Oleh: Ricko W
(Curahan Hati Usai ETMC)
Sehabis final ETMC 2017 yang mempertemukan Perse Ende vs PSN Ngada, linimasa facebook anak-anak NTT penuh dengan kekecewaan dan keprihatinan.
Ada juga yang meluapkan rasa haru dan kekesalan mereka dengan kembali mengutip salah satu guyonan satir Abdur, komika asal NTT, sewaktu manggung di acara Stand Up Comedy, “kami orang timur itu bermain bola tidak pernah berpatokan pada waktu 2 X 45 menit. Pertandingan bola itu akan berakhir kalo sudah terjadi baku pukul. Mama sayang e….”
Kala itu, semua orang menertawakan celotehan Abdur ini dan menganggapnya guyonan nir-makna belaka, tetapi sekarang tak ada yang tertawa; kalaupun ada, itu adalah mereka yang tertawa atau tersenyum penuh sinis. Sisanya adalah kesedihan dan keprihatinan yang melanda.
Betapa tidak, gelaran turnamen paling bergengsi di NTT yang dikemas dengan sangat baik ini justru harus ditutup dengan aksi ‘penonton masuk lapangan’. Awalnya, terjadi aksi saling dorong antar pemain, beberapa orang tentara pun hasrus masuk lapangan untuk melerai.
Inilah untuk pertama kalinya, saya melihat tentara dengan senjata laras panjang masuk ke dalam lapangan untuk mendamaikan perselisihan antar pemain. Pemandangan yang langka tentunya.
Lalu mulai ada aksi saling lempar botol dari tribun penonton ke lapangan, hingga akhirnya penonton yang membludak masuk dan memadati lapangan permainan sebelum peluit panjang berakhir. Pertandingan berlangsung anti-klimaks dan berakhir rusuh di menit ke-63.
Kerja keras panitia yang mempersiapkan stadion bertaraf nasional; rumput hijau, lampu untuk pertandingan malam dan layanan live streaming, ditambah lagi format kompetisi yang sudah ‘naik status’ menjadi Liga 3 adalah sejumlah hal yang harus diapresiasi sekaligus dipertahankan.
Tahun ini, panitia tampak serius mempersiapkan ajang dua tahunan ini. Tuan rumah Ende sudah menetapkan standar tinggi untuk gelaran ETMC di tahun-tahun berikutnya di daerah lain. Namun apa daya, ‘ibarat nila setitik rusak susu sebelanga’, sederetan pujian itu seolah sirna dalam sekejap pada laga pamungkas karena satu alasan klasik: baku pukul.
Kericuhan antar pemain dan suporter seolah tak pernah lepas dari wajah sepak bola NTT. Keributan seperti ini memang bukan hal baru yang terjadi di sepanjang sejarah kompetisi ini dihelat. Aksi tidak sportif seperti ini sering terjadi, mulai dari level turnamen sepak bola antar desa hingga antar kabupaten.
Walau demikian, mau sampai kapan sepak bola NTT berkutat dengan problem seperti ini. Saat panitia sudah berusaha semaksimal mungkin menaikan standar dan kualitas tontonan dari segi teknis serta menyiapkan segala fasilitas terbaik, toh usaha itu tidak dihargai dengan sportivitas dan kedewasaan dalam berkompetisi. Juga dalam menonton pertandingan sepak bola, rupanya.
Kreativitas penonton dalam mendukung tim kesayangan adalah hal yang biasa dalam sepak bola dan seringkali memberi kemeriahan tersendiri. Nyanyian, teriakan, yel-yel, slogan, flare, banner dan bendera-bendera bahkan turut menghiasi stadion Marilonga.
Akan tetapi, dalam banyak hal ketika semua keriuhan itu mengarah pada fanatisme yang berlebihan, biasanya tidak hanya berakhir di dalam stadion. Hujatan, makian dan ejekan acapkali terpampang jelas di media sosial dan live chat di dalam streaming youtube.
Apakah hal semacam ini tidak mengerikan? Tentu saja hanya orang tak waras dan tak bermoral saja yang menganggapnya wajar dan lumrah.
Mungkin cerita tentang Richo Andrean, remaja bobotoh yang tewas dikeroyok massa di luar stadion sehabis derbi Persib vs Persija masih sangat segar dalam ingatan. Kita tentu saja tidak ingin hal serupa terjadi di Stadion Marilonga sebab kadangkala emosi massa lebih irasional dan amoral.
Akhirnya, rabu malam, 9 Agustus 2017, harapan semua orang yang hendak menyaksikan pertandingan high class Perse Ende vs PSN Ngada pupus sudah. Ribuan pasang mata di stadion Marilonga dan ribuan lagi yang menonton via streaming dibuat kecewa. Tetapi mungkin dengan tragedi ini terbetik sesuatu yang cukup menggelikan di dalam kepala kita; teriakan Ende sare ternyata lebih indah daripada Ende rore. Entahlah kenapa.
Penulis adalah Pendukung PS Kota Kupang.