema,
Tanggal lahir ini. Hanya aku dan kamu. Tidak ada Moa Petu, Maria, dan Bung. Aku tak merasakan sakitmu kala aku lahir, tapi kurasakan denyut jantungmu ketika aku keluar dari rahimmu yang harum mewangi. Rahim itu adalah sebuah rumah sejarah, sejarah yang menarik aku memanjat asal mula sebuah benih berkembang menjadi aku.
Ema,
Tanggal lahir ini. Hanya aku dan kamu. Maria yang memiliki nama sepertimu, tidak lagi mengerti sejarah. Ia hanya mengerti kalau pertanyaanku kepada Bung adalah pertanyaan tanpa masa depan. Selamanya, ia menghukum aku dengan tinggal di dalam kuburan masa lalu, sebuah rumah tanpa cita-cita. Cinta yang ema beri ternyata lebih mulia dari yang kuduga. Dan, cinta seorang Maria yang bukan ema adalah cinta yang tidak puas. Mengapa? Karena ia lebih suka melihat dunia,
menjual rahimmu kepada dunia, dan merasa puas dengan setengah jam saja.
Ema,
Kubuka jendela kamarku, kulihat ke luar. Gelap. Gelap yang rumit, sulit, pahit, sakit, penyakit, dan menjangkit ke mana-mana. Aku sekarat. Tubuhku sarat dengan kuk yang dipasang pada binatang yang suka membajak. Kerbau milik kita yang dulu, lebih setia rupanya kala aku mengayunkan cemeti ke tubuhnya, dan aku melihat cinta dari seekor binatang. Cinta yang lebih merdu rupanya datang dari seekor binatang, ema.
Ema,
Jangan hukum aku lagi. Ini tanggal lahirku. Hanya aku dan ema. Kita akan berkelana kembali ke batas sunyi, menengok rahimmu yang terus membuka diri, menerima aku yang sudah besar, menetaskan aku lagi, biar matahari mengeram telurku dan ema membakar dupa di sudut sunyi. Selalu.
Ema,
Aku tidak lupa tentang rahimmu. Rahimmu adalah sejarah. Kalau Bung mengatakan jangan sekali-kali lupa sejarah, maka aku mau ema jangan sekali-kali menjual sejarah karena sejarah bisa meringkas dan meringkus tubuh kita. Sejarah membuat kita terbelenggu ilmu pengetahuan, merasa menang, kemudian kita lupa menengok kembali.
Ema,
Kamu sejarahku. Aku sejarahmu. Maria sejarahku, sejarahku Maria, Bung? Jadi, mari kita merajut lagi kita yang tidak puas dengan sejarah. Aku selalu menunggu ema di sebuah rahim, karena tanggal lahir ini, kamu sudah menanggalkan bau tubuhku, bau sejarah yang terus mendidih secangkir rindu. Bau ini akan terus mekar dan harumnya merona kepada masa depan. Harumnya tak mati ditendang waktu, malahan waktu memeliharanya sampai ia benar-benar menjadi masak. Lalu, pada akhirnya kita mewartakan bahwa bau sejarah itu adalah bau yang mahal harganya. Maka, jangan sekali-kali kita melupakan sejarah. Yang mencintaimu sampai mati, Aku dan Bung.
Teriring salam
Aku dan Bung
**
Aku selesai menyelami sejarah, tapi ini baru saja dimulai sejak Bung Karno tidak menjawab pertanyaanku dan Maria sibuk memakan gado-gado. Aku memang lelaki kurang beruntung, punya cinta tapi ditolak. Kemudian, peramal sudah bertindak, tapi meleset. Itu karena aku selalu membaca mantera yang ia berikan waktu itu.
“Cinta sejati sayati hati seperti lucuti belati cemeti peti mati,” kuterus mengeja mantera penjinak kematian dengan penuh hati-hati. Sejak perjumpaan itu, hingga kini pun, di tanggal lahirku, aku sudah terbiasa dengan merasakan efek samping dari mantera. Mantera yang membuktikan aku tersakiti, tetapi dari mereka telah lahir sejarah. “Selamat ulang tahun, Bung”, kataku dengan rindu kepada sejarah, kemarin, hari ini, dan nanti.*
Biara PRR, Lamahora, 05-06 Juni 2017
Selamat Ulang Tahun, Bung.
Refleksi Tanggal Lahir dan Cinta Yang Tak Selesai
Catatan atas Cerpen Tanggal Lahir Karya Eto Kwuta
Oleh Hengky Ola Sura-Redaksi Seni Budaya Voxntt.com
Kisah yang diangkat oleh Eto Kwuta dalam cerpennya kali ini seharusnya menjadi keping kisah yang mengharukan pembaca. Sayang Eto seperti terlalu berputar pada eksplisitasi sosok ibu yang menurutnya lebih setia. Sosok seperti ibu yang bernama Maria dan perempuan kesayangan yang juga bernama Maria jadi pejal yang ikut meruyak perasaan pembaca. Betapa setia dan sayangnya ibu. Sementara sang Maria pujaan hati adalah sosok yag terlalu cepat melupakan sejarah. Hal remeh temeh macam makan gado-gado pemberian sang lelaki saja tak dianggap Maria apalagi pengorbanan dan lain-lainnya.
Bisa jadi fokus Eto adalah memang didedikasikan untuk ibu tercinta. Dan memang demikian seharusnyalah inti terdalam dari kisah yang momentnya adalah hari lahir. Lawatan ke Ende dan mampir ke taman Bung Karno jadi awal refleksi yang dibandingkan oleh Eto dalam cerpennya. Seorang anak janganlah melupakan sejarah dirinya sama seperti Soekarno memantik ingatan seluruh anak negeri untuk tidak melupakan sejarah bangsa. Untuk perpaduan perbandingan macam ini hemat saya bukti bahwa Eto ikut mengolah persoalan dengan sangat tekun. Persoalan dari skala macam sosok ibu bernama Maria, perempuan kesayangan yang juga bernama Maria dan resah penulis tentang hidup berbangsa yang ditanyakannya pada patung (baca; Bung Karno di taman Pancasila Ende). Bisa jadi ini semacam strategi Eto sebagai penulis cerpen yang ikut membangkitkan kesadaran pembaca untuk pertama-tama membuat semacam gumam-gumam tentang diri, kekasih sampai pada persoalan hidup bernegara.
Cerpen Tanggal Lahir adalah sebuah lukisan kisah yang kelam. Membahas kisah laki-laki yang hidupnya telah didoktrin untuk percaya pada peramal di kedai kopi juga sang dukun beranak saat kelahirannya. “Anak ini memiliki hati sekuat batu karang, hidup seluas samudera, maka namailah anak ini dengan namaku,” . Kata-kata sang dukun ini membawa sang lelaki untuk terus tegar dalam kompleksitas persoalan selanjutnya. Sosok perempuan bernama Maria, tambatan hati sang lelaki itu pun jadi pembuka jalan dari deret persoalan selanjutnya. Meski persoalan selanjutnya itu tak dibahasakan lebih jauh. Cerpen ini tetap jadi satu momen refleksi yang membangkitkan kesadaran bahwa Eto ikut melecutkan ingatan kita pada persoalan-persoalan sosiologis hingga kepada persoalan psikologis. Pengolahannya terasa terlalu eksplisit namun ia hadir menggoda dengan hal-hal yang subtil. Tanggal lahir tetap menghadirkan kenangan untuk mengenang ibu juga perempuan kesayangan yang akhirnya jadi mantan. ***