(Tanggapan atas Pidato Viktor Bungtilu Laiskodat)
Oleh: Bung Sila
Ketika memori publik belum hilang terkait video pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang berbuntut demo berjilid-jilid, kini publik diguncang lagi dengan video orasi politik Viktor Bungtilu Laiskodat saat menghadiri hajatan politik Nasdem di Kupang, Nusa Tenggara Timur pada 1 Agustus 2017.
Sebagaimana dikatakan Bungtilu (Viktor Bungtilu Laiskodat), Ketua Fraksi Nasdem DPR RI dalam orasi politiknya, mengajak hadirin untuk tidak memilih calon kepala daerah atau calon legislator dari partai-partai ekstremis dan pro khilafah, yakni Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Lebih ekstrim lagi Bungtilu mereproduksi narasi Orde Baru, yang anti Pancasila dan NKRI mesti dibunuh.
Isi pidato Bungtilu ini seketika menjadi viral di medsos dan menyulut reaksi keras dari berbagai komponen bangsa,terutama pendukung dan pengurus Partai Gerindra, Demokrat, PAN dan PKS. Tidak kalah juga di medsos muncul elemen masyarakat yang pro dan kontra terhadap isi orasi politik Bungtilu ini.
Dalam konteks ini, saya justru menilai Bungtilu salah menggunakan “ruang politik partai” untuk melempiaskan kekecewaan proses pengambilan keputusan politik di parlemen. Bahwa perbedaan perspektif dalam dinamika pengambilan keputusan di parlemen terkait PERPPU No. 2 Tahun 2017 tentang Ormas yang ditolak oleh Partai Gerindra, Demokrat, PAN dan PKS bukan berarti mereka anti Pancasila, anti NKRI dan pro Kilafah(HTI).
Begitu pula ketika partai-partai dimaksud mengkritisi kebijakan-kebijakan Presiden Joko Widodo, adalah hal yang lumrah sesuai sesuai dengan amanat konstitusi tentang fungsi pengawasan yang wajib dilakukan oleh setiap aggota DPR. Sangat tidak tepat jika kita mengasosiasikan mereka yang mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah dengan stigma sumbu pendek dan bumi datar.
Akan tetapi pola pendekatan politik yang dilakukan oleh petinggi DPP, baik dari Partai Gerindra, Demokrat, PAN dan PKS terhadap ormas radikal dinilai sangat berbahaya dalam merawat persatuan Indonesia.
Strategi politik jangka pendek hanya ingin meraup suara dengan merangkul ormas radikal dalam setiap event politik justru membusungkan dada bagi ormas-ormas anti Pancasila. Karena disinilah mereka akan merasa diri besar dan kuat.
Maka apa yang disampaikan Bungtilu di Kupang tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan Pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) Prof. Dr. Amien Rais yang menyerukan kepada pengikutnya agar tidak boleh memilih kepala daerah Jawa Barat yang didukung oleh partai pendukung penista agama.
Seruan tersebut dinyatakan Amien Rais saat menghadiri Silahturahmi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat di Aula Masjid Mujahidin, Pada 13 Juli 2017 di Kota Bandung. Mengapa tidak ada yang ribut?
Sehingga saya berpandangan apa yang disampaikan Bungtilu adalah murni kerja politik partai bukan Politik Pancasila. Karena Politik Pancasila menggunakan cara-cara adab berperikemanusiaan dalam menginternalisasi nilai-nilai luhur Pancasila.
Sebaiknya publik jangan cepat terpengaruh dengan politisi yang mengklaim partainya berjuang mempertahankan Pancasila dan NKRI. Tetapi lihatlah sejauh mana implementasi kinerja Bupati, Walikota, Gubenur dan DPR/D masing-masing partai pengusung apakah sudah benar-benar sesuai dengan Pancasila? Lihatlah kondisi kehidupan bernegara saat ini, seorang tersangka korupsi masih dengan senyum ramah menjabat Ketua DPR RI dan ada wakil ketua DPR RI tanpa partai, kok bisa?
Jika ingin ber-politik Pancasila, Bungtilu sebaiknya belajar Misi Pancasila Sakti yang sedang dilakukan Bung Sila. Karena Bung Sila melawan ketidakadilan sosial dengan empati sosial, yakni berjuang melayani rakyat tanpa pamrih.
Saya justru mengapresiasi kebijakan Presiden Joko Widodo dengan membentuk Unit Kerja Pembinaan Ideologi Pancasila. Agar terbentuk orang-orang berintegritas. Merekalah yang layak mensosialisasikan ideologi Pancasila dengan keteladanan.
Bukan serampangan seperti anggota MPR RI saat ini, sosialisasi empat pilar bangsa hanya untuk habiskan uang rakyat.
Dengan demikian saya ingin menegaskan bahwa Baik Bungtilu, Setya Novanto, Amin Rais, Fadli Zon, dan Fahri Hamsah, mereka adalah politisi partai yang tidak perlu dibahas apalagi diteladani. Karena mereka bukan politisi negarawan yang benar-benar mendahulukan kepentingan negara diatas kepentingan pribadi dan/atau golongan.
Penulis adalah Komando Brigade Pancasila Sakti