Catatan Oleh Hengky Ola Sura
MENDENGARKAN SUARAMU
(I)
Bunyi dapat menjadikanmu sunyi yang melupakan waktu dan segala sesuatu di luarnya. Aku pun mencarimu dalam pikiran. Keheningan pada semesta melangsungkan adegan yang tak mungkin kita kira sebelumnya. Sunyi sekaligus bunyi. Kepedihan setara dengan kasih sayang.
(II)
Perhentian pertama. Ada seekor anjing yang mengigaukan namamu dalam ingatanku. Di sana, segalanya tertunda. Kecuali secarik kertas bertuliskan waktu kematianmu yang dimateraikan oleh kecupan ibumu sehabis menampung airmatanya untuk memahami perjalanan pulangmu ke masa laluku.
(2016)
KOTA
Ia mencium cahaya matahari pukul dua belas
Di pekarangan rumahnya yang fana.
Ia sungguh percaya
Jakarta hanya akan melahirkan penyesalan dan
Masa depan yang masih setia berdiri
Membelakangi dirinya.
Di sebuah sudut,
Terhampar abu jasad ayahnya yang tewas
Ketika demonstrasi berlangsung.
Jakarta adalah revolusi.
Kau bukan malaikat yang kucari dan kunanti.
Bibir yang selalu ia gunakan
Tuk menyatakan perang pun
seketika hancur,
lebur, dan lenyap.
Di hati ibunya,
Telah dicintai ia dan kota
Yang membunuhnya secara perlahan
Serupa ombak yang menyeretnya
Ke tengah samudera.
(2017)
MENEMUKAN HAWA
Dalam tiga hari,
Akan tersibak beberapa kesedihan
Serta tangisan para wanita yang bersahabat
Dengan hujan yang hangat.
Hujan satu-satunya benda yang dapat mereka lihat,
Setelah tangan takdir yang jenaka
Menutup kedua belah mata mereka
Dengan sebilah pisau.
(2017)
Vincent Mario Atawolo, Alumni Sesado Hokeng-Saat ini tinggal di Jakarta
Menyadap Energi Puisi Yang Asing
Catatan atas puisi-puisi Vincent Mario Atawolo: Oleh Hengky Ola Sura-Redaksi Seni Budaya Voxntt.com
Tiga puisi dari Vincent Mario Atawolo pekan ini adalah puisi-puisi yang hadir dan sampai pada relung pembaca dengan rasa asing. Apa kira-kira maksud paling hakiki dari Mendengarkan Suaramu, Kota dan Menemukan Hawa? Mengerti dengan jelas maksud puisi yang disuguhkan barangkali lebih sulit daripada membaca cerpen atau pun novel. Vincent Mario Atawolo bisa jadi punya semacam moment sakral dari pergumulan realitasnya untuk membahasakan dalam larik puisi.
Secara pribadi dan mungkin sangat subyektif saya mengalami semacam pertanyaan tentang kesadaran berkabar seperti apa yang hendak disampaikan Vincent lewat puisinya. Pada gilirannya dengan dan melalui segenap pembacaan berlapis saya akhirnya sepakat bahwa dibalik segala yang asing itu Vincent melalui puisi Mendengarkan Suara, Kota dan Menemukan Hawa hendak berikthiar untuk membuka pintu-pintu jiwa dan kehidupan sosial untuk ditelisik secara lebih mendalam. Selanjutnya dengan cara yang asing itulah ia memiliki kemungkinan untuk mengehenyakan masyarakat pembaca untuk ikut bersaksi.
Pada puisi Mendengarkan Suara, ada kata-kata kunci semisal kepedihan, kasih sayang, kecupan ibu, kematian dan air mata. Kata-kata kunci ini berderet dalam jejak kata yang kemudian dikomunikasikan jadi sebuah ajakan untuk memahami masa lalu, sekarng dan mungkin yang akan datang. Puisi ini tampak sangat asing tapi ketika dirunut dalam pembacaan berlapis maka ia hadir sebagai tangisan dan catatan atas berbagai realitas kehidupan dengan ‘huruf-huruf sedih, sesak nafas, geram’ dan pada akhirnya bisa jadi acuan lengakap untuk bertutur bahwa pada setiap tikung juga jejak hidup satu yang penting adalah mendengarkan.
Pada puisi Kota, Vincent Mario Atawolo merujuk Jakarta sebagai tempat jiwa dan raganya menjejal semua yang tampak. Jakarta yang hidup dalam ingatan-ingatan penyair adalah kota yang menghunus segala luka. Jakarta dalam dada Mario bisa jadi seperti sebuah situasi yang sama sekali tidak menggembirakan.
Hingga pada puisi Menemukan Hawa, hal yang paling saya pribadi impikan adalah mengalami kebangkitan dari segala sesak, geram menjadi kegembiraan untuk menemukan semacam sebuah jalan pulang. Toh judul yang bisa diidentikan dengan pengalaman perjumpaan, jatuh cinta itu tetap menggambarkan kenestapaan.
Tiga puisi dari Vincent Mario Atawolo pada pekan ini bisa jadi membawa kita semua yang asing di hadapan puisi-puisinya untuk merasakan suasana menyesakan itu. Dalam banyak hal penyair dan puisi-puisinya memang kadang tampil sebagai sosok yang demikian. Toh puisi-puisinya tetap mengalirkan sebuah energi yang pantas kita sadap untuk memahami bahwa dalam puisi selalu ada kemuliaan untuk berkabar.