Oleh: Servasius S. Jemorang
Masih segar dalam ingatan, kisah pilu dalam turnamen sepak bola di Tentang, Kecamatan Ndoso, Kabupaten Manggarai Barat.
Pertandingan dalam rangka memeriahkan Pentekosta di Paroki Tentang pada Minggu, 7 Mei 2017 lalu berakhir dengan kepulangan seorang penonton, Feliks Gadur (38) ke pangkuan sang khalik.
Warga asal Pora-Ndoso, Kecamatan Ndoso itu tewas pasca bentrokan sesama penonton saat mempertemukan kesebelasan Persela Labuan Bajo Vs Kampung Puntu, (Floresa.co, 7/5).
Menyedihkan. Peristiwa ini bermula dari kekonyolan penonton yang tak rela menyaksikan dinamika dan kerasnya memainkan si kulit bundar antara pemain. Sebenarnya hal itu wajar-wajar saja. Tentu saja ada wasit dan pihak keamanan untuk mengatur jalannya pertandingan. Terlalu konyol untuk disejarahkan. Bangga bagi mereka yang tengah mencari tenar dengan menghabisi orang lain. Seolah nyawa adalah bagian lain dari taruhan sepak bola yang tak boleh disia-siakan.
Kisah pilu lain, yakni pada final El Tari Memorial Cup (ETMC) di Stadion Marilonga beberapa waktu lalu. Meski banyak alasan yang diduga membidani kelahiran kisah piluh tersebut, tetapi saya sangat tertarik untuk menggugat keberadaan dan keterlibatan penonton yang melampau batas. Penonton dengan nyalinya bisa masuk ke lapangan pertandingan untuk saling bentrok. Apa salahnya menunggu keputusan wasit?
Gara-gara bentrokan sesama penonton, nama sepak bola pun terseret dalam pandangan miring. Banyak yang menganggap sepak bola sebagai panggung yang menakutkan, sehingga enggan untuk membuka turnamen. Padahal bagi orang yang betul-betul melek sepakbola, pertengkaran di luar pertandingan menjadi sebuah ironi dan mesti disingkirkan.
Tak hanya berimbas pada persepsi negatif, peristiwa ini memicu kecanggungan bagi pesepakbola untuk menunjukkan potensinya.
Sehingga tidak heran ketika situasi genting terjadi, banyak pemain yang tampil tak maksimal karena sambil mengggendong perasaan cemas. Waspada pada kenyamanan yang kerap tergadai dengan pertarungan ego para penonton.
Dua peristiwa ini cukup mewakili pandangan tentang penonton sepak bola kita yang belum beres. Kalau boleh menawarkan, mungkin para penggemar sepak bola NTT yang menyaksikan langsung pertandingan di rumput hijau perlu melakukan studi banding. Atau sekedar diberi pelatihan khusus untuk bisa memahami definisi keberadaan diri dalam menonton.
Sebab tidak mudah bagi kita untuk menjadi penonton yang cerdas. Tidak mudah bagi kita untuk menjadi penonton yang menghormati kenyamanan pertandingan.
Kita bereskan dulu para penonton yang katanya gemar sepak bola, yang katanya melek sepak bola dan segala aturannya di atas mulut. Sebelum nanti secara intens membentuk pemain-pemain yang bagus.
Sia-sia rasanya bagi para pemain yang berbakat. Di tengah angin segar sepak bola NTT yang akhir-akhir ini mulai dilirik PSSI, seperti disampaikan Fary Francis, Ketua Departemen Intelijen Olahraga PSSI Pusat di Kupang beberapa waktu lalu (Tempo.co, 24/7).
Ulah suporter justru membunuh nasib sepak bola kita yang mulai merangkak maju. Tentu akan berpengaruh pada semangat dan gairah generasi penerus sepakbola daerah ini.
ETMC adalah hajatan sepakbola terbesar di NTT. Melalui turnamen ini, bintang-bintang sepakbola diseleksi atau dilirik oleh mata sepakbola nasional.
Apa jadinya kalau ajang ini ditutup dengan tergesa, hanya karena kenyamanan direnggut oleh suporter yang tidak tahu diri. Percuma. Makanya kita harus memulai dari revolusi penonton untuk membangun sepak bola.
Sepak bola memiliki hukum dan pengadilan tersendiri. Keterlibatan suporter tak memiliki porsi untuk mengadili bahkan menyelesaikan konflik internal pertandingan yang tengah berlangsung.
Mereka hanya punya hak untuk menonton atau menyaksikan pertandingan dari luar arena pertandingan, bahkan mulut pun harus ditertibkan.
Padahal, mencintai sepak bola sebenarnya sebuah seni mengolah batin. Tidak sekedar menyaksikan bagaimana pemain mengadu kelihaian, Menyanding taktik atau mendukung perjuangan tim untuk memenangkan pertandingan di atas rumput hijau. Kemenangan selalu menjadi harapan dan kekalahan menjadi hal yang mesti dijauhkan, sehingga banyak pecinta bola yang doyan kemenangan, namun cemberut manakala tim dukungan menuai kekalahan.
Tetapi sesungguhnya menyukai sepak bola adalah sebuah pilihan sadar untuk mendewasakan batin dan mencerdaskan emosi, terutama dalam menerima hasil perjuangan tim yang tak mungkin mengelak dari kekalahan.
Padahal sebuah permainan tak bercirikan selalu menang. Menolak Kekalahan itu manusiawi, namun belajar menerima kekalahan itu adalah langkah awal kedewasaan sekaligus kebijaksanaan (Gede Prama ; 2009).
Kurang lebih inilah seni mengolah batin dalam sepak bola, seni mengikhlaskan kekalahan.
Saya tentu sadar banyak yang tahu tentang hal ini. Menjadi penonton sebenarnya sangat sederhana. Tidak perlu mengendalikan orang lain, cukup kendalikan diri sendiri. Karena kita sendirilah pelaku kenyamanan dan kerusuhan.
Bagi sebagian orang yang belum waras, menjadi penonton itu sangat sulit. Apalagi sulit ketika tengah terhipnotis oleh rasa cinta terhadap tim kesayangan. Namun bukan berarti tak bisa dikendalikan.
Di Eropa, begitu banyak orang yang fanatik dengan sepak bola, bahkan sampai mengorbankan banyak hal. Untuk membayar pengorbanan itu, mereka justru menghormati pertandingan sepak bola dan membiarkan kenyamanan menyelimuti para pemain, agar mereka semangat memperjuangan kemenangan tim. Sehingga hasil pun betul-betul jernih.
Memberikan dukungan atau semangat pada tim mestinya tidak harus mengandung maksud menyakiti orang lain. Itu yang perlu dipikirkan oleh kita penggemar sepak bola sekalian.
Memiliki tim kesayangan itu wajar. Fanatik terhadap tim kesayangan itu pula sangat wajar. Namun melekat berlebihan pada tim kesayangan, hingga tak rela membiarkan mereka kalah atau tertekan itu adalah sebuah kekeliruan.
Kemelekatan Yang Merusak
Kurang lebih, kisah kemelekatan dalam sepak bola tak berbeda jauh dengan kemelekatan pada suatu ajaran, ideologi, budaya atau suku.
Kecintaan kita pada budaya atau satu kesatuan lain kadang bisa membuat kita terhipnotis.
Semakin besar rasa cinta kita atau fanatisme semakin besar, maka semakin besar pula keinginan kita untuk menyelamatkan atau membelanya. Di dalam satu kesatuan (suku, budaya, agama, dll), kita seperti mabuk kepayangan jika terpaku berlebihan.
Seorang motivator asal Bali, Gede Prama dalam bukunya yang berjudul “Simfoni di dalam diri” mengatakan bahwa kemelakatan yang berlebihan akan mebuat kita melarat. Bukan berarti tidak mencintai budaya atau ajaran tertentu.
Namun perlu mengakui ada hal-hal yang juga baik di luar budaya atau ajaran yang kita anuti. Sebab kemelekatan ialah awal kemelaratan (Gede Prama ; 2009)
Kesalingdukungan terhadap tim masing-masing merupakan salah satu konversi sederhana dari kemelekatan yang dimaksudkan oleh Gede Prama.
Jadi saya pikir, di dalam sepak bola juga terjadi hal yang sama. Cukup dengan memberikan semangat kepada tim sendiri, tidak harus memusuhi lawan dengan cara yang aneh.
Sebab melekat berlebihan pada sebuah tim akan berimplikasi pada pengengkangan pada hasil pertandingan. Mengarah pada menolak hasil yang tidak sesuai harapan.
Kemudian bagi yang betul-betul mabuk dalam kecintaan pada tim, emosi pun tak bisa dikontrol manakala kekalahan yang didapat.
Batin yang tidak dewasa pun akan semena-mena mengespresikan penolakannya. Disnilah rusaknya kemelekatan yang berlebihan.
Bukan menolak mencintai tim kesayanagan, namun perlu ada pengendalian diri yang kuat dengan tidak melekat berlebihan.
Agar kekalahan bukan lagi alasan untuk mengumbar kemarahan. Biarkanlah sepak bola sebagai ruang yang menyemai banyak maksud mulia.
Membangun persaudaraan dan semacamnya. Menyelami toleransi kepada mereka yang berbeda. Menyemai semangat perjuangan mencapai kemenangan.
Dengan begitu, saya pikir salah satu perjuangan sebagai penonton adalah memberikan kenyamanan. Mari kita titipkan harapan perkembangan sepak bola NTT ke depan dengan cara yang baik.
Dinamika dalam sepak bola juga sangat penting. Secara sederhana, hal-hal tersebut mengandaikan keseriusan masayrakat mencintai sepak bola, tanda persepakbolaan NTT akan berkembang.
Tetapi semangat mencapai kemenangan hendaknya tak berbarengan dengan keengganan untuk menerima kekalahan.
Tanggung jawab kemajuan sepak bola NTT adalah tanggung jawab kolektif, tanggung jawab penonton, tanggung jawab semua rakyat NTT, mulailah dari diri sendiri untuk menjadi pendukung sejati, mendukung tanpa anarkis. ***
Penulis adalah Presidium Gerakan Kemasyarakatan (Germas) PMKRI Ruteng periode 2017/2018